Rentan Suap Para Pejabat Lembaga Penegak Hukum
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 12 Februari 2016 lalu, menangkap 3 orang dalam sebuah operasi tangkap tangan. Mereka adalah Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna; Direktur PT Citra Gading Asritama, Ichsan Suaidi serta Pengacaranya, Awang Lazuardi Embat.
Mereka diduga melakukan transaksi suap, yang bertujuan agar salinan putusan kasasi terkait perkara yang menjerat lchsan dapat ditunda, sehingga eksekusi hukum terhadap dirinya juga ikut tertunda.
Ichsan diketahui merupakan terpidana kasus pembangunan dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat tahun 2007-2008. Namun hingga saat ini, lchsan belum dieksekusi.
Penangkapan ini kembali menjadi pukulan telak bagi penegakan hukum di Indonesia, yang memang sejak awal era reformasi mendapatkan sorotan paling tajam, karena ditengarai bersarang praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Pukulan ini terasa lebih menyesakan, karena terjadi di lembaga hukum tertinggi di Indonesia, MA. "Sebagai lembaga, MA perlu mendorong perbaikan sistem, transparansi dan antikorupsi, itu perlu diformulasikan," ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting kepada VIVA.co.id, Senin 15 Februari 2016.
Menurutnya, praktik korupsi ini bisa terjadi karena memang MA sebagai lembaga, lemah dalam menerapkan pengawasan, terutama kepada internal mereka. Padahal dari eksternal, sudah banyak aturan hukum yang melarang perbuatan suap menyuap, mulai dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang tentang Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
"Ini bukan persoalan regulasi, dengan adanya penangkapan setidaknya sudah dua kali, menurut saya masih banyak kelonggaran, kasus terakhir suap untuk menunda eksekusi, banyak kelonggaran yang bisa dimanfaatkan oknum di internal MA," jelas Miko.
KPK memang sudah dua kali menangkap tangan oknum pegawai MA karena kasus suap. Sebelumnya ada Staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Djodi Supratman. Ia divonis terbukti bersalah dan dihukum 2 tahun penjara, karena menerima suap sebesar Rp150 juta, agar mengurusi perkara kasasi pidana penipuan terdakwa Hutomo Wijaya Ongowarsito di MA.Â
Miko menilai, pilihan paling rasional yang bisa dilakukan MA kalau masih mau dipercaya masyarakat, adalah membuktikan adanya perbaikan sistem di internal mereka. Pasalnya, aturan hukum dan suntikan motivasi ekonomi berupa remunerasi, ternyata tak mampu membuat oknum di MA untuk menahan diri dari menerima suap.
Remunerasi ini pun tak sedikit, berdasarkan Nomor Surat Keputusan MA No 128/KMA/SK/VIII/2014Â pada 2014, lingkungan MAÂ mendapatkan remunerasi mulai Rp 1,7 juta untuk golongan paling rendah, sampai tertinggi Rp 32 juta rupiah buat eselon 1.
"Apakah pola pengawasan berjenjang, atau pengawasan melekat pada internalnya, tergantung nanti SDM mereka seperti apa, atau membuka mekanisme pelaporan di internal, tapi harus ada ihktiar," ungkap Miko.
Pada kesempatan terpisah, Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi mengklaim, bahwa MA sudah menerapkan pengawasan internal yang ketat bagi pegawai internal mereka. "Pengawasan dan sebagainya sudah ketat sedemikian rupa, tapi perbuatan seseorang di luar MA bisa dilakukan by phone dan sebagainya. Jadi ketat kita sudah ada aturan dan standar operasional prosedurnya," kata Suhadi di Gedung MA, Jakarta, Senin 15 Februari 2016.
Ia berjanji, ke depan, MA akan memperketat lagi pengawasan manajemen perkara di lembaga tersebut, dimulai dari tingkat paling bawah sampai jajaran hakim agung. "Badan Pengawas kalau ada hal-hal yang menyimpang dilaporkan baik oleh pihak dari dalam MA maupun dari luar MA," ujarnya lagi.
