Akhir Perjalanan Kisah Tragis Engeline
- ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
VIVA.co.id – Hari itu menjelang tengah hari pada 10 Juni 2015 saat tim forensik dari Kepolisian Daerah Bali menyisir kediaman Margriet Christina Megawe di Jalan Sedap Malam Denpasar.
Sebuah gundukan tanah becek bercampur kotoran ayam dengan aroma menyengat di belakang rumah Margriet tengah menjadi sorotan.
Siang itu juga, sesosok jasad mungil ditemani sebuah boneka kecil didapati meringkuk terbalut kain putih dengan leher terikat tali. Kondisinya mengenaskan. Sebagian tubuhnya sudah membusuk dan mengeluarkan bau yang menyengat setelah terkubur selama lebih dari sepekan.
Usai sudah pencarian. (8), anak angkat Margriet Megawe yang dilaporkan hilang sejak 16 Mei 2015 ternyata ditemukan di rumahnya sendiri. Ia dikubur di dekat kandang ayam yang biasa diberi umpan oleh Engeline semasa hidupnya.
FOTO: Potret Engeline (8), siswi SD Denpasar yang ditemukan dalam kondisi tragis pada 10 Juni 2015.
Menyita Perhatian
Kematian tragis , harus diakui sejak dilaporkan hilang memang telah membuat geger media dan publik di Indonesia.
Entah magis apa yang membuat benar-benar menghenyak perhatian. Tatapan mata dan polosnya wajah bocah cantik yang terlihat di fotonya saat dilaporkan hilang itu memang telah memaksa setiap orang untuk peduli dan merasuki kehidupan semasa hidupnya yang memang benar-benar tragis.
, sesungguhnya merupakan bocah biasa. Ia terlahir dari keluarga miskin pasangan Hamidah dan Rosidiq warga Banyuwangi Jawa Timur. Kala itu, tepatnya pada tahun 2007, Hamidah bersalin di salah satu klinik Desa Canggu Kuta Utara Badung Bali.
Namun karena ketiadaan biaya, bayi yang baru berusia tiga hari kala itu ditawarkan kepada Margriet. Karena perempuan paruhbaya itu bersedia melunasi biaya persalinan Rp600 ribu dan berjanji merawat anak kedua Hamidah tersebut.
Meski begitu, perjanjian lisan tetap ada. Hamidah dan suami hanya boleh diperkenankan untuk menemui putri mereka jika telah berusia 18 tahun.
FOTO: Aksi simpatik siswa SD terhadap kematian Engeline di Denpasar Bali
Namun, nasib berkata lain. ditemukan tewas mengenaskan sebelum sang ibu, Hamidah, sempat melihat senyum dan tumbuh kembangnya hingga remaja.
Sejak penemuan jasad pada 10 Juni 2015, satu demi satu kekejian lain terungkap. Maklum, siapa sangka, bocah kecil yang ditemukan tewas terkubur di sebelah kandang ayam itu ternyata mengecap hidup yang mencengangkan.
Sejak pagi buta, ia ternyata dipaksa memberi makan ayam milik Margriet yang mencapai ratusan ekor. Bocah cantik ini pun tak pernah sempat mandi kalau ke sekolah. Bahkan pernah ada kotoran ayam mengering di rambutnya saat ke sekolah.
juga tak pernah mendapatkan makanan yang layak. Anak ini harus mengalah dari hewan piaraan Margriet yang lebih mendapatkan perhatian dari ibu angkatnya.
Dan tentu yang lebih memprihatinkannya lagi, ternyata kerap mendapatkan kekerasan dari ibu angkatnya. Rambutnya dijambak, lehernya dicekik dan ditendang oleh Margriet.
Tak pelak fakta dan cerita itu semakin membuat publik geram. Nasib tragis pun seolah membuka kesadaran publik terhadap anak-anak mereka. Sebab itu juga, pun menyita perhatian publik Indonesia.
Sebab itu, mahfum adanya dua pengacara kondang bertarif miliaran rupiah, Hotman Paris Hutapea dan Hotma Sitompul, pun rela terjun dalam kasus ini.
"Kasus yang dialami kembali membuka mata kita bahwa anak Indonesia masih terancam," kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait Juni silam.
Sumpah Serapah Hamidah
Delapan bulan berjalan. Kisah kematian menuju titik akhir. Margriet Megawe, ibu angkat akhirnya divonis penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Denpasar.
FOTO: Hamidah, ibu kandung Engeline
Sementara Agus Tay Hamda May, yang merupakan pembantu Margriet divonis 10 tahun penjara. Keduanya dianggap terlibat dan bertanggung jawab dalam kematian bocah yang sedianya berumur 9 tahun pada 19 Mei 2016 tersebut.
Margriet, menurut putusan hakim yang dibacakan oleh Hakim Edward Harrus Sinaga, Senin 29 Februari 2016, terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana, eksploitasi ekonomi, memperlakukan anak secara diskriminatif, secara moril maupun materil.
Hakim menilai seluruh pasal dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terbukti secara sah dan meyakinkan.
Ketiga pasal itu adalah Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 76 I jo Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak atas perubahan perubahan UU Nomor 23 tahun 2002, dan Pasal 76 B jo Pasal 77 B Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Pasal 76 A huruf a jo Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.
