TNI Jangan Terpancing Konflik Laut China Selatan
Sabtu, 14 November 2015 - 02:49 WIB
Sumber :
- Pusat Penerangan TNI
VIVA.co.id - Tentara Nasional Indonesia mengerahkan tujuh kapal perang dan pesawat udara patroli maritim ke perairan Natuna di Kepulauan Riau pada akhir Oktober 2015. Armada kapal perang Republik Indonesia (KRI) itu disiagakan berbarengan dengan ketegangan yang meningkat di Laut Tiongkok Selatan akibat sengketa teritorial di perairan itu.
Situasi memanas setelah Amerika Serikat mengerahkan kapal perang mereka ke kawasan sengketa teritorial kepulauan Spratly di Laut Tiongkok Selatan pada akhir Oktober. Pulau-pulau di Laut China Selatan itu disengketakan empat negara, yaitu Tiongkok, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Amerika sesungguhnya tak ada urusan. Begitu pun Indonesia, yang tidak punya klaim wilayah di Laut China Selatan. Seharusnya pula Indonesia tidak perlu ikut-ikutan terseret dalam konflik wilayah itu.
Kendati demikian, tidak ada klaim bukan berarti Indonesia boleh lengah. Bagaimanapun negara-negara yang bersengketa itu adalah tetangga-tetangga Indonesia.
Wilayah sengketa itu pun tidak jauh dari perbatasan maritim kita dan juga sangat strategis bagi jalur pelayaran internasional. Maka apa pun gejolak yang terjadi di Laut China Selatan, apalagi sampai konflik bersenjata, juga akan berpengaruh buruk bagi keamanan dan kepentingan ekonomi Indonesia.
Seharusnya pula, sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia turut berkepentingan dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan secara diplomasi demi menjaga perdamaian dunia. TNI patut mengirim armada kapal perang ke wilayah perbatasan demi menjaga pertahanan nasional, namun jangan sampai ikut-ikutan dalam konflik terbuka antar-negara sahabat di kawasan itu.
Empat di antara KRI yang dikerahkan itu ditempatkan di Pangkalan Penjaga Laut dan Pantai Tanjung Uban serta tiga yang lain dioperasikan di perairan Natuna. Indonesia sebenarnya tak terlibat dalam sengketa itu. Tetapi perairan Natuna ialah kawasan yang berada di beranda utara wilayah Tanah Air atau sisi paling selatan Laut Tiongkok Selatan.
Hanya patroli
Indonesia sudah sejak lama mewaspadai potensi gangguan keamanan di Laut Tiongkok Selatan yang bisa saja merembet ke Tanah Air. Tetapi pemerintah selalu menepis dikait-kaitkan dengan sengketa kawasan itu setiap ada mobilisasi armada militer, seperti pengerahan tujuh KRI.
Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, mengungkapkan bahwa pengerahan kapal militer itu hanya untuk patroli rutin demi menjaga atau mengawasi perairan Indonesia. Andai patroli itu memergoki kapal militer negara lain di perairan Natuna, TNI tak akan bertindak agresif, misal, menembaki atau mencegatnya.
Misi utama tujuh KRI dan pesawat udara patroli maritim itu, kata Menteri, murni demi mengawasi perairan Indonesia. “Kalau ada kapal perang (negara lain), kita bukan menembak, tapi siap dadah-dadah (melambaikan tangan tanda) perdamaian," katanya di Jakarta pada Jumat, 13 November 2015.
Tiongkok, menurut Menteri, pun sebenarnya tidak ingin membuat provokasi yang dapat memicu ketegangan di kawasan itu. Pemerintah negeri tirai bambu itu bahkan menyebut Laut Tiongkok Selatan sebagai “halaman bersama” bagi negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia diminta tak mencemaskan situasi di Laut Tiongkok Selatan.
Beijing, kata Menteri Ryamizard, juga mengklarifikasi tentang pangkalan militer Tiongkok yang dibangun di tepi barat kepulauan Spratly. Pangkalan itu memang dibangun Tiongkok tetapi boleh dipakai bersama-sama oleh negara lain, terutama negara-negara Asia Tenggara.
“Mereka mempersilakan negara lain untuk menggunakannya. Itu untuk persinggahan. Mereka yang bilang begitu. Tadinya mereka, kan, tidak pernah ngomong," ujar Ryamizard, menjelaskan sikap Beijing.
Pemerintah Indonesia, kata Ryamizard, menilai klarifikasi Tiongkok ada benarnya. Soalnya ribuan kapal niaga melintasi Laut Tiongkok Selatan tetapi militer Tiongkok tak pernah melancarkan agresi terhadap kapal-kapal itu. Hal serupa mereka lakukan terhadap kapal militer negara lain.
Ryamizard, yang adalah mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat, mengapresiasi sikap Tiongkok yang beritikad baik untuk tidak memicu ketegangan di Laut Tiongkok Selatan, sebagaimana dinyatakan Beijing. Dia mengibaratkan Tiongkok satu kata dan perbuatan.
Indonesia pun, katanya, harus menghormati dengan tulus sikap pemerintah negeri komunis itu. “Kita ngomong jangan di mulut doang (saja). Hati juga harus ikhlas. Mungkin Cina melihat itu.”
Indonesia tak terpengaruh
Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, mengatakan secara lugas bahwa tak ada alasan merecoki sengketa Laut Tiongkok Selatan. Mobilisasi kapal perang TNI pun bukan untuk itu tetapi murni patroli pengamanan wilayah perairan.
