Perlukah Hijab Bersertifikasi Halal?

Sumber :
  • instagram.com/zoyalovers/

VIVA.co.id - Jika sebelumnya yang menjadi pembicaraan hangat di awal tahun soal tren fesyen 2016, mulai tas, alas kaki, pakaian hingga hijab, dalam beberapa hari terakhir, pembicaraan bergeser ke hijab bersertifikasi halal.

Kehebohan ini dipicu sebuah papan reklame berukuran besar nan mentereng dari salah satu label perusahaan busana muslim terbesar di Tanah Air. Dalam papan iklan dengan warna dasar hitam tersebut tertulis, "Yakin hijab yang kita gunakan halal?"

Tulisan berwarna putih terletak tepat berada di bagian tengah papan, di sebelah kanan logo halal warna hijau dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan di sisi kirinya logo perusahaan.

Apakah hanya sebatas itu? Ternyata kehebohan tak berhenti di situ. Karena, di dunia maya, hal yang sama juga terjadi, bahkan penyebarannya lebih cepat. Ini karena akun perusahaan tersebut, @zoyalovers di Instagram, mengunggah foto sekaligus pengumuman bahwa hijab yang diproduksinya telah mendapat sertifikasi halal dari MUI.

"Alhamdulillah Zoya mendapatkan sertifikat dari MUI, sebagai kerudung halal di Indonesia. Zoya, cantik nyaman halal."

Dengan demikian, hijab Zoya, yang merupakan salah satu merek keluaran PT Shafira Corporation menjadi hijab pertama yang mengantongi sertifikasi halal di Indonesia. Bisa jadi juga pertama di dunia, mengingat Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim nomor wahid sejagat.    

Beragam komentar dari netizen menanggapinya, baik mendukung maupun mempertanyakan kehalalan produk tersebut.

"Berarti selain Zoya, haram dong?' tulis salah satu netizen.

Sigit Endroyono, Creative Director Shafira Corporation menjelaskan, yang membedakan hijab halal dan haram adalah pada kain yang digunakan, di mana perbedaan antara kain halal dan haram adalah penggunaan bahan tekstil (emulsifier) saat pencucian. Untuk produk halal menggunakan bahan emulsifier alami, sedangkan yang non-halal menggunakan bahan emulsifier dari non-halal, seperti gelatin babi.

Selain itu, bahan pelembuat yang digunakan, karena kebanyakan produk pelembut diproduksi di luar negeri menggunakan produk non-halal. Bila bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan mengandung zat haram, maka kain yang diproduksi menjadi hijab atau pakaian juga akan haram.

"Menempelnya zat haram pada pakaian memiliki dampak besar pada ibadah, khususnya untuk ibadah salat yang salah satu syarat sahnya adalah suci badan, pakaian, dan tempat. Jadi, dengan adanya sertifikat halal, kami ingin menjaga konsumen dari bahan yang tidak halal, sehingga mereka nyaman melakukan kegaiatan sehari-hari," katanya saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat, 5 Februari 2016.

Dia menambahkan, sertifikasi halal pada hijab memang dimaksudkan untuk lebih melindungi konsumen. Sebab, kampanye halal yang diusung Zoya merupakan permintaan para pelanggan muslimah, yang belakangan ini khawatir maraknya produk kain dengan proses pembuatan tak halal.

Sementara itu, proses untuk mendapatkan sertifikasi halal dari MUI sudah dilakukan sejak tahun lalu. Awalnya, Zoya harus mendaftarkan bahan tekstil yang digunakan untuk produksi. Setelah dilakukan pemeriksaan dan bahannya terbukti tidak mengandung hal-hal yang diharamkan dalam syariat Islam, sertifikasi halal diberikan dengan nomor 01171156041015. 

Alasan MUI Mengapa Jilbab Penting Disertifikasi Halal


Sertifikasi halal diatur UU
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI, Lukmanul Hakim menegaskan, sertifikasi yang diberikan adalah untuk bahan pembuatan hijab dan bahan tambahan yang digunakan.