Tak Hanya MA
Penangkapan terhadap pegawai MA oleh KPK hanya satu contoh dari buruknya sistem hukum di Indonesia. Menurut Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi, peristiwa ini harusnya menjadi pelajaran bagi seluruh aparat penegak hukum lainnya, untuk lebih profesional dalam menjaga integritas tugas mereka.
"Kami sangat menyayangkan, sebab di tengah keinginan dan usaha banyak pihak dalam membenahi dunia peradilan, kinerja lembaga kembali tercoreng dan kepercayaan publik akan semakin tergerus akibat perbuatan tidak patut yang dilakukan segelintir oknum," kata Farid, Sabtu, 13 Februari 2016.
Hal serupa juga diungkapkan Direktur Eksekutif Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko. Menurutnya, perilaku suap di lingkungan penegak hukum ini bukan semata persoalan di MA, tapi sistem hukum secara keseluruhan.Â
"Kalau kita lihat survei Corruption Perceptions Index atau CPI, itu angkanya Indonesia naik cuma 2 poin. Itu hal terpenting yang menghambat CPI itu adalah penegakan hukum," tutur Dadang saat dihubungi VIVA.co.id, Senin,Â
Pada survei persepsi korupsi yang dilakukan lembaganya, peningkatan nilai Indonesia bisa dibilang tidak signifikan. Di 2013, poin Indonesia 32, meningkat menjadi 34 di 2014, dan terakhir 2015 meningkat kembali menjadi 36.Â
Kelemahan penegakan hukum di Indonesia, kata Dadang, terletak pada sistem birokrasi. Sistem ini seolah-olah sengaja dibuat rumit dan bertele-tele, sehingga menggoda masyarakat untuk mengambil jalan pintas, demi kepentingannya pribadi. "Itu juga menyangkut birokrasi penegak hukum itu bermasalah, sehingga sistemnya dibikin tidak jelas," ungkap dia.
Buruknya sistem penegakan hukum di Indonesia, dinilai menjadi biang keladi praktik korupsi tetap berjalan. Oknum di lembaga penegak hukum tidak akan kapok dan terus mengambil keuntungan dari lemahnya sistem. Catatannya, selama semua pihak yang terlibat di dalamnya mendapatkan keuntungan, maka korupsi pun akan terus bergulir.
"Variabel lain, penyuapnya sendiri masih terbuka lebar karena masih ada harapan, ini bisa disuap. Jadi ada ranah di lembaga penegak hukum," beber Dadang.
Sementara lembaga KPK yang mendapatkan amanat untuk memperbaiki sistem ini saat reformasi dulu, terlalu kecil untuk bisa membenahi penegakan hukum secara keseluruhan. Dadang menilai, pembenahan ini tak bisa hanya dibebankan pada KPK, tapi perlu inisiatif dari masing-masing lembaga penegak hukum, baik polisi, kejaksaan, dan pengadilan.
"Dari sisi penyuapnya sendiri akan terus muncul kalau tidak ada reformasi di penegak hukum lain, itu selalu ada keinginan. KPK kurang kuat, KPK terlalu kecil untuk mengawasi seluruhnya. Mengurusi peradilan saja terlalu kecil, belum polisi, jaksa dan lainnya lagi," jelas Dadang.
Kasus Korupsi di Lembaga Penegak Hukum
Dalam catatan KPK, selama kurun waktu 10 tahun terakhir ada 13 hakim yang terjerat kasus korupsi. Salah satu kasus yang cukup menarik perhatian adalah Akil Mochtar di 2013. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, terbukti menerima suap terkait penanganan sengketa Pilkada, sehingga divonis hukuman seumur hidup di penjara.
Di Kejaksaan Agung, ada nama Jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan KPK saat menerima uang USD 610.000 dari pengusaha Arthalita Suryani di rumah obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syamsul Nursalim. Urip divonis 20 tahun penjara. Sedangkan Arthalita mendapat vonis 5 tahun penjara. Saat ditangkap, Urip masih aktif sebagai jaksa untuk kasus BLBI.
