Menakar Efektivitas Seruan Boikot atas Israel

Presiden Jokowi bersama Kepala Negara Anggota OKI
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengutuk tindakan kolonialisme yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Sampai-sampai, Presiden menyerukan agar produk-produk yang berasal dari negeri Zionis itu diboikot alias dilarang diterima oleh seluruh anggota Organisasi Kerja sama Islam (OKI).

Meski akhirnya diralat Biro Pers Istana Negara, yang menyatakan boikot yang dimaksud adalah kebijakan Israel atas aneksasi Tanah Palestina, bukan produk atau barang.

Antara Dukungan dan Keberlanjutan Ekonomi Lokal

Namun, sikap keras Jokowi ini terbilang ‘berani’ dan patut didukung penuh. Lantas, apakah sikap ‘berani’ ini akan diikuti seluruh anggota OKI?

Coba lihat. Total jumlah anggota OKI sebanyak 57 negara. Berdasarkan penelusuran VIVA.co.id, negara yang memiliki ‘tali kasih’ dengan Israel hanya enam yaitu Turki, Mesir, Yordania, Nigeria, Kazakhstan dan Uzbekistan.

Dengan begitu, seharusnya, di atas kertas mereka ikut ajakan Indonesia karena menang jumlah.

Pakar Timur Tengah Universitas Indonesia, Muhammad Riza Widyarsa, mengatakan, kebijakan Indonesia terhadap Israel ini sebenarnya bagus. Tetapi, tidak berpengaruh sama sekali lantaran kedua negara tak memiliki hubungan diplomatik.

Justru, kata Riza, apabila Indonesia ingin mengambil peran nyata untuk mendamaikan Israel-Palestina, maka harus melakukan dua hal.

Pertama, Indonesia, melalui OKI, harus mengajukan draf ke PBB untuk menghilangkan hak veto. Kedua, menjadi penengah antara dua faksi yang berpengaruh di Palestina, Hamas dan Fatah.

“Untuk hak veto, ini pernah diajukan Yordania tapi langsung di veto Amerika Serikat. Tapi bukan berarti berhenti. Justru, kita harus memikirkan strategi jitu bersama OKI untuk memperjuangkannya (menghilangkan hak veto),” kata Riza kepada VIVA.co.id, Selasa, 8 Maret 2016.

Jadi motor penggerak

Terkait Hamas dan Fatah, lanjut dia, memang kedua belah pihak telah memiliki hubungan politik yang berseteru. Apalagi, sejak Hamas memenangkan pemilu legislatif pada 2006 dan menjadi partai yang paling berkuasa di Jalur Gaza.

Sejak saat itu, para pejabat Otoritas Palestina mengecam Hamas karena menciptakan pemerintahan bayangan di Jalur Gaza dan menghalangi upaya mencapai kesatuan politik.

Di sisi lain, pihak Hamas juga sempat menuduh Otoritas Palestina memiliki rencana membasmi gerakan perlawanan di Tepi Barat, yang mengungkapkan adanya penangkaan ratusan anggota Hamas agar upaya rekonsiliasi kedua belah pihak berjalan lancar.

“Indonesia harus menjadi motor penggerak mendamaikan keduanya. Karena saya melihat selama ini rekonsiliasi yang terjadi bersifat semu,” tegas Riza.

Selain itu, dirinya juga mempertanyakan ketidakadaan sanksi atas Dokumen Resolusi dan Deklarasi Jakarta, yang disetujui. Melainkan hanya imbauan saja. Menurut Riza, langkah ini tidak akan efektif berjalan, khususnya bagi anggota OKI.

“Percuma saja (dua dokumen) diresmikan tapi tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Tidak akan efektif, dan mungkin saja, hasilnya akan sama dengan draf resolusi yang sudah ada sebelumnya,” tutur dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Hubungan Multilateral Kemlu, Hasan Kleib, mengaku, tiada jaminan dari dua dokumen ini akan berdampak terhadap kemerdekaan Palestina.

Namun, kata dia, yang terpenting Indonesia sudah berbuat untuk mendamaikan kedua negara.

"Intinya, dengan kondisi seperti itu, Indonesia hanya memiliki dua pilihan. Apakah kita ingin melakukan sesuatu atau tidak sama sekali. Indonesia memilih untuk melakukan sesuatu," kata Hasan.

