Iran Versus Arab Saudi, Titik Panas Baru di Timur Tengah
- REUTERS/Raheb Homavandi
VIVA.co.id - Awal tahun 2016 baru saja dibuka, Arab Saudi telah mengguncang dunia dengan tindakan mengejutkan. Mereka mengeksekusi Nimr al-Nimr, seorang ulama kharismatik Iran.
Publik Iran langsung marah dan memicu ketegangan diplomatik. Perkembangan ini menjadi titik panas baru di Timur Tengah.
Mari berharap ketegangan Iran dan Arab Saudi ini tidak menjalar luas dan tidak bertambah buruk. Ini melibatkan dua raksasa minyak yang sangat berpengaruh di Timur Tengah serta memiliki persaingan ideologis sejak lama, yang punya dampak bagi stabilitas dunia.
Sabtu, 2 Januari 2016, Arab Saudi mengumumkan telah mengeksekusi 47 orang yang menurut mereka, terlibat dalam aksi ekstremisme dan penyebaran ideologi Jihad. Salah satu diantara mereka yang dieksekusi adalah al Nimr, ulama asal Iran.
Tak sampai sehari, keputusan Saudi menimbulkan guncangan. Warga Iran yang marah melakukan unjuk rasa di kedutaan Saudi di Teheran dan Mashhad. Tak cukup dengan unjuk rasa, mereka mulai melempari kantor tersebut dengan berbagai benda, lalu membakar kantor kedutaan Arab Saudi di Teheran. Untungnya, kantor tersebut dalam keadaan kosong saat kebakaran hebat terjadi.
Akibat pembakaran itu, Arab Saudi menarik pulang seluruh diplomatnya. Melalui pernyataan di stasiun TV Al Arabiya, Minggu, 3 Januari 2016, Menteri Luar Negeri Saudi Adel Jubeir, meminta seluruh staf diplomat Iran dan semua yang berhubungan dengan negara Iran untuk meninggalkan Saudi Arabia dalam hitungan 48 jam. Seperti dikutip Reuters, sebuah sumber yang dekat dengan Kerajaan Saudi mengatakan, Saudi sudah merasa 'cukup' dengan Iran.
Sikap Saudi ditanggapi Iran. Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan Saudi sengaja menjadikan momen tersebut untuk menaikan tensi. "Iran terikat dengan perjanjian internasional untuk menjaga staf diplomatik dalam negaranya. Jadi kami pasti akan menjaga staf diplomatik Saudi," kata Kementerian Luar Negeri Iran seperti dikutip dari Reuters, 4 Januari 2016.
Perang Pengaruh
Ketegangan Saudi dan Iran sulit dianggap sebagai ketegangan 'biasa.' Iran dan Arab Saudi sudah lama terlibat perang pengaruh. Kedua negara ini sama-sama produsen minyak terbesar di jazirah teluk dan juga sama-sama menguasai jalur strategis perdagangan minyak. Iran dan Saudi juga secara terbuka menyatakan posisi mereka sebagai negara dengan ideologi yang berbeda. Saudi dengan pemeluk Suni terbesar, dan Iran sebagai negara dengan pemeluk Syiah terbesar.
Perang pengaruh antara kedua negara terlihat nyata di konflik Suriah dan Yaman. Perang di Suriah juga secara transparan memperlihatkan dukungan dua negara besar. Amerika yang mendukung Saudi, dan Rusia mendukung Iran, yang direpresentasikan pada dukungan untuk Bashar al Assaad. Bahkan keputusan Saudi memutus hubungan diplomatik dengan Iran, juga diikuti oleh Bahrain. Sebagai bentuk dukungan pada Saudi, Bahrain mengumumkan pemutusan tersebut.
"Pecahnya hubungan diplomatik antara Saudi dan Iran bisa meluas dan tak terkontrol," komentar Fawaz Gerges, ketua Studi Timur Tengah Kontemporer di London School of Economic, Inggris. Menurut Gerges, saat ini kasus Yaman dan Suriah sudah tak lagi 'besar.'
"Lupakan Yaman dan Suriah. Saat ini, kita sedang melihat dua negara Islam yang memiliki kekuatan seimbang dan berada tepat di pusat Timur Tengah. Kini keduanya mulai mengarah pada konfrontasi langsung, bukan lagi perang pengaruh. Jadi, kita harus berhati-hati untuk menjaga eskalasi ini agar tak terus mengarah pada konfrontasi militer," kata Gerges.
