Maskapai RI Kantongi Rating Buruk, Waktunya Introspeksi?
- REUTERS/Beawiharta
VIVA.co.id - Sebuah situs maskapai penerbangan internasional, Airlineratings.com mengeluarkan hasil survei kualitas pelayanan dan keamanan penerbangan terhadap 407 maskapai besar dunia.
Mereka memberikan nilai sampai tujuh bintang untuk maskapai paling aman dan nol bintang untuk maskapai yang dianggap paling tidak aman.
Airline Ratings menyatakan, ada 10 maskapai penerbangan menerima peringkat (rating) terendah hanya mendapat satu, atau nol bintang. Ironisnya sembilan dari sepuluh maskapai yang dinilai tidak aman, atau memiliki tingkat keselamatan terburuk berasal dari Indonesia.
Sembilan maskapai itu adalah, Batik Air, Citilink, Kal-Star Aviation, Lion Air, Sriwijaya Air, TransNusa, Trigana Air Service, Wings Air, dan Xpress Air. Sedangkan satu maskapai berasal dari Suriname, yakni Blue Wing Airlines.
Airline Ratings, dalam rilisnya belum lama ini menyatakan, bila sebuah maskapai mengalami kecelakaan yang melibatkan kematian seorang penumpang, atau kru pesawat, otomatis maskapai tersebut kehilangan satu bintang pada rangking rating keamanannya.
Ada juga beberapa maskapai yang belum dinilai. Airline Ratings mengungkapkan, beberapa maskapai ini masuk kategori Safety Rating Pending. Di antaranya, AirAsia Indonesia, Merpati Airlines, Rex Australia, dan Trigana Air.
Penilaian tersebut, meski bukan dari lembaga internasional, sempat dipublikasikan oleh berbagai situs berita internasional, di antaranya adalah Reuters dan CNN. Hal tersebut, tentu memperburuk citra maskapai nasional di mata dunia internasional.
Kementerian Perhubungan dan sejumlah maskapai nasional, yang masuk dalam daftar maskapai terburuk Airline Ratings, mempertanyakan kredibilitas survei yang dilakukan oleh situs asal Australia itu.
Kepala Pusat Komunikasi Publik, Kementerian Perhubungan, JA Barata menilai, survei yang dilakukan Airline Ratings tidak jelas dan tak mendasar.
"Survei itu kami anggap tidak jelas, siapa yang melakukan survei, dan tahun berapa survei itu. Karena, rating itu tidak sesuai dengan kondisi yang ada sekarang," ujar Barata kepada VIVA.co.id, di Jakarta, Selasa 12 Januari 2016.
Barata, terutama, mempertanyakan nilai Malaysia Airlines yang peringkatnya berada di atas maskapai Garuda Indonesia dalam peringkat Airline Ratings. Garuda Indonesia hanya mendapat nilai bintang tiga, sedangkan Malaysia Airline dapat nilai bintang lima.
Padahal, Malaysia Airlines pernah mengalami dua kecelakaan pesawat hingga menewaskan semua penumpangnya, dan sempat menyita perhatian dunia internasional.
"Kenapa kok, Malaysia Airlines (nilainya lebih tinggi) di atas Garuda. Kan kita tahu, bukan hanya sekali dua kali Malaysia Airlines pesawatnya jatuh di tahun lalu," katanya.
Selain itu, Barata menyoroti masuknya maskapai penerbangan Indonesia yang sudah lama tidak beroperasi, yakni Merpati Air dalam daftar penilaian Airline Ratings. Karena itulah, Barata mengaku,pihaknya meragukan survei tersebut.
"Ini kok Merpati masih dibawa-dibawa. Nanti, kalau semua seperti ini, setiap orang bisa melalukan survei dan rating juga dong," ujarnya.
Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya Air, Agus Soedjono, menilai survei yang dilakukan Airline Ratings tidak berdasarkan fakta. Dia mempertanyakan kredibilitas dan sumber-sumber survei.
"Kredibilitasnya dipertanyakan, mereka tidak ada konfirmasi, kapan surveinya, tidak jelas," katanya ketika dihubungi VIVA.co.id, Selasa 12 Januari 2016.
Menurutnya, penilaian Airline Ratings tidak sesuai dengan prestasi yang diperoleh Sriwijaya sebagai salah satu maskapai terbaik Indonesia. Pada 2015, Sriwijaya mendapat peringkat kedua transportasi paling aman berdasarkan Transportation Safety Award (TSA) dari Kementerian Perhubungan.
Sriwijaya juga mendapatkan sertifikat dari Basic Aviation Risk Standar (BARS) yang dikeluarkan oleh lembaga independen internasional, Flight Safety Foundation, atas kinerjanya dalam mengelola aspek standar keselamatan penerbangan.
"Kita mendapat sertifikat Flight Safety Foundation dilihat dari standar keamanan penerbangan yang diakui internasional," ujarnya.
Bersifat tendensius
Sementara itu, Wakil Presiden Komunikasi Korporat Citilink Indonesia, Beni Butar Butar, menyatakan pemeringkatan maskapai yang dilakukan oleh Airline Ratings cenderung tendensius dan tidak menyebutkan secara jelas dasar penilaian dan fakta yang ada di lapangan.
Ia juga mempertanyakan penempatan sebagian besar maskapai Indonesia ke dalam kategori standar keamanan bintang satu.
