Kontroversi Larangan Artis Pria 'Melambai' di TV
VIVA.co.id – Jangan pernah menganggap televisi itu sebagai gurauan. Satu kalimat, atau tingkah laku bisa berdampak luas terhadap masyarakat. Apabila kalimat, atau tingkah laku itu positif, mungkin hasinya akan baik bagi masyarakat. Tetapi, bagaimana kalau sebaliknya?
Mungkin itulah yang harus diperhatikan dari tayangan, atau program televisi belakangan ini. Alasan itu, kiranya juga yang mendorong Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyerukan penghentian program acara di televisi yang menampilkan artis-artis pria yang bergaya seperti wanita.
KPAI mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersikap tegas terhadap stasiun televisi yang menampilkan artis laki-laki yang bergaya kemayu dan gemulai.
KPAI menilai, penampilan artis-artis 'melambai' berpotensi ditiru oleh anak-anak. Menurut Kepala Divisi Sosialisasi KPAI, Erlinda, artis itu adalah publik figur yang banyak diidolakan anak-anak, khususnya remaja. Perilaku para artis di televisi yang bergaya seperti wanita, akan sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
"Jika anak salah dalam memilih idola, berpotensi sang anak akan menduplikasi hal yang buruk yang dilihat dan ditiru pada sang idola," katanya.
Pada 23 Februari 2016, KPI mengeluarkan surat edaran dengan nomor 203/K/KPI/02/16. Surat itu ditujukan untuk seluruh lembaga penyiaran.
Dalam surat edaran tersebut KPI menjelaskan bahwa masih banyak program siaran yang masih menampilkan pria yang berperilaku dan berpakaian seperti wanita.
Karena itu, KPI Pusat menyatakan melalui surat tersebut meminta, agar stasiun televisi tidak menampilkan pria sebagai pembawa acara, talent, maupun pengisi acara dengan tampilan sebagai berikut:
1. Gaya berpakaian kewanitaan;
2. Riasan (make up) kewanitaan;
3. Bahasa tubuh kewanitaan, (termasuk, namun tidak terbatas pada gaya berjalan, gaya duduk, gerakan tangan, maupun perilaku lainnya);
4. Gaya bicara kewanitaan;
5. Menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk berperilaku kewanitaan;
6. Menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita;
7. Menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan kalangan pria kewanitaan.
"KPI PUsat menilai, hal-hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat serta perlindungan anak-anak dan remaja," begitu isi kutipan dalam surat edaran KPI Pusat.
Hadirnya surat edaran
Surat edaran mengenai larangan tayangan yang menampilkan pria kewanitaan dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berdasarkan pemantaun dan aduan dari berbagai kalangan di masyarakat. Mulai dari para guru, orangtua, dan psikolog.
"Mereka melihat tayangan yang ada sudah sangat mengkhawatirkan. Mulai dari perilaku, gaya, pakaian yang kewanita-wanitaan semakin marak," kata Idy Muzayyad, wakil ketua KPI Pusat, saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 26 Februari 2016.
Idy menambahkan, hal tersebut diatur dalam Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012. Program penyiaran tidak boleh menampilkan hal yang tidak pantas.
"Tapi di tv, justru menampilkan hampir setiap saat, dan muncul setiap hari seakan itu adalah hal yang lumrah. Karena itu, kita harus bertindak untuk melindungi anak dan remaja dari efek negatif penyiaran," ujarnya.
Saat disinggung, apakah dikeluarkannya surat edaran ini berhubungan dengan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap ABG pria yang melibatkan Saipul Jamil, Idy membantahnya.
"Tidak berhubungan secara langsung. Tidak ada korelasinya," ujarnya.
Pro kontra
Dikeluarkannya surat edaran mengenai larangan tayangan pria berperilaku seperi wanita mnejadi sorotan. Surat edaran ini juga mengundang pro dan kontra.
Seperti yang diungkapkan oleh mantan wartawan, Dhandy Laksono. Dalam akun Facebook miliknya, Dhandy menduga KPI sengaja memelintir pasal-pasal tertentu yang intepretatif, dan menyembunyikan pasal-pasal lain yang justru lebih eksplisit mengatur masalah ini.
