Imlek, Tradisi yang Membawa Warna
- ANTARA FOTO/Didik Suhartono
VIVA.co.id – Sekian puluh tahun pada masa Orde Baru, perayaan tahun baru China sempat dilarang diselenggarakan di Indonesia. Baru pada 2000, di masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, perayaan tahun baru Imlek boleh diselenggarakan oleh etnis Tionghoa.
Semua bersuka cita, bergembira, dan berbahagia. Apalagi, sejak ditetapkannya Imlek menjadi libur nasional pada 2003. Seluruh klenteng pun dihiasi sedemikian rupa.
Begitu pun rupa-rupa Imlek di ruang publik. Semuanya kontras menghias mata. Lampion merah kini bergantungan dengan leluasa di setiap sudut kota.
FOTO: Lampion merah menjadi simbol menjelang perayaan Imlek
Tahun ini adalah tahun Monyet Api. Monyet merupakan hewan kesembilan dari 12 simbol yang ada dalam zodiak China. Berdasar siklus, maka tahun monyet kembali akan berulang pada 2028.
Untuk 2016, kalendar Tionghoa mencatat kalau tahun ini adalah tahun 2567 dan akan jatuh pada Senin 8 Februari 2016.
Umumnya, tahun baru Imlek dikenal juga sebagai festival musim semi. Ia dimulai pada hari pertama bulan pertama penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di hari ke-15.
Belajar dari Monyet
Sejak lampau, masyarakat China lekat dengan tradisi perhitungan. Nasib dan peruntungan masa depan, dipercaya bisa diketahui lewat ramalan dan perhitungan.
Karena itu, pergantian tahun menjadi momen penting bagi orang Tionghoa. Salah langkah sedikit dipercaya bisa membawa bala atau celaka.
FOTO: Warga Tionghoa berdoa di Klenteng Tjen Lin Kong atau Poncowinatan Yogyakarta, Minggu (7/2/2016)/Daru Waskita
Tahun monyet, menjadi perumpamaan dari kepribadian monyet yang cerdik, nakal, licik, dan selalu berusaha menuju puncak. Sementara itu, api, warga Tionghoa mengartikannya dengan simbol energi yang besar.
Sebab itu, orang Tionghoa mempercayai tahun Monyet Api menjadi momen penting bagi orang-orang yang cerdik, pintar, dan mau berusaha keras untuk berkarya.
Karena itu, maklum adanya banyak orang orangtua di China, senang anak mereka lahir pada tahun monyet. Harapannya sederhana, agar anak mereka cerdik, inovatif, dan bisa berkarier sukses maupun sejahtera.
Sejarah Kelam
Di Indonesia, tradisi Imlek sebenarnya memiliki sejarah kelam. Sejak 1967 hingga 1999, negara melarang perayaan apa pun yang berkaitan dengan etnis Tionghoa.
Rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto kala itu bermaksud untuk mengeliminasi secara bertahap identitas dan kebudayaan orang Tionghoa. Sebab itu lah, muncul instruksi presiden tentang pembatasan agama, kepercayaan, dan adat istiadat China.
Alhasil, Imlek, Cap Go Meh, Peh Cun, Barongsai, Liong, dan sebagainya yang menjadi tradisi Tionghoa di Indonesia dilarang dipertunjukkan.
Ironisnya, pada tahun yang sama, 1967, muncul juga surat dari negara lewat Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 tahun 1967 dan keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 268/KP/XII/1978 yang intinya menganjurkan agar warga negara Indonesia yang masih bernama Tionghoa untuk menggantinya dengan nama Indonesia.
FOTO: Gadis China merayakan tahun baru China
Orang-orang Tionghoa akhirnya diharuskan mau melupakan dan tidak lagi menggunakan nama Tionghoa, menikah dengan orang Indonesia dan menanggalkan serta menghilangkan agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk bahasa bila tetap ingin di Indonesia.
Beruntung, kebijakan beraroma rasis ini pun berakhir pada 2000. Lewat tangan Presdien Abdurrahman Wahid, apa yang dicetuskan Soeharto pada 1967 akhirnya dicabut.
Orang Tionghoa di Indonesia pun diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya. Termasuk merayakan upacara agama seperti Imlek, Cap Go Meh, dan lain sebagainya.
Ruang kebebasan ini pun berlanjut di tangan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tepat pada 2003, Megawati pun menerbitkan keputusan bahwa Imlek menjadi hari libur nasional. Dan selanjutnya, ditindaklanjuti oleh Presiden Susuilo Bambang Yudhoyono pada 2014, yang mencabut secara resmi Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 268/KP/XII/1978.
SBY pun menjadi tonggak pertama kali yang menetapkan tidak ada lagi istilah China di Indonesia dan mengembalikannya ke istilah etnis Tionghoa. Sejak itu, kolaboratif dan penerimaan terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia semakin meluas.
