VIVA.co.id - Tentara Nasional Indonesia sejatinya adalah pelindung bagi rakyat. Senjata dan bedil yang mereka pakai berasal dari pajak hasil jerih payah rakyat Indonesia, sehingga harus digunakan benar-benar untuk memastikan keamanan rakyat dan keselamatan bangsa.
Namun, tragedi yang menimpa Japra, seorang tukang ojek di Kabupaten Bogor Selasa kemarin benar-benar sangat disesalkan. Dia meregang nyawa setelah diterjang peluru dari seorang sersan TNI, yang menganggap Japra sebagai musuh yang harus dihabisi ketimbang sebagai warga sipil yang semestinya dilindungi.
Padahal insiden ini hanya karena persoalan sepele, saling berebut jalan di tengah ramainya lalu lintas. Masalah yang rutin dihadapi siapa saja saat lalu lintas tengah ramai di jam-jam sibuk.
Sepeda motor yang dikendarai Japra dengan mobil yang dikendarai Sersan Dua Yo - demikian inisial si penembak - nyaris bersenggolan. Dua-duanya tidak mau mengalah hingga berujung pertikaian.
Japra hanya bermodal otot. Namun Serda Yo punya bedil. Hukum rimba di jalanan pun terjadi. Tukang ojek itu tak kuasa melawan anggota yang bersenjata pistol.
Japra tewas mengenaskan usai diterjang peluru yang diarahkan Serda Yo ke matanya hingga menembus ke belakang kepala. Mengerikannya lagi, insiden ini terjadi di tengah keramaian. Warga sekitar pun tak berani menghadapi tentara bersenjata yang tengah emosi.
Kehebohan langsung terjadi. Sersan Yo sudah menyerahkan diri kepada pihak berwenang untuk diproses secara hukum. Panglima TNI pun minta maaf atas ulah anak buahnya itu.
Namun, yang lebih penting, jangan sampai tragedi Japra ini terjadi lagi. Jenderal Gatot Nurmantyo dan jajarannya kini harus benar-benar mengawasi dan memastikan agar jangan ada lagi anggotanya yang sembarangan membawa senjata api saat berada di tengah masyarakat, apalagi menggunakannya secara sembarangan. Pelanggar harus dihukum berat.
Kasus Japra bisa jadi hanya salah satu contoh bentuk kekerasan dan arogansi militer terhadap sipil. Nyaris seluruh wilayah Indonesia pernah memiliki kisah serupa, hanya lain waktu, korban dan kronologisnya saja.
Di Riau contohnya. Baru-baru ini seorang anggota polisi berpangkat Brigadir tega membunuh istrinya dengan hujanan tembakan. Sekujur tubuh korban penuh dengan selonsong peluru hasil tembak jarak dekat yang dilakukan suaminya sendiri.
Belum kasus di Papua, Poso dan Aceh. Samar-samar dengan senjata berulang kali muncul ke permukaan publik.
Tentunya 'aksi koboi' anggota TNI atau pun Polri apapun alasannya tak dapat dibenarkan. Sebab penggunaan senjata menjadi titik akhir untuk menyelesaikan masalah dan tentu saja terdapat sejumlah prasyarat ketat untuk mencapai titik akhir tersebut.
Indonesia termasuk negara yang cukup ketat mengatur bagi warganya. Baik militer maupun bukan, calon pemegang senjata wajib memahami tentang undang-undang darurat nomor 12 tahun 1951, undang-undang nomor 8 tahun 1948, Perpu Nomor 20 tahun 1960 dan SK Kapolri Nomor Skep/244/II/1999 serta SK Kapolri Nomor 82 tahun 2004 tentang pelaksanaan dan pengendalian senjata non organik.
Rentetan undang-undang itulah yang mengatur ketat tentang keharusan para . Secara umum, beragam undang-undang itu menggarisbawahi bahwa selain ada prosedur administrasi, setiap pemegang senjata api wajib memenuhi persyaratan khusus.
Pertama yakni, syarat medis. Yaitu calon pengguna harus sehat jasmani, tidak cacat fisik, penglihatan normal dan syarat lain berdasarkan pemeriksaan dokter.
Syarat kedua yakni terkait psikologis. Calon pengguna baik sipil maupun militer wajib memiliki persyaratan psikologis yang baik. Seperti tidak mudah gugup, panik, emosional, marah hingga ke tidak psikopat.
Syarat ketiga yaitu memiliki kecakapan menembak. Jadi pemohon harus lulus tes menembak dan mendapatkan sertifikasi.
Terkhusus anggota TNI, secara umum memang diperbolehkan untuk . Dengan catatan memegang surat perintah dari komandan satuannya.
"Namun di balik itu tetap ada pengawasan. Berapa senjata yang keluar atau masuk semuanya dikontrol. Kami memiliki datanya," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Tatang Sulaiman.
Yang pasti terlepas dari itu. Prasyarat khusus yang mengharuskan pemegang senjata harus memiliki kejiwaan yang sehat atau psikologis yang baik. Harus menjadi pedoman utama.