Dia menyebut kendati kemerdekaan Palestina telah diakui oleh 132 negara, namun wilayah mereka tetap dijajah oleh Israel. Bahkan, wilayah yang dicaplok oleh Israel semakin meluas
.

Pariwisata berdampak

Mengenai seruan boikot produk Israel, pria jebolan Oklahoma, AS itu, mengungkapkan, negeri Zionis seringkali memakai negara ketiga dalam urusan perdagangan ekspor. Contoh konkretnya Italia dan Portugal. Namun, langkah itu berubah setelah Uni Eropa memberlakukan aturan baru.

“Bulan November tahun lalu, Israel membekukan hubungan diplomatik dengan Uni Eropa karena dipicu keputusan Uni Eropa untuk melabeli komoditas yang diproduksi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai buatan wilayah pemukiman dan bukan disebut buatan Israel,” ungkapnya.

Namun demikian, pembekuan hubungan diplomatik itu berakhir Februari lalu, ketika Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu menggelar pembicaraan dengan kepala bidang kebijakan luar negeri Uni Eropa.

“Mungkin, untuk negara OKI tidak terlalu berpengaruh (pelarangan produk pertanian / komoditas). Tapi, akan berdampak besar jika sektor pariwisata yang diboikot,” papar dia.

Menurut Riza, Mesir, Yordania dan Turki, adalah tiga negara yang sangat bergantung dengan sektor itu. Pasalnya, mayoritas wisatawan asing yang datang berasal dari Israel.

“Karena mereka senang datang ke situs-situs bersejarah di sana. Khusus produk pertanian, warga ketiga negara ini sebenarnya sudah antipati sama produk Israel. Jadi, secara langsung sudah inline,” kata Riza.

Langkah boikot produk Israel ini sebenarnya pernah bergulir sejak 2005 di seluruh dunia yang dikenal dengan gerakan Boycotts Divestment and Sanction (BDS). Gerakan ini adalah sebuah kampanye tanpa kekerasan memboikot Israel yang melakukan penindasan kepada bangsa Palestina.

Walau sempat dianggap remeh oleh Israel, ternyata gerakan ini cukup memukul perekonomian mereka. Tidak hanya produk Israel, banyak negara juga melakukan perlawanan kultural terhadapnya.

Afrika Selatan contohnya. Pemerintah di sana bahkan sampai membuat undang-undang agar semua produk yang berasal dari wilayah pendudukan Israel diberi label. Tujuannya supaya warga Afsel tidak membeli.

Sementara di Inggris juga melakukan hal serupa. Pada Oktober tahun lalu, sekitar 300 akademisi dari berbagai universitas di negeri Ratu Elizabeth itu menegaskan memboikot institusi pendidikan asal Israel
.

No Problem

Di tempat terpisah, Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, mendukung seruan Presiden Jokowi untuk memboikot produk Israel. Seruan ini, menurutnya, jelas tidak akan mempengaruhi sektor pertahanan Indonesia.

"Memang masih ada produk Israel yang dipakai Indonesia, khususnya alat penyadapan. Tapi itu tidak pengaruh. No problem," kata Mahfudz saat dihubungi VIVA.co.id.

Ia juga menegaskan, Indonesia mempunyai banyak alternatif untuk membeli peralatan pertahanan dari banyak negara lain, apabila alat penyadapan tidak dibeli dari Israel.

Selain itu, seruan boikot Jokowi untuk produk Israel juga tidak akan mempengaruhi reputasi Indonesia di kancah internasional. Sikap ini justru akan menegaskan posisi Indonesia.

"Kita mendukung (boikot) tapi peran Indonesia yang harus lebih konkret utuk kemerdekaan Palestina. Dengan konsep-konsep ‘states solution’, dengan syarat kembali ke peta wilayah tahun 1967. Itu lebih diperlukan," ujarnya, menjelaskan.

Mahfudz menambahkan, yang paling penting saat ini bagi Palestina adalah dukungan ekonomi. "Lebih bagus Indonesia serukan bantuan keuangan oleh seluruh negara anggota OKI untuk Palestina,” tutur dia. (ren)