Sihir Gerhana Matahari Total
- U-Report
VIVA.co.id – Hari ini Indonesia mendapatkan 'tamu istimewa', Gerhana Matahari Total (GMT). Fenomena alam tersebut dibilang istimewa sebab GMT yang melintasi area yang sama akan diperkirakan akan datang 350 tahun lagi. Sementara siklus GMT secara reguler bisa hadir dalam kurun tiga dekade.
Dengan perkiraan datangya GMT yang khusus menyambangi Indonesia saja, maka bisa dibilang fenomena ini sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja. Momen ini mampu menyihir bukan saja publik Indonesia tapi juga manca negara.
Sisi keistimewaan GMT pada tahun ini juga sangat kontras bila dibandingkan dengan penyambutan GMT yang melalui wilayah Indonesia pada 33 tahun lalu, 1983. GMT 1983 tersebut terjadi saat siang pukul 11.29 WIB. GMT saat itu sarat kontroversi itu padahal gerhana itu termasuk yang terpanjang yang pernah terjadi yakni sekitar 5 menit 4 detik.
Pada 1983, penyambutan GMT dilakukan dengan nyaris sepi, tak semarak seperti saat ini. Mitos kengerian dibangun atas gerhana matahari saat itu dipropagandakan oleh pemerintah.
Fenomena GMT 1983 memang menjadi fenomena alam unik yang baru terjadi pertama kali di Indonesia. Bangsa Indonesia pun kala itu dianggap kebingungan menyikapinya. Sejumlah peringatan keras dan larangan dikeluarkan oleh pemerintah kepada rakyat yang juga masih awam terhadap fenomena GMT. Bahkan salah satu saksi, yang kini menjadi Dosen Ilmu Falak Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, KH Ahmad Hambali, mengatakan saat itu marak dengan spanduk larangan dan menebar ketakutan di jalanan.
Larangan itu secara massif disampaikan melalui berbagai media, baik elektronik, cetak bahkan melalui spanduk di jalan-jalan. Warga di larang keluar rumah, sekolah dipulangkan lebih awal. Siswa diimbau bersembunyi di dalam rumah.
Kengerian itu juga ditampakkan dengan patroli khusus kepolisian yang mondar-mandir mengingatkan masyarakat agar tidak menonton GMT secara langsung. Bahkan petugas menghalau paksa masyarakat untuk masuk ke dalam rumah.
Respons kengerian GMT saat itu diwakili dengan spandok bernada ancaman. 'Jangan mencoba-coba melihat gerhana matahari walaupun hanya sedetik. Kebutaan akibat melihat langsung gerhana matahari tidak dapat diobati'.
Di tengah larangan itu, anehnya masyarakat hanya boleh menyaksikan GMT dari siaran langsung Stasiun TVRI yang bekerjasama dengan NHK Jepang. Siaran langsung dilakukan di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Situasi kontras terjadi dalam penyambutan GMT pada tahun ini. Semarak sudah terlihat di mana-mana menunggu datangnya GMT. Denyut semarak di 11 kota di 12 provinsi yang dilintasi GMT dalam sebulan terakhir sudah terlihat. Komunitas astronomi, anak sekolah sampai anak pesantren ikut sibuk dengan penyambutan GMT 2016. Tak ketinggalan peneliti dalam negeri dan luar negeri serta lembaga riset pemerintah berbondang-bondong menyiapkan pengamatan gerhana. Â
Dalam beberapa hari terakhir beberapa daerah sudah menyiapkan acara nonton bareng GMT. Festival digelar, live streaming juga disiapkan beberapa lembaga peneliti dan disiarkan televisi, ratusan anak sekolah di Palembang juga riuh ikut membuat kacamata gerhana sampai industri pariwisata bergairah. Bahkan pejabat mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri sampai pejabat di daerah yang sudah siap menyaksikan detik-detik GMT.
Menanggapi antusiasme masyarakat tersebut, Ketua Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin yakin momentum GMT 2016 ini akan bermakna bagi peningkatan pengetahuan dan minat atas fenomena alam dan astronomi di masa depan.
"GMT bisa sebagai pemacu semangat publik untuk mengenal fenomena alam berbasis sains," kata dia kepada VIVA.co.id, Selasa 8 Maret 2016.
Doktor lulusan Kyoto University, Jepang itu yakin momentum antusiasme publik atas fenomena alam dengan sudut pandang sains akan makin terus berlanjut usai GMT. Ia mengatakan, setelah GMT ini, Lapan akan terus memberikan edukasi berkelanjutan kepada publik sehingga sudut pandang ilmiah dan basis ilmu pengetahuan makin menjadi standar masyarakat.
"Dengan banyaknya fenomena alam yang jadi perhatian publik, seperti gerhana matahari dan bulan, publik makin terbiasa mengasah keingintahuan dan mencari jawaban yang sahih," ujar dia.
Sementara peneliti Lapan, Abdul Rahman berharap momentum euforia publik atas GMT kali ini menjadi hal penting yaitu bisa bisa makin mengikis mitos yang berkembang di masyarakat selama ini.
Abdul mengatakan dengan sudut pandang mitos, maka masyarakat menduga fenomena alam sepeti GMT dengan landasan dan mengaitkan dengan hal yang tak rasional.
