Rumah Ibadah Dibakar, Ribuan Warga Jadi Pengungsi
- Zulkarnaini Muchtar (Banda Aceh)
VIVA.co.id - Pembakaran rumah ibadah yang menyulut kerusuhan massa kembali terjadi. Insiden yang mengoyak rasa kemanusiaan itu pecah pada Selasa, 13 Oktober 2015, di Desa Sukamakmur Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, Nangroe Aceh Darussalam.
Seorang warga dilaporkan meninggal dunia, empat orang luka-luka termasuk satu anggota Tentara Nasional Indonesia. Tak hanya itu, ribuan warga terpaksa menjadi pengungsi, menyingkir dari kampung halaman.
Ribuan warga Aceh Singkil mengungsi ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, insiden ini. Gelombang warga Aceh ke Tapanuli Tengah telah terjadi sejak Selasa sore, 13 Oktober. Mereka ditampung di sejumlah tempat, baik gereja, sekolah dan rumah warga di Desa Saragi, Kecamatan Manduamas, Tapanuli Tengah.
"Daerah Tapanuli Tengah yang berbatasan langsung dengan Aceh Singkil menjadi tempat paling dekat dituju warga untuk mengungsi. Ini dampak bentrok dan pembakaran gereja kemarin," kata Kepala Desa Sarai, Rusman Sinaga, Rabu, 14 Oktober 2015.
Lihat:
Menurut Rusman, gelombang warga dari Aceh Singkil masih berdatangan hingga siang ini. Mereka menggunakan truk, mobil pribadi dan sepeda motor.
"Gelombang pengungsi akibat kejadian ini diperkirakan akan terus terjadi. Diperkirakan mencapai 6.000 orang yang berasal dari lima kecamatan di Aceh Singkil," katanya.
Plt Bupati Tapanuli Tengah, Sukran Tanjung, bersama dengan Muspida Tapanuli Tengah, pejabat Kepolisian setempat dan Dandim 0211 Tapanuli Tengah langsung turun ke lokasi pengungsian untuk melihat kondisi para warga yang mengungsi. Pemerintah Daerah Tapanuli Tengah terus melakukan pendataan jumlah warga yang mengungsi.Â
"Segala kebutuhan pengungsi akan segera dipenuhi. Seperti makanan, air bersih dan kebutuhan untuk anak-anak," katanya.
Baca:Â
Aparat kepolisian telah menangkap sejumlah warga yang diduga terlibat. Sebanyak 45 orang saksi menjalani pemeriksaan. Mereka dianggap mengetahui dan bukan tidak mungkin menjadi bagian dari pelaku kerusuhan antar agama tersebut.
"Polri telah melakukan langkah-langkah pemeriksaan terhadap 45 orang saksi," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Suharsono, Rabu 14 Oktober 2015.
Sejuah ini, dari proses pemeriksaan tersebut, kepolisian belum menetapkan tersangka atas kasus pembakaran rumah ibadah tersebut. Sebab itu, hingga kini upaya pengamanan ekstra di lokasi kejadian masih terus ditingkatkan baik oleh polisi maupun dari TNI.
"Upaya pencarian dan pengejaran terhadap pelaku, baik itu penembakan maupun tindakan anarkisme masih terus dilakukan," kata Suharsono.
Kronologi
Ihwal kerusuhan, Kepala Kepolisian Jenderal Badrodin Haiti mengungkapkan, kronologi kejadian itu saat ditemui di rumah dinasnya di Jalan Pattimura, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 13 Oktober 2015.
Sekitar pukul 08.00, massa sudah berkumpul di Masjid Lipat, Kajang bawah, Simpang Kanan, Aceh Singkil. Selanjutnya, sekitar pukul 10.00, massa bergerak menuju ke Tugu, Simpang Kanan. Tapi massa berhasil dihadang oleh pasukan TNI-Polri. Sehingga, mereka menuju rumah ibadah Gereja Huriah Kristen Indonesia (GHKI), Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil.
"Tapi, karena memang objeknya cukup banyak hanya diamankan sekitar 20 orang, sedangkan warga berjumlah 500 orang. Sehingga pada pukul 11.00 massa yang dihadang menyebar, sebagian ada yang menggunakan motor itu menuju ke gereja, sehingga gereja tadi dibakar," kata Badrodin.
Baca:
Setelah membakar gereja, massa bergerak ke Desa Danguran, Kecamatan Simpang Kanan, Kecamatan Aceh Singkil. Di situlah terjadi bentrok antara masyarakat yang menjaga gereja dengan massa yang membakar gereja. Pada titik ini lah satu orang tewas tertembak.