FOTO: Semarak perayaan Imlek di Indonesia
Kolaborasi yang Berwarna
Kini, di balik sejarah kelamnya, Imlek sudah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. Semarak lampion merah yang menghiasi sudut jalan dan klenteng sudah menjadi hal mahfum bagi orang Indonesia.
Pernak-pernik merah nan cantik pun kini merasuk hampir ke seluruh ruang publik. Pusat-pusat perbelanjaan pun saling berkejaran menyediakan momen khusus untuk Imlek.
Begitu pun pusat hiburan wisata, tak luput menyemarakkan Imlek dengan sedemikian rupa. Dan tentu saja, tradisi Angpao pun ikut menjadi hal paling semarak bagi anak-anak etnis Tionghoa dan warga yang sekadar menyaksikan perayaan Imlek.
Di Solo atau Surakarta, sebanyak 4.000 lampion aneka warna membuat semarak area Pecinan Pasar Gede. Sejak akhir Januari, lampion yang disebut sengaja didatangkan dari Tiongkok tersebut bergelantungan di jalan kota.
"Beberapa tahun lalu, lampion dibeli dari Jakarta. Tapi, mulai tahun kemarin, kami beli sebanyak 10.000 lampion," ujar Ketua Panitia Imlek Bersama Kota Solo tahun 2016, Sumartono Hadinoto.
Tahun ini, boleh dibilang Imlek bukan hanya untuk etnis Tionghoa. Namun, sepertinya sudah menjadi milik bersama. Hal ini berkaitan dengan bertepatannya hari raya Imlek yang jatuh pada Senin.
Dengan begitu, masa libur panjang pun menjadi momen tersendiri bagi mereka yang merayakan Imlek atau yang hendak berlibur. Tak ayal, beberapa objek wisata pun diburu para pelancong.
FOTO: Kemacetan lalu lintas di pintu tol Pasteur Bandung Jawa Barat
Salah satunya adalah Kota Bandung, Jawa Barat. Kemacetan ruas jalan pun tak terhindarkan. "Kemacetan diperkirakan mencapai 4 kilometer di pintu tol Pasteur Bandung," laporan tvOne, Minggu 7 Februari 2016.
Semarak Imlek, memang sudah menjadi hal yang paling mengesankan. Bak hari raya umat Muslim, Idul Fitri, Imlek pun mendapat tempat khusus bagi para penyedia jasa.
Salah satunya yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia Jabodetabek. Demi Imlek, perusahaan ini bahkan meluncurkan beberapa varian baru kartu multitrip edisi Imlek 2016.
Direktur Utama KRL M Nurul Fadilla, mengatakan bahwa KCJ mengeluarkan kartu multitrip, gelang multitrip, dan gantungan kunci multitrip edisi Imlek.
"Kalau pakai kartu single trip, penumpang harus balik lagi ke loket untuk menukar tiket harian berjaminan. Kami harus membiasakan penumpang untuk lebih efisien," kata Fadilla.
FOTO: Pramuniaga menunjukkan kartu multitrip edisi Imlek 2016/ANTARAFOTO
Lain cerita dengan petani tebu di Tarakan Utara, Kalimantan utara. Bagi mereka, meski tak merayakan, namun Imlek telah memberi angin segar bagi pundi-pundi uang.
Maklum, warga Tionghoa banyak yang berburu tebu. Konon, tebu yang dipasang di depan rumah saat Imlek, akan mampu mengusir roh jahat atau ancaman jahat.
Tak pelak, petani pun kecipratan rezeki Imlek. Menjelang Imlek, keuntungan mereka bisa melonjak hingga 400 persen atau setara Rp3-5 juta.
"Sebatang tebu kami jual Rp25 ribu, tapi tetap diburu pembeli. Umumnya, mereka mencari batang tebu segar yang berwarna cerah dan memiliki ruas batang yang panjang," kata petani tebu Burhanuddin.
Di sisi lain, kepolisian sepertinya sudah bersiaga penuh untuk mengamankan perayaan Imlek tahun ini. Ribuan polisi di berbagai daerah disiapkan khusus demi menjaga kelancaran perayaan Imlek.
Prioritas pengamanan pun tak luput dilakukan oleh tim Detasemen Khusus 88 Antiteror. Para pemburu teroris ini memastikan telah menetralisasi sejumlah ancaman terhadap Imlek 2016.
"Kelompok potensial sudah ternetralisir," kata Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Tito Karnavian.
Apa pun itu, Imlek sudah menyesap dalam budaya Indonesia. Pluralisme dan keragaman budaya dan tradisi ini melebur seiring waktu. Imlek, di balik sejarah kelamnya kini telah memberi warna dan rupa bagi Indonesia.
Selamat Tahun Baru China..