Tak hanya Jaksa Urip, Kejaksaan Agung juga pernah menangani kasus korupsi Jaksa Cirus Sinaga. Oleh pengadilan, ia dihukum penjara lima tahun ditambah denda Rp150 juta karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi, dengan merintangi secara tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara korupsi Gayus Tambunan di pengadilan. Hal ini ia lakukan dengan menghilangkan pasal korupsi, dan mengarahkan perkara Gayus ke pidana umum penggelapan uang.
Di Kepolisian, KPK pun pernah mengungkap kasus korupsi di tubuh Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Kasus ini menjerat mantan Kepala Korlantas Polri, Irjen Pol. Djoko Susilo. Di pengadilan, Djoko dinyatakan terbukti merugikan keuangan negara senilai Rp 121 miliar, dari proyek pengadaan alat simulator mengemudi kendaraan bermotor untuk ujian SIM di Korlantas Polri tahun 2011. Djoko pun harus menjalani hukuman 18 tahun penjara.
Kasus korupsi juga menjerat mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri, Komjen Pol. Susno Duadji. Ia dijerat karena kasus korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008, dan menerima suap sebesar Rp 500 juta terkait penanganan kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari (SAL). Susno akhirnya dihukum 3,5 tahun penjara.
Selain hakim, jaksa dan polisi, korupsi juga dilakukan profesi pengacara. Pembela masyarakat di hadapan hukum formal ini, beberapa kali juga terlibat kasus suap.Â
Dua advokat yang terjerat kasus korupsi di KPK, yaitu Mario Cornelio Bernardo dan Susi Tur Handayani. Mario yang bekerja pada kantor hukum Hotma Sitompoel and Associates itu terjerat kasus suap terkait pengurusan kasasi kasus penipuan di Mahkamah Agung. Dia divonis 4 tahun penjara karena terbukti menyuap staf Hakim Agung Andi Abu Ayyub, Suprapto, melalui pegawai MA, Djodi Supratman. Sedangkan Susi, terkait kasus dugaan suap pengurusan pilkada Kabupaten Lebak, Banten, yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.Â
Terakhir, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 5,5 tahun penjara serta denda Rp300 juta subsidair empat bulan kurungan, kepada Advokat senior, Otto Cornelis Kaligis. Ia dinyatakan terbukti memberikan uang kepada hakim PTUN Medan, Sumatera Utara, Tripeni lrianto Putro sebesar SG$5.000 dan US$15.000, serta Dermawan Ginting dan Amir Fauzi selaku Hakim PTUN masing-masing sebesar US$5.000. Selain itu, Syamsir Yusfran selaku Panitera PTUN sebesar US$2.000.
Uang diberikan untuk mempengaruhi putusan atas permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, terhadap penyelidikan dugaan terjadinya korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH), serta penyertaan modal pada sejumlah BUMD Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Internal KPK sendiri juga tak luput dari kasus korupsi. Mantan pegawai KPK, Endro Laksono divonis 4,5 tahun penjara. Endro dinyatakan terbukti menggelapkan dana KPK sebesar Rp388 juta. Uang ini rencananya hendak ia gandakan ke dukun.
Serangkaian kasus tadi menunjukan betapa bobroknya sistem hukum di Indonesia, dimana dari jajaran paling kecil sampai jabatan tertinggi terkena kasus korupsi. Perbaikan sistem menjadi mutlak dilakukan, demi dihormatinya supremasi hukum oleh masyarakat. Jika tidak, maka wajar masyarakat selalu menaruh curiga dan enggan menyelesaikan sengketa menggunakan jalur hukum.
"Kejadian itu kan peluang untuk memberi kenikmatan karena bisa menghasilkan tambahan. Kalau selama ini tidak ada perbaikan artinya secara sengaja itu dipertahankan, kecuali kalau mereka mau membuktikan ini diperkuat betul, yang memberikan diberi sanksi. Itu orang lihat mereka mau berubah," tegas Dadang.
Kini, pilihan itu ada pada lembaga itu masing-masing. (ren)