Gafatar, Dari Cap Sesat Jadi Beraroma Makar
- Antara/Jessica Helena Wuysang
VIVA.co.id – Api menjalar dengan cepat di sebuah permukiman warga di Desa Moton Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat, Selasa 19 Januari 2016. Ratusan orang pun berhamburan menyelamatkan diri. Tak ada yang bisa diselamatkan, semua hangus dilahap api yang tak terbendung.
Petang itu, menjadi kabar buruk bagi ribuan pengikut eks organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan. Warga rupanya sudah tidak bisa berdiam diri lagi. Kabar sesat soal Gafatar menjadi dasar kemarahan.
Sebab itu mereka pun bersepakat mengusir paksa siapa pun orang yang dianggap terlibat dengan Gafatar. Mempawah pun menjadi saksi aksi main hakim sendiri tersebut.
Jaminan Hidup
Secara kelembagaan, pengurus Gafatar mengklaim telah membubarkan diri sejak Agustus 2015 silam. Intimidasi sejumlah pihak dan cap sesat kelembagaan ini membuat seluruh pengikutnya mendeklarasikan untuk membubarkan diri.
Namun, meski dibubarkan secara kelembagaan Gafatar sesungguhnya masih tetap berjalan. Ini pun diakui oleh mantan Ketua Umum Gafatar Mahful Tumanurung.
Dari hasil kongres terakhir Gafatar pada 13 Agustus 2015, pergerakan lembaga ini akhirnya difokuskan untuk membangun bangsa lewat kedaulatan pangan.
Sebab itu, akhirnya dipilihlah Pulau Kalimantan sebagai daerah pergerakan. Kondisi lokasi yang strategis dan kontur tanah yang subur dianggap tepat untuk mewujudkan komitmen Gafatar.
"Dari ekonomi harga tanah sangat terjangkau sehingga kami sepakat melanjutkan program kedaulatan pangan yang sudah dirintis warga eks Gafatar di Kalimantan," kata Mahful, Selasa 26 Januari 2016.
Sejak lama, Gafatar memang menjargonkan hal-hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan. Isu kesejahteraan, jaminan penghidupan baru serta menunjukkan kepedulian sosial yang tinggi pun menjadi sumber doktrin.
FOTO: Dua anggota TNI AD mendampingi warga eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) turun dari KRI Teluk Banten 516 menuju bus jemputan di Dermaga Mako Kolinlamil, Jakarta, Rabu (27/1/2016)/ANTARA
Berangkat dari kesederhanaan itulah, secara perlahan warga yang terbujuk akan bergabung dengan Gafatar. Motifnya sangat sederhana, ada penghidupan baru yang lebih baik dan lebih realistis.
"Dia (perekrut Gafatar) ajak kami membuka kehidupan baru di Kalimantan," kata Sutinah (50), perempuan asal Depok yang dulu berprofesi joki three in one di kawasan Taman lawang Jakarta Pusat.
"Kami diiming-imingi tempat tinggal dan lahan untuk berkebun," tambah JK, pengikut Gafatar asal Gorontalo.
Pengakuan sejumlah anggota Gafatar, seluruh lahan yang dibeli mereka merupakan hasil dari uang pribadi mereka. Beberapa bahkan sampai merogoh habis tabungan dan menjual lahan dan rumah mereka di kampung asalnya sebelum berangkat ke Kalimantan.
Dan tentu saja, motifnya sementara ini sangat sederhana yakni untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik. Maklum, di Kalimantan lahan seluas 1 hektare cukup dibayar Rp10 juta. Sebab itu, lahan murah itu menggiurkan untuk dicicipi.
Nasib Aset
Kini, semua hangus tanpa sisa. Lahan kebun yang terlanjur dibeli serta tiang-tiang rumah yang telah dirintis kelompok eks Gafatar hanya tersisa puing dan terpaksa ditinggalkan.
Keputusan pemerintah memindahkan paksa mereka dengan dasar keamanan dari perlindungan warga yang mengamuk membuat seluruh aset yang telah dibangun ribuan warga eks Gafatar harus ditinggalkan.
"Kami kan di sana (Mempawah) lagi usaha. Kok disuruh pulang. Modalnya sudah habis, kini kami sekeluarga tidak punya apa-apa lagi," kata salah seorang anggota eks Gafatar Tati asal Jawa Barat.
