Koalisi Anti-teror ala Arab Saudi, Berhasil atau Mustahil?

Ilustrasi Pesawat Arab Saudi
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id - Sebuah pernyataan mengejutkan disampaikan oleh Putra Mahkota Arab Saudi pada Senin, 14 Desember 2015. Pangeran yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan Kerajaan Saudi Arabia itu menyampaikan berita bergabungnya 34 negara Islam dalam aliansi militer yang akan memerangi terorisme.

Melalui konferensi pers yang diadakan  di pangkalan militer King Salman, Putera Mahkota Muhammad Bin Salman mengatakan aliansi ini akan menjalankan ketentuan PBB dan OKI dalam hal terorisme, yang menegaskan setiap negara memiliki hak untuk mempertahankan diri.

Ia juga mengatakan, aliansi ini terdiri dari negara-negara yang berada dalam dunia Islam, yang memiliki komitmen untuk memerangi masalah yang memiliki dampak lebih dulu pada mereka, dan kemudian berdampak pada dunia.

"Hari ini, setiap negara Islam memerangi terorisme secara individual. Upaya perjuangan yang terkoordinasi sangat penting. Suriah, Irak, Sinai, Yaman, Libya, Mali, Nigeria, Pakistan, dan Afghanistan, dan banyak lagi permintaan kuat agar ada upaya memerangi ini. Tak diragukan lagi, melalui aliansi ini, akan ada koordinasi untuk memerangi terorisme," katanya seperti dikutip dari Arabnews, Selasa, 15 Desember 2015.

34 Negara yang dimaksud pangeran diantaranya adalah Yordania, Uni Emirat Arab, Pakistan, Bahrain, Bangladesh, Benin, Turki, Chad, Togo, Tunisia, Jibouti, Senegal, Sudan, Sierra Leone, Somalia, Gabon, Guini, Palestina, Komoro, Qatar, Cote d'Ivoire, Kuwait, Libanon, Libya, Maladewa, Mali, Malaysia, Mesir, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria, dan Yaman.

"Lebih dari sepuluh negara, dengan penduduk mayoritas Muslim, juga menyampaikan dukungan mereka pada aliansi ini dan akan mengambil tindakan yang diperlukan dalam hal ini, termasuk Indonesia," kata  Pangeran Muhammad Bin Salman, seperti disiarkan oleh SPA.

Pangeran Bin Salman juga menekankan, aliansi ini bukan hanya memerangi ISIS/Daesh, namun memerangi seluruh teroris di seluruh dunia. Ia menegaskan, operasi di Suriah tak akan pernah berhasil bila tak bekerja sama dengan kelompok legal dan komunitas internasional.

Menurut Menteri Luar Negeri Saudi Arabia Adel Al-Jubeir, aliansi ini tidak akan berhenti pada operasi milter, namun juga mengupayakan penggunaan media dan mengkampanyekan informasi untuk membendung pengaruh kelompok ekstremis di seluruh dunia.

Ketika 'Panasnya' Politik Merembet ke Liga Champions

"Jika diperlukan, aliansi ini akan berbagi informasi intelijen, dan menempatkan tentara di negara yang membutuhkan. Terorisme telah menghantam negara-negara Islam. Ini adalah waktunya bagi negara Islam untuk mengambil sikap," kata Al-Jubeir.

Pengumuman ini tak terlalu mengejutkan bagi Amerika Serikat, yang selama ini selalu mendesak Saudi untuk mengambil sikap tegas dalam menghadapi terorisme. AS menyambut baik pengumuman tersebut. 

"Kami melihat ke depan, tentang apa yang diharapkan oleh Saudi Arabia dengan membentuk koalisi ini," kata Ashton Carter, Sekretaris Pertahanan AS, kepada wartawan di Turki. "Namun secara umum, ini memperlihatkan adanya sesuatu yang selama ini sering kami sampaikan, bahwa akan lebih baik memerangi ISIS jika dilakukan oleh negara-negara Arab Sunni," katanya menambahkan.

Sementara Turki menyatakan keseriusan komitmennya. "Turki siap memberikan kontribusi bagi siapa pun yang berniat memerangi terorisme, tak peduli di mana atau siapa yang menggerakkannya," kata Perdana Menteri Turki AhmetDavutoglu.

Sementara Menteri Pertahanan Jerman Ursula von der Leyen mengatakan Jerman menyambut baik pengumuman tersebut. Seperti dikutip dari media Jerman ZDF, Ursula mengatakan aliansi ini sangat membantu jika mereka berniat memerangi ISIS. "Kelompok militan berhasil mendapatkan kekuatan dari perpecahan yang terjadi dari berbagai kelompok yang memerangi mereka," kata Ursula.

Belum Solid

Negara Teluk Sepakat Menyebut Hizbullah sebagai Teroris

Ini adalah aliansi kedua yang dibentuk oleh Arab Saudi. Sebelumnya, pada pertengahan tahun ini, Arab Saudi dan negara-negara Arab membentuk aliansi dan bergabung dengan Koalisi Internasional yang dipimpin Amerika Serikat untuk memerangi ISIS di Irak dan Suriah.

Mereka juga ikut turun tangan dalam memerangi pemberontak Houthi, yang didukung Iran, di Yaman. Iran, adalah satu-satunya negara teluk yang tak diajak bergabung oleh aliansi bentukan Arab Saudi ini.

Namun, ternyata tak semua negara yang namanya disebut dalam aliansi tersebut telah resmi bergabung. Pakistan, Malaysia, dan Indonesia adalah negara yang terkejut dengan pengumuman yang disampaikan Pangeran Mahkota Arab Saudi tersebut.