Sementara Vladimir Ahmedov, seorang peneliti Institut Studi Asia di Akademi Sains Rusia menyebut konflik ini sebagai situasi yang menakutkan. Sebab, konflik ini juga memiliki dimensi religius, sehingga sangat mungkin menjadi perang terbuka antara dua aliran besar dalam Islam, Suni dan Syiah.
Analis kedua ahli tersebut ada benarnya. Memburuknya hubungan Arab-Iran juga bisa memperdalam celah atas kebijakan minyak di negara-negara yang tergabung dalam OPEC, dimana negara anggotanya menghasilkan sekitar sepertiga dari minyak mentah dunia.
Produsen minyak berkantung tebal seperti Arab Saudi dan Kuwait, saling mendukung untuk tetap menjaga produksi mereka untuk melindungi pangsa pasar mereka terhadap saingan non-OPEC, sementara produsen seperti Iran dan Venezuela terus mendesak kelompok tersebut untuk memotong produksi secara keseluruhan.
"Persaingan harga pada tahun 2016 akan menjadi peluang, kecuali mereka terpicu oleh bukti adanya perubahan dalam strategi Saudi, penundaan serius dalam pencabutan sanksi Iran, pertumbuhan permintaan dan atau penyusutan suplai dari negara non-OPEC," kata David Hufton Direktur, perusahaan minyak PVM, dalam sebuah catatan penelitian yang dikutip oleh Wall Street Journal, Senin, 4 Januari 2016.
Sebagai eksportir minyak global, Arab Saudi harus menelan getir akibat harga minyak yang terus menurun. Penolakannya untuk memangkas produksi membuat dunia kini dibanjiri minyak murah, akibatnya harga minyak anjlok.
Penurunan harga minyak yang signifikan bahkan telah memaksa negara kerajaan ini untuk memangkas anggaran pemerintahnya. Pekan lalu, mereka memangkas subsidi harga minyak di negaranya hingga 50 persen.
Penurunan harga membuat Saudi megap-megap, padahal minyak adalah satu-satunya sumber pendapatan Arab Saudi. Sementara, kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara besar di dunia membuat negara itu semakin memiliki kesempatan untuk stabil.
Iran, diperkirakan memiliki cadangan minyak terbesar keempat di planet ini. Mereka siap untuk mengekspor 500.000 barel per hari setelah diberikan akses ke pasar dunia sebagai imbas kesediaan Iran untuk membuka akses dunia pada pengembangan nuklirnya.
Angka 500.000 barel itu mampu membuat Iran merehabilitasi industri minyaknya dan memperbaiki infrastruktur yang makin menua. Sementara, Iran juga makin stabil dalam mengembangkan nuklir.
Konflik minyak, agama, dan pengaruh inilah yang menjadi latar belakang kecemasan sejumlah negara terhadap kian memanasnya suhu di Timur Tengah. Peningkatan tensi yang terjadi antara Iran dan Saudi membuat sejumlah negara ikut ciut.
Amerika Prihatin
Pemerintah Amerika Serikat bahkan meminta Saudi untuk meredakan ketegangan. "Kami prihatin dengan keputusan Kerajaan Saudi yang memerintahkan penutupan Kedubes Iran di kerajaan tersebut," kata pernyataan resmi pemerintah Amerika.
"Kami yakin, ikatan diplomatik dan pertemuan langsung sangat penting untuk mengatasi perbedaan yang terjadi dan kami akan terus mendesak seluruh pemimpin di wilayah tersebut untuk mengambil langkah afirmatif untuk meredakan ketegangan," kata pernyataan itu lebih lanjut.
Tak hanya Amerika, German juga meminta Saudi dan Iran untuk berdialog. "Kami mendesak kedua negara untuk berdialog," kata juru bicara pemerintah Jerman Steffen Seibert pada wartawan, Senin, 4 Januari 2016. "Kami menyerukan kepada Arab Saudi dan Iran untuk menggunakan semua kemungkinan untuk mengembalikan hubungan bilateral mereka," katanya seperti dikutip Reuters.
Pecahnya konflik antara Saudi dan Iran bisa dianggap sebagai alarm tanda bahaya. Konflik keduanya belum selesai di Yaman dan Suriah, dan kini mereka melepas konflik terbuka. Konflik ini bisa menyeret banyak negara, atas nama kepentingan minyak, dan juga konflik yang bisa menyeret persatuan atas nama agama.
Proses eksekusi pada Nimr al Nimr dan kerusuhan yang terjadi setelahnya memperlihatkan kerapuhan diplomasi dan sejumlah kesepakatan yang pernah terjadi antara keduanya. Api dalam sekam itu kini mulai bergelora. Semoga dunia tak ikut terbakar dalam pergolakannya. (ren)