FOTO: Ibu angkat Engeline, Margriet Christina Megawe
"Tidak ada hal yang meringankan. Sementara untuk hal memberatkan terdakwa tidak mengakui perbuatannya," kata Edward
Teruntuk Agus Tay, pria asal Nusa Tenggara Timur ini dijatuhi vonis 10 tahun penjara. Ia dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan mengetahui adanya pembunuhan berencana sesuai pasal 340 junto 56 KUHP.
Ia juga dianggap menyembunyikan mayat untuk maksud menutupi suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 181 KUHP.
"Hal yang meringankan karena terdakwa Jujur dan keterangannya bisa membongkar pelaku utama. Terdakwa juga berlaku sopan selama sidang," ujar Edward.
Vonis ini, jelas dirasa Hamidah, ibu kandung tetap belum mengobati kepedihannya. Baginya kematian Engeline, meski tak pernah diasuhnya sekali pun tetap tak setimpal hanya dengan hukuman penjara bagi para pelakunya.
Usai persidangan, perempuan asal Banyuwangi Jawa Timur ini bahkan mengumpat dan menangis sejadi-jadinya atas vonis hakim terhadap Margriet dan Agus Tay.
Hamidah pun menyumpah bila apa yang diderita anaknya akan ikut dirasakan oleh mereka yang menjadi pelaku pembunuhan dan penganiayaan keji terhadap .
"Semoga anak kalian merasakan apa yang anak saya rasakan. Tuhan Yesus akan mendengar doa saya, akan mengabulkan doa saya," kata Hamidah keras.
Seperti sejak awal kasus ini terungkap, Hamidah tetap bersikukuh orang yang telah menganiaya dan membunuh harus dihukum mati. Sebab baginya hukuman itu pantas bagi mereka yang telah membunuh buah hatinya.
"Saya mau tetap dihukum mati," teriak Hamidah.
Perlawanan Margriet dan Agus
Di sisi lain, ibu angkat , Margriet Megawe, pun sepertinya kukuh merasa tak bersalah dengan kematian anaknya tersebut.
Perempuan 61 tahun ini, langsung menyatakan banding atas putusan vonis tersebut. Lewat kuasa hukumnya Margriet tetap berusaha meyakinkan bahwa pelaku pembunuhan sesungguhnya adalah pembantunya Agus Tay.
"Tidak ada bukti yang mengatakan pelaku pembunuhan selain Agus Tay. (Jadi) Cuma satu orang itu yang sudah mengakui," kata Hotma Sitompul, kuasa hukum Margriet Megawe.
FOTO: Ibu angkat Engeline saat melakukan rekonstruksi kasus kematian Engeline
Dalih Hotma, pengakuan Agus Tay itu telah diakuinya kepada polisi dan di persidangan. Sebab itu, ia meyakini Margriet hanyalah korban tekanan publik yang berangkat dari kekerasan yang dilakukan kepada saat disuh Margriet.
"Tentu pasti kami banding, karena menurut perasaan keadilan kami maupun fakta-fakta yang terungkap di persidangan putusan ini tidak tepat," kata Hotma.
Di sisi lain, Agus Tay, yang mendapat pembelaan dari Hotman Paris Hutapea, juga menyatakan ketidakpuasannnya atas vonis 10 tahun penjara terhadap Agus.
"Saya tidak puas dengan putusan ini," kata Agus usai persidangan.
Atas itu juga, Agus pun menyatakan banding dan berharap mendapatkan putusan yang lebih meringankan. Sebab, sebagaimana dalih Agus sejak awal, ia bukanlah pembunuh .
Agus Tay hanyalah pembantu yang juga mendapatkan tekanan dan ancaman dari Margriet selama ia bekerja di rumah selama hampir tiga bulan.
"Agus sama sekali tidak ada unsur membantu. Pelaku utama adalah Margriet," kata Hotman Paris, kuasa hukum Agus Tay.
Membuka Mata
Kini terlepas dari kisruh vonis atas kedua terdakwa pembunuh . Kisah kematian bocah kelas III sekolah dasar itu, membuat semua terbelalak.
Kejahatan, kekerasan dan hingga pembunuhan semakin dipertegas bahwa itu terjadi tidak jauh dari lingkungan sendiri. menjadi figur dramatis sekaligus sosok bocah yang menggetarkan setiap orang yang membaca utuh kisah hidupnya.
Sebab itu, kematian harus menjadi pelajaran semua orang. Kasus kekerasan anak di Indonesia harus segera dihentikan. Siapa pun orang, mulai dari sekolah, tetangga, orang tua dan termasuk lingkungan sekitar bertanggungjawab atas keselamatan anak-anak.
FOTO: Ilustrasi/Kekerasan terhadap anak di Indonesia
"Kasus Angeline berkontribusi besar pada peningkatan ekspos kekerasan pada anak di Indonesia," kata Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2), Rustika Herlambang Juli silam.
Sebab, lanjutnya, hanyalah fenomena puncak gunung es yang berada di permukaan laut hitam. Fakta menunjukkan masih banyak bocah yang bernasib nyaris serupa dengan .
"Kasus menjadi alarm, yang menandakan bahwa di Indonesia kehidupan anak-anak masih belum sepenuhnya terlindungi, masih jauh dari rasa aman," tutup Rustika.