"Jadi pemahaman dan untuk mengetahui fenomena alam itu bisa berbasis sains," ujar dia.
Dia mengatakan sejatinya fenomena gerhana adalah fenomena alam yang biasa. Artinya berpotensi terjadi setiap bulan dengan mempertimbangkan bidang orbit yang berbeda antara Bumi dan Bulan. Namun karena publik tak mengakrabi fenomena alam tersebut dengan sudut pandang sains, maka seakan-akan menjadi hal yang luar biasa.
Ke depan ia berharap, momentum GMT ini bisa menjadi pendorong bagi publik, terutama generasi muda agar tak berhenti larut dan puas dalam euforia menonton bareng GMT. Artinya pelajar dan publik bisa lebih jauh memaknai fenomena alam tersebut, misalnya bagaimana mekanisme GMT itu bisa terjadi.
"Jadi bagaimana mencoba mempelajari bagaimana fenomena ini terjadi. GMT ini sebenarnya fenomena yang 'biasa' saja. Mengapa matahari yang jaraknya jauh sekali bisa tertutupi dengan bulan yang kecil. Ini karena ada keteraturan," tuturnya.
Kumpulan mitos
Meski sambutan meriah, di kalangan masyarakat nusantara masih ada mitos yang menyertai munculnya gerhana matahari. Beberapa mitos tersebut di antaranya:
Matahari ditelan
Hilangnya matahari atau bulan dianggap, karena disebabkan oleh sosok supranatural berupa buto ijo, Batara Kala atau penamaan lainnya. Mahluk supranatural itu diyakini menelan benda langit tersebut. Gelap dianggap keburukan.
Musibah atau bencana
Gerhana matahari merupakan tanda adanya bencana dan kerusakan. Ini merupakan awal dari kemarahan Tuhan
Orang hamil jangan keluar rumah
Fenomena gerhana matahari diyakini bisa menyebabkan bahaya pada wanita hamil dan anak yang belum lahir. Beberapa ibu hamil dan anak kecil diharuskan untuk tetap berasa di rumah selama gerhana berlangsung, ada juga yang haus berlindung di kolong ranjang. Kalau tidak, bayi yang lahir bakal cacat.
Melihat langsung gerhana matahari bakal buta
Ada keyakinan jika langsung melihat gerhana matahari mata pengamat langsung mengalami buta.
Aman, melihat gerhana melalui air di baskom
Banyak warga yang masih meyakini, cara menikmasti gerhan matahari yang aman adalah menggunakan media air dalam wadah.
Pukul kentongan atau lesung untuk mengusir kegelapan matahari
Memukul kentongan untuk mengusir mahluk supranatural atau Batara Kala yang ingin menelan matahari. Kentongan atau lesung dianggap mewakili tubuh Bataka Kala yang terpisah dengan kepalanya setelah dipenggal oleh dewa. Kepala Batara Kala diyakini marah dan akhirnya berusaha terus menelan matahari.
Sambutan NASA
Jika publik Tanah Air masih dibumbui dengan mitos dalam menanggapi munculnya GMT, namun hal itu berbeda bagi peneliti asing dari Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Peneliti tersebut malah menanti-nanti fenomena tersebut. Peneliti NASA tak sabar ingin mengamati bagian paling bawah dari atmosfer matahari yang disebut korona.
Selama ini korona telah menyita perhatian peneliti dan astronomi dunia, bila bicara soal studi matahari. Korona disebutkan memegang kunci atas beberapa misteri matahari, mulai dari akselerasi angin matahari, kelahiran ledakan awan dari material mahahari (corona mass ejection/CME). Selain itu, korona juga akan menjadi kunci untuk menguak misteri panas permukaan matahari secara keselururan.
Nah, untuk mengungkap tersebut pada GMT di Indonesia, peneliti NASA akan menguji instrumen kamera baru. Selama meneliti GMT di Halmahera, Maluku, peneliti NASA akan menguji instrumen baru, yatu berupa kamera khusus.
Instrumen itu akan membantu mengukur cahaya yang terpolarisasi. Peneliti butuh itu untuk mempelajari elektron pada korona matahari.
"Kami akan ke Indonesia memasang eksperimen itu dan kami akan mengamati secara sangat dekat permukaan matahari dan bagaimana kondisi fisik korona matahari,"Â ujar ahli antrofisika dari NASA Nat Gopalswamy dikutip dari video yang diunggah di website NASA, Senin, 7 Maret 2016.
Gopalswamy mengatakan dengan instrumen kamera terpolarisadi baru itu, maka peneliti bisa memotong panjangnya waktu pengamatan yang dibutuhkan hingga 50 persen.
"Ini kesempatan luar biasa untuk melihat keindahan alam," kata dia.
Sedangkan peneliti lain yang akan terjun ke Halmahera, Nelson Reginald juga tak sabar untuk melihat GMT. Peneliti Goddard Space Flight Center NASA itu mengatakan, pengamatan korona matahari itu sekaligus akan menguji instrumen baru.
"Kami ingin mencoba mempelajari eksperimen ini agar mengukur sejauh mana kemampuan polarisasi kamera. Sedangkan gambar yang dihasilkan bisa 4 filter warna. Kami juga akan mengukur suhu dan juga kecepatan angin (matahari)" kata dia.