Agar terlihat legal dan resmi, KPI mengutip sejumlah pasal dalam P3-SPS, seperti pasal 9 berikut ini.
“Program siaran wajib memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan yang dijunjung oleh keberagaman khalayak baik terkait agama, suku, budaya, usia, dan/atau latar belakang ekonomi.”
Konsep "kesopanan dan kesusilaan" dalam pasal di atas diletakkan dalam konteks 'keberagaman'. Jadi, tidak ada satu tafsir tunggal yang boleh mendominasi.
"Bagaimana seni peran disimpulkan sebagai ketidaksopanan, atau bertentangan dengan norma kesusilaan? Kacamata siapa yang dianggap paling mewakili? Kalangan mayoritas? Padahal, pasal ini dibuat bukan soal mayoritas dan minoritas, tetapi konteks di mana dan siapa yang menonton," ujarnya.
Ia menceritakan, salah satu contoh yang diskusikan dulu adalah tayangan feature dokumenter tentang suku-suku di pedalaman Afrika, atau Pasifik Selatan produksi luar. Banyak bagian tubuh tertentu yang tidak di-swasensor (diburamkan, atau disunting) oleh produsernya.
Tetapi, standar ini tidak diterapkan pada ras yang lain, misalnya. Seolah hendak bilang: “Penonton kami tidak tertarik dengan ras tertentu” (sehingga tidak perlu disensor). Kami hanya tertarik pada ras yang itu” (sehingga disensor).
Maka ketika tayangan seperti itu hadir di ruang keluarga televisi, yang perlu dihormati adalah “keberagaman khalayak”.
Bahwa sebagian khalayak kita, tidak membedakan warna kulit dalam melihat mana yang “tabu” dan tidak. Pandangan yang justru tidak bias ras, di satu perspektif tertentu.
Inilah yang dimaksud oleh pasal 9, di mana “Program siaran wajib memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan yang dijunjung oleh keberagaman khalayak baik terkait agama, suku, budaya, usia, dan/atau latar belakang ekonomi.”
Ditambahkan Dhandy, menggunakan pasal kesopanan dan kesusilaan dalam masalah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) tidak saja subjektif, juga memvonis bahwa seseorang dengan orientasi seksual tertentu dianggap "tidak sopan dan asusila".
Maka yang “normal”, berarti sopan dan susila? Lalu, ada juga pasal 15 yang dikutip sebagai dalih melindungi kepentingan anak dan remaja:
“Program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan/atau remaja.”
Pasal ini juga tidak dapat serta merta digunakan sebagai landasan untuk melarang tayangan-tayangan yang memiliki konteks tertentu. Setiap tayangan harus ditelaah dan dibedah sebelum divonis.
Ditambahkan Dhandy, P3-SPS 2012 justru memiliki pasal yang melindungi LGBT. "Tetapi, pasal itu saya duga dengan sengaja justru disembunyikan oleh KPI, saat menulis edaran di atas," ungkapnya. Ia menegaskan, KPI telah gagal menegakkan indepedensi lembaga penyiaran.
Sementara itu, mantan Ketua PWI Jaya, Kamsul Hasan memiliki pandangan yang berbeda dengan surat edaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tersebut.
Menurutnya, surat edaran tentang larangan tayangan pria bergaya gemulai sudah tepat. Diungkapkan Kamsul, yang perlu dipahami, televisi di Indonesia azasnya adalah Pancasila. Hal itu diatur dengan jelas dalam UU No.32 Tahun 2012 tentang Penyiaran.
"KPI memang tidak boleh melenceng dari itu. KPI yang mengawasi dan mengamankan, serta menyelamatkan," ujarnya saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 26 Februari 2016.
Menurutnya, surat edaran itu untuk mengingatkan kembali tujuan penyiaran Indonesia.
"Penyiaran itu menggunakan frekuensi, dan frekuensi itu milik publik, jadi harus dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, di sini KPI harus tegas, harus diatur," ungkapnya.