Sudan Resmi Gabung dengan Koalisi Saudi

Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir mengatakan, saat dihubungi, Menlu Arab Saudi mengatakan akan membentuk pusat terorisme, bukan aliansi.

"Saat itu Menlu RI juga menjawab, Indonesia ingin mempelajari lebih dulu, seperti apa pusat terorisme yang mereka sampaikan itu karena bisa saja disinergikan dengan usaha-usaha kontra terorisme yang selama ini sudah dilakukan Indonesia," kata Arrmanatha saat jumpa pers di Jakarta, Rabu, 16 Desember 2015. Tapi Menlu Saudi tak pernah menyebutkan soal aliansi negara Islam seperti yang diumumkan, kata Arrmanatha menegaskan.

Sementara itu Kementerian Luar Negeri Pakistan juga menyatakan keterkejutannya atas kabar tersebut. Dikutip dari kantor berita Pakistan, Dawn, Sekretaris Kementerian Luar Negeri Pakistan Aizaz Chaudhry mengatakan ia terkejut karena negaranya disebut berada dalam daftar tersebut.

"Tak ada seorang pun yang pernah dihubungi untuk membicarakan ini," kata Chaudhry. Namun ia menambahkan, Pakistan dan Saudi Arabia memang dekat dan memiliki hubungan seperti saudara.

Sedangkan Malaysia meralat perannya. Menteri Pertahanan Malaysia mengatakan mereka tak bergabung dalam aliansi militer seperti yang disebut Muhammad Bin Salman. "Tak ada komitmen militer, namun ini adalah pernyataan saling mengerti, bahwa kita sama-sama memerangi terorisme," kata Menteri Pertahanan Malaysia Hishammuddin Hussein, seperti dikutip dari tabloid lokal The Star.

Di Lebanon, pengumuman itu menimbulkan kontroversi. Perdana Menteri Tammam Salam menyatakan dukungannya, namun Menteri Luar Negeri Lebanon membantah keikutsertaan negaranya dalam aliansi tersebut. Palestina juga menunjukan sikap yang sama. Nabil Abu Rudaineh, juru bicara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas kepada media Breitbart Jerusalem menolak berkomentar.

Tak hanya penolakan dari negara yang disebut. Pembentukan aliansi ini juga dipandang sebagai hal yang blunder. William Hartung, Direktur Lembaga Arms and Security Project at the Center for International Policy yang berbasis di Amerika mengatakan pembentukan aliansi ini malah membuat blunder bagi Saudi Arabia.

"Mereka berasumsi, bahwa jika mereka mengajak negara yang sejalan, maka negara-negara lain juga akan bergabung. Namun kenyataannya tidak," kata William, seperti dikutip dari Vice.com, Kamis, 17 Desember 2015.

Irak, negara yang juga tengah berhadapan dengan ISIS, malah meragukan koalisi tersebut. Pihak berwenang Irak mengatakan, koalisi Saudi malah mengancam terjadinya pergeseran terhadap upaya memerangi kelompok ISIS.

"Ini membingungkan kami. Siapa yang akan memimpin perlawanan pada terorisme di wilayah ini?" kata Nasser Nouri, juru bicara Kementerian Pertahanan Irak. "Apakah ini akan menjadi koalisi internasional yang besar, jika iya, apa poin yang akan didapatkan dengan aliansi baru ini?" katanya seperti dikutip dari Wall Street Journal.

Irak adalah negara dengan mayoritas pemeluk Islam  Syiah. Irak telah lama tak memiliki hubungan diplomatik dengan Arab Saudi sejak negara itu menginvasi Kuwait pada tahun 1990.

Tak disebutnya nama Iran sebagai bagian dari aliansi ini juga menebar asumsi, pembentukan aliansi ini dianggap sebagai bagian dari upaya memperbesar kesenjangan Sunni-Syiah, dan bagian dari rebutan pengaruh di jazirah antara Saudi Arabia dan Iran. Dua negara yang tak pernah berhenti berebut pengaruh.

Asumsi itu dibantah oleh Menlu Arab Saudi Al Jubeir. "Ini bukan koalisi sunni atau koalisi Syiah," katanya. "Ini adalah koalisi anti terorisme dan koalisi anti ekstremisme," kata Al Jubeir menegaskan.

Jenderal Ahmad Asiri, juru bicara Menteri Pertahanan Arab Saudi mengatakan, Iran bisa saja bergabung dengan koalisi tersebut jika mau berhenti merugikan Arab dan negara Islam."

"Saat ini kita bicara tentang operasi menghadang terorisme, jika Iran berharap untuk bergabung dengan aliansi ini, maka mereka harus berhenti menyakiti Suriah dan Yaman. Mereka juga harus menghentikan dukungannya pada aksi terorisme di Lebanon dan Irak," kata Asiri, seperti dikutip dari harian Al Madinah.

Ke mana arah koalisi ini, memang belum bisa ditebak dengan jelas. Namun melihat perseteruan antara Iran dan Saudi Arabia yang tak kunjung usai, sulit menepis anggapan bahwa pernyataan aliansi ini adalah perebutan pengaruh politik antara dua negara Islam tersebut. 

Apalagi, perang pengaruh ke dua negara tersebut begitu tampak di peperangan Suriah dan Yaman.  Ralat yang disampaikan negara-negara yang namanya sudah disebut, juga harusnya menjadi peringatan bagi Saudi.

Banyak negara ingin memerangi terorisme, tapi tak semuanya sudi untuk terlibat dalam konflik Saudi-Iran, yang identik dengan Sunni-Syiah. (ren)

Tank Abrams buatan AS.

AS Jual Senjata ke Saudi Senilai US$1,15 miliar

Namun, mendapat protes dari Kongres AS dan pegiat HAM.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016