Sebab banyak kasus penembakan masyarakat biasa justru terjadi hanya karena anggota TNI justru tidak bisa mengontrol psikologis mereka.
Emosi yang memuncak dan kemudian dibalut 'khilaf' menjadi alasan sejumlah kasus penembakan warga sipil oleh militer.
Sebab itu muncul dugaan bahwa kewajiban berkala dikarenakan lemahnya pemeriksaan psikologis terhadap mereka.
"Yang dikasih senjata harus ada tes kejiwaan yang ketat. Senjata dibeli dengan uang negara, malah bunuh warga," kritik Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Mahyudin, Rabu 4 November 2015.
Jauhkan Militer dari Sipil
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras kematian Japra di Cibinong Bogor.
dengan senjatanya tersebut, menurut KontraS, harusnya menjadi pertimbangan publik dan negara, bahwa sudah waktunya TNI jangan lagi berdampingan dengan masyarakat sipil.
"Ini bukti diantara ribuan bukti bahwa sudh sepatutnya TNI tidak berada di tengah kehidupan sipil masyarakat," ujar Koordinator KontraS Hariz Azhar.
Militer, menurut Haris, merupakan . Sebab itu, menjadikan masyarakat sebagai sasaran pertahanan menjadi dasar kuatnya pemisahan militer dari sipil.
"Sayangnya saat-saat ini, pemerintah justru menikmati konsolidasi politik dengan pihak TNI. Akibatnya reformasi TNI jadi tergadaikan," kata Haris.
Cukupkah Pemecatan?
Sejauh ini, merujuk ke kasus tewasnya Japra di tangan Serda Yo. Komando Strategi Angkatan Darat memang langsung mengambil sikap keras.
Anggota Intai Tempur Batalyon Intelijen Komando Stategis Cadangan Angkatan Darat tersebut langsung dipecat. "Apapun menghilangkan nyawa orang lain, sengaja tidak sengaja, apalagi oleh aparat, dengan menggunakan senjata yang bukan untuk dilakukan hanya untuk musuh, itu sanksinya pemecatan. Sudah pasti," kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Dalam. Dijelaskan bahwa bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana selama dikategorikan tindak pidana umum tetap menggunakan aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Praktiknya, dalam pasal 351 ayat (1), ayat (2) atau ayat (3) disebutkan bahwa dalam ayat (1) Penganiayaan dipidana dengan penjara selama-lamanya dua tahun. Ayat (2) Jika perbuatan berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan penjara selama-lamanya lima tahun.
"Dan untuk ayat (3), jika perbuatan tersebut menyebabkan matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun," tulis ketentuan tersebut.
Data KontraS untuk tahun 2011-2013, bentuk kekerasan dan dugaan terus menunjukkan peningkatan. Tahun 2011 saja ada 29 kasus penembakan yang dilakukan oleh polisi, 10 kasusu oleh TNI dan sisanya sebanyak 23 orang dilakukan orang tak dikenal.
Lalu pada tahun 2012, sebanyak 102 kasus penembakan dilakukan polisi, 5 kasus oleh TNI dan 65 kasus oleh orang tak dikenal.
Jumlah ini pun kembali melonjak lagi di tahun 2013. Setidaknya ada 147 kasus penembakan dilakukan oleh polisi dan lima kasus oleh TNI dan sisanya 16 kasus oleh orang tak dikenal.
Ironisnya, tingginya kasus penembakan warga sipil itu ternyata tak berbanding lurus dengan sanksi hukum yang diberikan kepada pelakunya. Mayoritas sanksi justru hanya berbentuk sanksi disiplin berupa teguran tertulis.
Padahal bila ditilik dari akumulatif sepanjang tiga tahun itu tercatat ada 201 warga yang tewas dan sebanyak 554 orang lainnya mengalami luka-luka.
Kasus penembakan dan penggunaan senjata api oleh polisi dan TNI memang harus dituntaskan dan diberikan bukti jelas bahwa sanski yang diatur dalam undang-undang diberlakukan.
Sebab, dalih apapun kapan penggunaan senjata api sudah jelas dirinci dalam pasal 47 Perkapolri 8/2009, pertama penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan melindungi nyawa manusia.
Kedua senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk, menghadapi keadaan luar biasa, membela diri, membela orang lain terhadap ancaman kematian dan atau luka berat.
Lalu membela orang lain dari , mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa, menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang membahayakn jiwa orang lain serta menangani situasi yang membahayakan jiwa.
Karena itu, jelas adanya bahwa masalah ugal-ugalan yang dialami oleh Serda Yo dan Japra tak masuk dalam ketentuan penggunaan senjata api. Jangan sampai, sanksi TNI yang menggunakan senjata api ini hanya sebatas ucapan bibir saja. (ren)
Halaman Selanjutnya
Dalam. Dijelaskan bahwa bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana selama dikategorikan tindak pidana umum tetap menggunakan aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.