"Pada prinsipnya adalah hal yang baik, jika maskapai juga mendapat penilaian dari pihak luar. Kami tidak keberatan dinilai selama dilakukan secara objektif, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, Citilink juga sedang menunggu hasil audit Skytrax yang memberikan penilaian dengan kriteria yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan atas standar mutu produk dan layanan airlines," kata Beni.
Menurut dia, Citilink Indonesia berkomitmen mempertahankan pelayanan keamanan yang baik, antara lain melakukan pelatihan kru, upaya perbaikan-perbaikan, serta kerja sama dengan maskapai dan organisasi internasional. Bahkan, pemeliharaan pesawat-pesawat Citilink juga dilakukan di GMF AeroAsia yang memiliki reputasi internasional.
Beni menambahkan, keselamatan penumpang pesawat adalah prioritas bagi Citilink yang juga baru saja menerima Sertifikat Manajemen Mutu ISO 9001 untuk Delay Management yang berpengaruh terhadap keselamatan penerbangan dan kepuasan pelanggan.
"Keamanan merupakan hal yang tidak bisa diganggu-gugat dan hal ini tidak berpengaruh dari penilaian Airline Ratings. Ada pun dinilai atau tidak, Citilink selalu mempertahankan keamanan seperti yang dituntut dalam dunia penerbangan. Penumpang juga yang merasakan dan menilai," tutur Beni.
Introspeksi
Meski Airline Ratings bukan lembaga resmi regulator penerbangan internasional, harus diakui pelayanan maskapai Indonesia masih buruk. Apalagi, dengan seringnya terjadi keterlambatan penerbangan, kecelakaan pesawat, dan terkuaknya kasus pesta narkoba oleh pilot dan awak kabin Lion Air.
Di Indonesia, tercatat banyak terjadi kecelakaan pesawat dalam beberapa tahun terakhir. Baru-baru ini sebuah pesawat Batik Air tergelincir di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, dan sebuah pesawat Citilink tergelincir di Bandara Internasional Minangkabau, Sumatera Barat. Meski tidak ada korban jiwa, hal tersebut sudah membuat para penumpang syok.
Maskapai Indonesia, bahkan dilarang terbang di wilayah udara Uni Eropa karena masalah keamanan.
Kepala Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan, JA Barata, mengakui, meski maskapai-maskapai yang ada di Indonesia bukan yang terbaik, tetapi bukan berarti bisa diartikan sebagai maskapai dengan penilaian terburuk.
"Memang ini terkait keadilan, kalau pun (maskapai) kita bukan maskapai yang terbaik, tetapi itu bukan yang terburuk," ujar Barata.
Barata menjelaskan, meski mempertanyakan survei itu, pihaknya sebagai regulator transportasi di Indonesia akan terus melakukan pembenahan. Terlebih, saat ini masih saja ditemukan masalah penerbangan Indonesia, seperti kecelakaan pesawat atau masalah lainnya.
"Kita terus lakukan untuk memperbaiki keamanan. Acuan kita untuk keamanan mengikuti ICAO (International Civil Aviation Organization) dan FAA (Federal Aviation Administration)," katanya.
Barata menambahkan, selain melakukan koordinasi dengan ICAO dan FAA untuk meningkatkan standar keamanan penerbangan, pihaknya juga terus memantau perkembangan maskapai Indonesia.
Masih lemahnya keamanan dan keselamatan penerbangan nasional juga mendapat perhatian dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKI).
Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, Indonesia masih harus berjuang meningkatkan kualitas keamanan penerbangannya.
Berdasarkan FAA, diutarakannya, Indonesia masuk dalam kategori dua untuk peringkat keselamatan penerbangan. Sementara itu, rating paling aman masuk kategori pertama, dan kategori ketiga untuk rating paling buruk.
"Jadi, ada tiga kategori, kita masih yang kedua. Artinya, kita harus berjuang untuk masuk rating keselamatan pertama," ucapnya.
Ditegaskannya, untuk keamanan penerbangan tidak ada kompromi. Industri maskapai nasional harus meningkatkan standar pengawasan, keselamatan, kesiapan pesawat, dan pelayanan petugas penerbangan.
"Airlines suka melanggar aturan penerbangan. Kementerian Perhubungan harus betul-betul memeriksa karena mereka itu regulator," katanya.
Pengamat Penerbangan, Alvin Lie menambahkan, pemeringkatan Airline Ratings terhadap maskapai penerbangan Indonesia harus menjadi introspeksi bagi industri maskapai penerbangan nasional.
"Airline Ratings itu kan lembaga swasta, bukan milik pemerintah, juga bukan suara resmi dari lembaga penerbangan misalnya ICAO atau FAA. Satu sisi, saya tidak terlalu risau dari hasil itu. Tapi bisa jadikan itu sebagai introspeksi, bahwa nyatanya penerbangan nasional masih mempunyai kelemahan-kelemahan," katanya kepada VIVA.co.id, di Jakarta, Selasa 12 Januari 2016.
Diutarakannya, meskipun rilis tersebut bisa semakin memperburuk citra penerbangan Indonesia, diharapkan ini bisa menjadi pelajaran baik bagi pemerintah, maupun maskapai-maskapai tanah air untuk lebih bisa bersinergis dalam menciptakan keamanan penerbangan.
"Survei ini juga bisa jadi opini publik, bentuk penilaian produk jasa, lalu pemantauan bagi pemerintahan itu sendiri. Nyatanya, FAA menyatakan Indonesia masih banyak kelemahan," ujarnya. (asp)