Apa yang dialami Tati, merupakan apa yang dialami juga oleh seluruh anggota Gafatar yang sudah terlanjur menyeberang ke Kalimantan. Mimpi hidup baru membuat mereka nekat menjual apa yang dimilikinya dan menggantinya dengan apa yang mereka dapat di Kalimantan.
FOTO: Seorang eks-anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) beristirahat di Panti Sosial Bina Insan Cipayung, Jakarta, Minggu (24/1/2016)/ANTARA
Mantan Ketua Umum eks Gafatar, Mahful M Tumanurung, pun mendesak pemerintah bertanggungjawab atas pengusiran warga terhadap mantan pengikutnya tersebut. Maklum, aset mereka yang di Mempawah saja diperkirakan sudah mencapai hampir Rp1,5 miliar.
"Kami minta pemerintah menjamin aset kami (tanah dan rumah) di Kalimantan," kata Mahful.
Sejauh ini pemerintah Indonesia mengaku menjanjikan seluruh aset milik mantan anggota eks Gafatar di Kalimantan akan dijamin keamanannya. "Kita enggak mau kalau aset mereka juga dijarah," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Belum jelas bagaimana teknis aset milik warga eks Gafatar tersebut dijamin keamanannya. Namun sejauh ini yang paling konkrit adalah rencana transmigrasi bagi warga eks Gafatar yang enggan pulang ke kampung asalnya.
"Hasil koordinasi kami dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, jika mereka (pengungsi Gafatar) akan mengambil pilihan untuk melakukan transmigrasi maka akan dilakukan identifikasi," kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.
Aroma Makar
Di bagian lain, di tengah hiruk pikuk proses evakuasi dan rencana penempatan kembali warga eks Gafatar di daerah lain oleh pemerintah dalam baju transmigrasi.
Di Gorontalo, seorang mantan pengikut Gafatar justru menyampaikan kesaksian yang menghenyak publik. Pria yang dirahasiakan dan bernama JK itu mengaku bila keberadaan kelompok eks Gafatar di Kalimantan untuk mempersenjatai diri.
Caranya adalah dengan meminta seluruh pengikut Gafatar bercocok tanam. Nantinya seluruh hasil kebun akan dikumpulkan untuk membeli senjata. Sembari itu, seluruh warga yang ada di perkampungan khusus Gafatar akan dibekali latihan militer.
"Nanti semua orang akan dilatih militer untuk melawan orang-orang yang bertentangan dengan ajaran Gafatar. Begitu mereka menanamkan," kata JK menjelaskan kesaksiannya soal kelompok Gafatar yang sempat diikutinya sejak Januari hingga Desember 2015.
FOTO: Proses evakuasi warga eks Gafatar di Desa Moton Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat, Selasa (19/1/2016)/ANTARA
JK, merupakan pelarian kelompok eks Gafatar di Kalimantan Timur. Ia mengaku bersama istri dan anaknya bergabung bersama Gafatar di Desa Kampung Mendung Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur.
Selama sebelas bulan, pria penjual minuman keliling ini ikut tinggal dan berbaur bersama warga eks Gafatar. Namun, kejanggalan-kejanggalan muncul. Apa yang disampaikan Gafatar ternyata tak sama dengan harapannya.
Beberapa ajaran yang ditanamkan kepada pengikut Gafatar, menurut JK bertentangan dengan agama Islam yang dianutnya. Sebab itu, ketika muncul seruan untuk menabung uang agar bisa membeli senjata dan berlatih militer, JK pun memutuskan lari bersama istri dan anaknya.
"Dua hari saya berjalan di dalam hutan untuk mencari pertolongan polisi. Dan kini mereka (anggota Gafatar) masih kerap mengintimidasai saya," kata JK.
Sejauh ini belum ada pernyataan sikap kepolisian terkait kesaksian JK soal aktivitas Gafatar dan rencananya tersebut. Pemerintah pun belum memberikan sinyal antisipasi dari kesaksian ini.
Karena itu, banyak pihak berharap penanganan eks Gafatar tidak cukup dengan merespons gerakan Gafatar dengan memfasilitasi ulang kelompoknya lewat transmigrasi atau pun penampungan sementara.
"Mereka harus kita cuci otak ulang," kata pengajar Fakultas Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang Jawa Tengah Muhammad Adnan. (ren)