"Halal di bahan. Hijab itu bahan kain paling dominan. Kalau bahan awal hampir semua tak masalah, tapi ketika bicara proses dengan menggunakan bahan kimia, enzim yang bisa menyebabkan si kain ini terkenai najis," ujarnya dalam wawancara di tvOne.

Dalam Undang-Undang (UU) Jaminan Produk Halal disebutkan bahwa sertifikasi tidak hanya untuk produk pangan atau obat-obatan, tapi juga barang gunaan. Karena itu, menurut dia, sertifikasi tidak hanya untuk makanan dan minuman, tapi produk lainnya, seperti pakaian karena secara syariah, berpakaian tidak sekadar menutup aurat, bahan yang digunakan harus halal.

Meski sertifikasi halal diatur dalam UU, dia mengatakan, ketentuan tersebut tidak wajib hukumnya karena belum diatur dalam peraturan pemerintah (PP). "Sekarang kita masih pembahasan PP, belum aturan pasti. Tapi soal konteks halal, itu termasuk yang kita perhatikan," tuturnya.

Pro-kontra hijab halal

Menanggapi hal ini, Ustaz Bachtiar mengatakan, seorang muslim harus waspada dengan segala sesuatu di dunia supaya apa yang digunakan membawa dampak positif, termasuk mengenai apa yang dimakan dan dipakai. Karena itu, dia mendukung sertifikasi halal dari MUI untuk kain yang digunakan sebagai bahan hijab.

"Itu pentingnya halal di MUI, tapi kalau enggak dapat sertifikasi halal bukan berarti haram," ujarnya.

Sementara itu, desainer busana muslim, Restu Anggraini mengatakan bahwa sertifikasi halal itu merupakan salah satu strategi pemasaran untuk mendongkrak label halal produk hijab tersebut.  

"Aku pikir ini excessive use of halal branding," ujarnya kepada VIVA.co.id.

Namun, menurut dia, para muslimah berhijab tidak perlu memilih atau harus menggunakan produk hijab bersertifikasi halal karena takut hijab lainnya tidak halal. Dia menyarankan, cara aman menggunakan hijab adalah dengan mencucinya sebelum memakai.

"Sebenarnya, itu tergantung orangnya. Masa kalau kita hanya perhatikan pakai hijab halal saja, terus kalau baju kita enggak halal, berarti kita tidak berpakaian?" kata Restu. Terpenting, baginya, berhijab itu lebih kepada niat ibadah kepada Tuhan, bukan lainnya.

Sementara itu, Erni Arie, salah satu ibu rumah tangga (IRT) yang sudah menggenakan hijab selama 15 tahun berpendapat, perlu ada informasi atau edukasi mengenai produk hijab yang halal dan haram kepada masyarakat agar tidak menimbulkan kekhawatiran. 
 
"Saya mendukung karena menjadi informasi tambahan, tapi perlu ada edukasi yang lebih ke masyarakat mengenai hijab halal itu seperti apa," tuturnya.

Meski demikian, dia mengaku, tidak khawatir menggunakan produk yang selama ini dikenakan dan, yang pasti belum memiliki sertifikasi halal dari MUI. Hanya saja, sama seperti kata Restu, Erni akan mencuci hijab yang baru dibelinya sebelum dipakai.  

Bhakti Hariani, karyawati yang baru mengenakan hijab sekitar empat tahun lalu menuturkan bahwa sertifikasi halal untuk produk hijab tersebut terlalu berlebihan dan tidak perlu, karena justru menimbulkan polemik di masyarakat.

"Menurut saya, sebenarnya ini tidak rasional dan lebih ke persaingan bisnis saja. Bagaimana kalau hijabnya halal tapi uang untuk membelinya tidak halal?" katanya.

Terlepas dari pro dan kontra mengenai perlu atau tidaknya sertifikasi halal pada hijab, meminjam kata-kata Restu, memang semuanya kembali kepada individu masing-masing untuk menilainya.