China, Raksasa Asia Pemasok Senjata Dunia
- dailysignal.com
VIVA.co.id – Di kala negara Barat mengerem penambahan anggaran militer, Asia justru melakukan hal sebaliknya. India, Pakistan, Vietnam, Filipina, Singapura, dan China, merupakan beberapa negara di Asia yang doyan menggelontorkan uangnya untuk belanja persenjataan.
Selain itu, meningkatnya ketegangan atas berbagai masalah teritorial turut memantik negara-negara Asia membangun kekuatan militer. Penyebab jomplangnya perimbangan militer ini lantaran krisis ekonomi yang masih mendera dunia.
Dari beberapa negara Asia yang disebutkan di atas, China adalah negara yang paling getol “membuang” uang untuk membuktikan militernya terbaik di kawasan, dan mungkin dunia. Tapi, China tidak khilaf belanja alias impor. Negeri Panda itu juga membuat, mencipta lalu menjual senjata ke luar negeri.
Di sini, China “mengetes” senjata buatannya sendiri. Meski banyak negara protes lantaran negeri Tirai Bambu itu dianggap plagiat, namun tidak memundurkan langkahnya untuk terus menciptakan senjata yang benar-benar “made in China”.
Industri persenjataan diprediksi tidak pernah mati. Asalkan ada konflik, pasti butuh senjata. Bahkan, ada adagium yang bersifat paradoks berbunyi, Si Vis Pacem Para Bellum, yang berarti siapa yang ingin damai, bersiaplah untuk perang.
Intinya, dunia tidak akan tenang dari perang. Meski tidak diakui secara resmi oleh negara-negara penghasil dan pengeskpor senjata, namun faktanya berkata lain.
Bukanlah waktu yang sebentar bagi China dalam membangun industri kedirgantaraan. Era 1950 adalah masa di mana China mulai menancapkan peta biru (blueprint) industri militernya dan bagaimana transformasi China hingga kini dicapai.
Sophie-Charlotte Fischer, ahli persenjataan yang berbasis di Bangkok dan analis Mercator Fellow untuk Internasional, mengatakan, China sebagai entitas ekonomi terbesar di kawasan, sebenarnya menghabiskan anggaran militer tiga kali lipat dari yang disampaikan secara formal.
Bergantung impor
Namun, kata dia, raksasa Asia Timur ini tetap sebagian bergantung pada impor untuk beberapa komponen senjata utama. Di antaranya termasuk pesawat besar transportasi, helikopter, dan mesin untuk pesawat, kendaraan serta kapal.
“Mereka (China) masih menyumbang 30 persen dari impornya sejak tahun 2011,” ucap Fischer, seperti dikutip dari situs dw, Senin, 22 Februari 2016. Senada, Siemon Wezeman, peneliti senior SIPRI melihat, saat ini China belum 100 persen mampu mengekspor alutsistanya.
Ia beralasan, karena China masih memerlukan beberapa komponen yang harus impor untuk melengkapi persenjataannya.
“Kita semua mengetahui kalau China dan Rusia beraliansi. Tahun lalu, keduanya menandatangani kesepakatan kerja sama militer pembelian sistem pertahanan udara dan satu skadron jet tempur dari Rusia. Saya rasa China tidak mempermasalahkan biaya, karena ekonomi mereka kedua terbesar di dunia setelah AS," kata Wezeman, dilansir dari situs Channel News Asia, Senin, 22 Februari 2016.
SIPRI atau Stockholm International Peace Research Institute, lembaga think tank militer dunia yang berbasis di Swedia, menyebutkan, sepanjang 2011-2015, ekspor persenjataan China mencapai dua kali lipat.
Sementara itu, impor senjatanya turun hingga 25 persen, bila dibandingkan periode lima tahun sebelumnya. Lalu, negeri Tirai Bambu ini menyumbang 5,9 persen dari total ekspor senjata global 2011-2015.
Kendati demikian, persentase ini masih jauh di belakang AS dan Rusia, di mana masing-masing mencapai 28 persen dan 27 persen. Namun, China menyalip Prancis dan Jerman yang berada di urutan empat dan lima.
Wezeman menyebut bahwa ekspor alutsista (alat utama sistem persenjataan) China tumbuh 88 persen pada 2011-2015 dibandingkan dengan periode lima tahun sebelumnya.
"Pada 10 tahun lalu, mereka (China) hanya mampu menjual peralatan militer berteknologi rendah. Tapi, sekarang sudah berubah," ungkap Wezeman.
Berikut data importir senjata berdasarkan wilayah periode 2011-2015. Kawasan Asia dan Oseania masih mendominasi pembelian senjata sebesar 46 persen, naik 4 persen dari periode lima tahun sebelumnya.
Selanjutnya, Timur Tengah dengan 25 persen, atau meningkat 4 persen dari periode yang sama. Namun, wilayah Eropa dan Amerika masing-masing turun sebesar 7 persen dan 2,4 persen. Dari sebelumnya masing-masing 18 persen dan 12 persen menjadi 11 persen dan 9,6 persen.
Terakhir, Afrika mengalami kenaikan 3 persen, dari 7,7 persen menjadi 8 persen.
Belum teruji
Ia juga mengatakan, alutsista yang diproduksi China saat ini jauh lebih maju dari sepuluh tahun yang lalu. Kondisi ini mampu menarik perhatian beberapa pasar yang terbiasa membeli alutsista dari AS, Rusia dan bahkan Eropa.
"Saya rasa, rencana China untuk bergerak maju dengan modernisasi industri pertahanan dalam negeri dan memajukan kekuatan inovatif independen, akan terus berlanjut,” ungkapnya.
Berdasarkan data SIPRI, China menggelontorkan anggaran militer pada 2015 sebesar 886,9 triliun yuan (£98,19 triliun) atau US$145,8 miliar, meningkat 10 persen dari 2014.
Berikut perbandingan anggaran militer antara AS, Rusia, dan China periode 2011-2015.
AS pada 2011 menganggarkan sebesar US$589 miliar, 2012 (US$682 miliar), 2013 (US$618 miliar), 2014 (US$601 miliar), dan 2015 (US$597 miliar).
Sementara itu, China pada 2011 menganggarkan sebesar US$91,7 miliar, 2012 (US$166 miliar), 2013 (US$171 miliar), dan 2014 US$216 miliar.
Adapun Rusia menggelontorkan uangnya sebesar US$72 miliar pada 2011, US$90,7 miliar pada 2012, US$84,9 miliar di 2013, US$84,5 miliar pada 2014, dan US$65,6 miliar tahun lalu.
Menurut Wezeman, dalam berdagang, China pun memiliki strategi dalam menjual alutsista ke pasar luar negeri, yakni teknologi tinggi tapi berbiaya rendah.
Hal ini beralasan karena China disebut “pemain baru” dalam kancah perdagangan senjata dan alutsistanya belum teruji secara nyata, lantaran belum dibawa ke medan pertempuran.
"Sebagian besar ekspor senjata China ke negara di Asia dan Oseania. Tapi, Pakistan sebagai salah satu importir besar China yang mencapai 35 persen. Diikuti Bangladesh dan Myanmar. Tapi, sayangnya, alat tempur mereka belum teruji di medan sesungguhnya," tuturnya.