Lagi pula, kata Panglima, pihak yang bersengketa sekarang sebenarnya bukan Tiongkok, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia, melainkan Tiongkok dengan Amerika Serikat.
Sumber masalahnya memang peristiwa pada akhir Oktober itu, yakni kapal perang Amerika yang memasuki kawasan Spratly di Laut Tiongkok Selatan. Kapal perusak milik Angkatan Laut Amerika, USS Lassen, dilaporkan berlayar hingga hanya berjarak 12 mil laut ke pulau buatan yang dibangun Tiongkok pada 2014, yang sekarang menjadi pangkalan militer.
Tiongkok tentu berang dengan aksi militer Amerika itu. Ditambah ulah Menteri Pertahanan Amerika, Ash Carter, yang mengunjungi kapal induk USS Theodore Roosevelt, yang sedang beroperasi di Laut Tiongkok Selatan. Menteri Carter bahkan menyatakan secara terbuka bahwa Amerika menentang proyek reklamasi Tiongkok di kepulauan Spratly.
Carter juga mengingatkan Tiongkok bahwa Amerika tak akan menghentikan operasi laut mereka di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Amerika menilai kawasan itu ialah perairan internasional -bukan milik Tiongkok- sehingga negara mana pun dapat berlayar di sana.
Indonesia, kata Panglima, tak sedikit pun berniat mencampuri urusan sengketa Laut Tiongkok Selatan. Indonesia sangat menghindari aktivitas-aktivitas militer yang dapat memantik ketegangan atau bahkan sekadar menimbulkan kecurigaan negara lain.
Panglima mencontohkan sikapnya yang menolak ajakan Tiongkok, seperti diungkapkan Menteri Pertahanan Chang Wanquan, untuk menggelar latihan bersama di Laut Tiongkok Selatan. Panglima berpendapat, semua negara, termasuk Indonesia, wajib menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas militer di kawasan itu.
Pernyataan Panglima didukung Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Ade Supandi. Pengerahan armada KRI adalah bagian dari operasi patroli rutin saja. Patroli itu bukan operasi khusus. Media massa saja yang mengaitkannya dengan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.
“Kegiatan patroli yang berkenaan dengan keadilan di laut, baik di Laut Natuna, Sulawesi, maupun Samudera Hindia,” kata Laksamana Ade Supandi di Markas Besar TNI Angkatan Laut di Jakarta pada 6 November 2015.
Berdampak ekonomi global
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengingatkan betapa penting perdamaian di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Stabilitas kawasan itu tak hanya demi kepentingan Indonesia atau negara-negara terkait, melainkan juga untuk kepentingan dunia. Soalnya kawasan Laut Tiongkok Selatan adalah jalur utama bagi perdagangan internasional.
“Hal itu akan memengaruhi ekonomi global. Perdamaian sangat penting, karena apabila ada gejolak di sana, dampaknya akan memengaruhi seluruh dunia. Sebagian besar jalur perdagangan lewat sana,” juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nassir, di Jakarta pada Kamis, 12 November 2015.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan, sedari dini sudah mewanti-wanti TNI maupun Polri agar menghindari kegiatan-kegiatan yang berpotensi memantik ketegangan di Laut Tiongkok Selatan. TNI, sebagaimana sikap resmi pemerintah Indonesia, tidak berpihak pada pihak mana pun yang bersengketa di kawasan itu.
Luhut berpendapat, Indonesia boleh terlibat dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan tetapi dalam konteks mengutamakan dialog agar tidak terjadi kontak militer. “Dialog solusi yang bagus, kedepankan langkah-langkah yang elok," ujarnya.
TNI sesungguhnya sudah bersiaga sejak lama mengantisipasi konflik perebutan kawasan itu. Sejak 1996, ribuan personel TNI disiagakan di Natuna maupun di Kepuluan Anambas, yang lokasinya tidak jauh dari daerah kaya minyak itu.
Indonesia belum bersengketa langsung dengan Tiongkok. Sebelum isu peta Tiongkok dengan sembilan garis titik-titik menyinggung Natuna pada 2009, Vietnam dan Filipina sering perang urat saraf dengan Tiongkok.
TNI mencurigai Tiongkok sengaja memasukkan bagian dari Kepulauan Natuna dalam nine-dash line, batas tidak jelas yang digunakan pada peta Tiongkok untuk mengklaim sekira 90 persen dari laut di daerah itu.
Pemerintah Indonesia, menurut Armanatha, telah meminta penjelasan kepada Tiongkok. Indonesia menganggap nine-dash line yang dibuat Tiongkok tak pernah dikenali dan tak sesuai hukum internasional. Namun permintaan penjelasan itu belum dijawab Beijing.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hong Lei, mengatakan bahwa negaranya tidak mempersengketakan kedaulatan Indonesia atas Natuna, tapi ada "beberapa sengketa maritim." Tiongkok, katanya, terus mengupayakan upaya dialog atau negosiasi dengan Indonesia serta menghormati hukum internasional. (ren)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Sumber masalahnya memang peristiwa pada akhir Oktober itu, yakni kapal perang Amerika yang memasuki kawasan Spratly di Laut Tiongkok Selatan. Kapal perusak milik Angkatan Laut Amerika, USS Lassen, dilaporkan berlayar hingga hanya berjarak 12 mil laut ke pulau buatan yang dibangun Tiongkok pada 2014, yang sekarang menjadi pangkalan militer.