"Korban jiwa satu orang. Empat orang luka-luka, termasuk satu di antaranya anggota TNI," ujar Badrodin.
Menurut Badrodin, kejadian ini ditengarai dilakukan oleh sekelompok warga yang menolak pembangunan gereja di desa itu, lantaran tak mempunyai izin. Sebelumnya sudah ada kesepakatan antara pemerintah daerah dengan masyarakat terkait dengan adanya 21 gereja yang dianggap bermasalah dan tidak mempunyai izin.
"Di mana kesepakatan itu di antaranya adalah untuk pembongkaran akan dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2015," kata Badrodin.
Menurut Badrodin, yang melakukan pembakaran rumah ibadah tersebut adalah masyarakat yang tidak setuju dengan hasil kesepakatan Pemda dan sejumlah pihak.
Reaksi Pemerintah
Wakil Presiden, Jusuf Kalla, menyesalkan pecahnya kerusuhan agama itu. Menurut Kalla, kejadian itu tak perlu terjadi jika masyarakat mengedepankan prinsip toleransi.
"Kita prihatin apa yang terjadi di Aceh Singkil. Negara yang menghargai seluruh agama. Kita harus menjaga itu," kata Kalla di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Rabu 14 Oktober 2015.
Tahun ini, kata Kalla, kekerasan umat beragama telah pecah di ujung timur dan ujung barat Indonesia. Minimnya sikap toleransi antarumat telah membuat ketidaknyamanan.
Baca:
Karena itu, sebagai negara yang mengedepankan toleransi, Kalla berharap agar masalah itu bisa diselesaikan dengan bijak dan sesuai peraturan.
"Semua ada aturannya. Sayang sekali, ini terjadi di ujung barat (Aceh Singkil) dan ujung timur (Tragedi Tolikara) Indonesia," katanya.
Kalla mengingatkan agar segenap umat Muslim di Indonesia tetap bersyukur, karena Indonesia masih dalam keadaan relatif aman atau tak senasib seperti yang dialami oleh sebagian negara Muslim di Timur Tengah.
"Banyak negara Islam di Timur Tengah yang umatnya hijrah. Bukan hijrah ke negeri Islam yang lebih baik, tapi ke negara nonmuslim untuk mendapatkan perlindungan. Itu suatu pelajaran yang besar, apa sebenarnya yang terjadi dalam umat ini?" katanya.
Untuk itu, ia berharap agar seluruh rakyat Indonesia tetap mampu menjaga persatuan dan kesatuan antarmasyarakat. Dengan ini, Indonesia tidak akan mengalami nasib serupa seperti negara-negara di Timur Tengah.
"Ketidakcocokan, ketidaksenangan, dan kekerasan, tentu tidak boleh terjadi. Kita harus menghindari itu. Indonesia ini negara yang penuh toleransi," katanya.
Upaya penyelesaian
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, insiden pembakaran rumah ibadah di Aceh Singkil dipicu tidak tegasnya kepala daerah dalam menerapkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah.
"Kejadian kemarin dipicu kurang tegasnya bupati menerapkan PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah," kata Tjahjo melalui pesan singkatnya, Rabu 14 Oktober 2015.
Baca:
Menurut Tjahjo, sikap konsisten dan tegas diperlukan guna memberikan kejelasan terhadap masyarakat. Ia pun dalam waktu dekat berencana mengumpulkan pejabat pemda, baik provinsi dan kabupaten-kota untuk diberikan pencerahan soal peraturan daerah terkait pembangunan rumah ibadah.
Tjahjo menegaskan, faktor ketegasan dan konsisten kepala daerah adalah hal yang utama. Menurut dia, kepala daerah harus memberikan suasana aman dan tenang kepada warganya dalam beribadah sesuai agama serta keyakinannya masing-masing.
"Toleransi umat beragama harus terus dibangun, disadarkan kepada siapa pun. Yang mengganggu, memprovokasi, harus ditindak tegas oleh kepolisian," kata Tjahjo.
Dia menggarisbawahi, pada prinsipnya pemda seharusnya bisa memfasilitasi masyarakat agar dapat dengan tenang membangun tempat ibadah. Upaya ini agar masyarakat pemeluk agama tersebut dapat dengan tenang beribadah.
"Makanya, kami sudah koordinasi dengan kepolisian untuk menindak tegas pihak-pihak yang terkait dengan kerusuhan. Terkait pihak yang mengganggu kekhusyukan ibadah bagi setiap warga negara," tutur Tjahjo. (umi)