KPI sendiri sangat menyadari surat edaran tentang larangan tayangan yang memperlihatkan pria yang 'melambai' itu akan menuai kontroversi.
Namun, perwakilan KPI, Idy menjelaskan bahwa ini bukanlah sesuatu yang baru. "Ini sudah lama kita sampaikan, tetapi pihak televisi terus mengabaikan. Kita harus melihat bahaya dari dampak peniruan," ujarnya.
Ia pun melanjutkan, pihak televisi memang sempat keberatan, tetapi akhirnya bisa menerima keputusan tersebut. "Mereka sadar media itu besar, apalagi televisi dampaknya sangat luas," ungkapnya.
Mengenai pengawasannya, KPI akan terus memantau dan mengamati secara reguler berbagai tayangan di televisi.
"Sanksinya sendiri mulai dari teguran, pengurangan durasi acara, dan pemutusan program sementara," ungkapnya.
Apa kata pelaku hiburan
Maraknya acara televisi yang menampilkan artis pria berpenampilan ala wanita, mendorong KPI mengeluarkan surat edaran yang melarang stasiun televisi menampilkan pria kemayu dan gemulai.
Larangan tersebut, mendapat perhatian dari sejumlah pelaku hiburan di Tanah Air. Tanggapan mereka sangat beragam.
Seperti Ersa Mayori. Sebagai seorang ibu, artis ini menyadari anak-anak paling cepat belajar dari apa yang mereka lihat. Untuk itu, Ersa selalu mendampingi kedua anaknya, saat mereka menyaksikan televisi, atau berselancar di internet.
"Mendampingi bareng, saya tahu apa-apa aja yang ditonton. Sudah terukur, kalau nonton lewat youtube sudah pasang, restriction sudah diaktifin semua," kata Ersa.
Maka, saat KPI mengeluarkan larangan untuk tidak menampilkan laki-laki yang bergaya, berdandan, atau bertingkah laku seperti perempuan, Ersa tak menolaknya. Ia yakin, KPI bisa memenuhi tanggung jawabnya untuk mengawasi setiap tayangan.
"KPI memang harus memonitor yang ada di televisi, semua hal, bukan itu aja, apapun yang dianggap dan dirasa sesuai norma yang ada, berhak aja untuk menertibkan," katanya.
Namun, aktor Tanta Ginting tidak sependapat dengan Ersa. Menurutnya, dengan larangan tersebut, Tanta menilai KPI telah membatasi orang untuk berkesenian.
"Seni kan punya karakter masing-masing. Gue yang enggak sukanya KPI membatasi orang untuk berkesenian," ujarnya.
Pemain film Skakmat ini, ingin KPI menyerahkan hal ini kepada orangtua untuk mengawasi tontonan buah hati mereka. Meski demikian, apakah KPI berlebihan?
"Berlebihan, atau enggak agak bingung juga gue. Karena, dari dulu aja kita enggak punya gitu, fun-fun saja. Maksudnya, dari zaman Dono Kasino Indro, juga ada yang begitu. Ada Tessy juga, terus kita gedenya aman-aman aja," jelas pemain film Guru Bangsa: Tjokroaminoto ini.
Deddy Corbuzier memiliki pandangan lain. Kata Deddy, dia adalah artis pertama yang dapat selebaran tersebut dari KPI secara langsung.
"Karena minta untuk disosialisasikan," ujarnya.
Deddy mengaku tidak pernah ada satu kata pun menolak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Tetapi, yang dipermasalahkan ayah satu anak ini adalah propagandanya.
"Kita tahu mereka itu ada, kita tidak menolak adanya mereka, tetapi mempropagandakan akan berdampak negatif ke depannya," ungkapnya, saat dihubungi VIVA.co.id.
Jadi, secara pribadi, ungkap Deddy, adanya propaganda itu memang sudah seharusnya tidak ditayangkan. Ia menilai larangan ini cukup efektif.
"Setelah adanya edaran ini, agak sedikit berubah beberapa hari belakangan ini," katanya. (asp)