i-Doser, Mungkinkah Suara Digital Berubah Jadi Narkoba?
VIVA.co.id - Heboh "narkoba digital", i-Doser, membuat semua orang penasaran. Mungkinkah sebuah aplikasi membuat seseorang kecanduan dan teler, layaknya mengonsumsi serbuk narkoba, atau pil?
Banyak kontroversi bermunculan, terkait kemampuan adiksi i-Doser. Video mengenai rekaman reaksi pengguna i-Doser bermunculan sejak 2010 di YouTube. Namun, banyak juga yang mengatakan jika semua itu tidak benar.
Bahkan, ada yang menyebut pengembang i-Doser hanya mencari uang banyak dari rasa penasaran para pengguna internet. Wajar saja. Untuk satu file MP3, yang berisi suara berdurasi 10 menit, harga jualnya mencapai Rp40 ribu per download.
Dari banyak video yang beredar di YouTube, rata-rata pengguna melakukan i-Dosing (istilah untuk menggunakan i-Doser) dengan cara yang sama. Berlokasi di dalam kamar, sambil tiduran, menggunakan headphone, keadaan sepi, dan menutup mata dengan kain untuk menambah "kekhusyukan" dalam mendengarkan file suara i-Doser.
Beberapa pengguna menunjukkan efek i-Doser. Ada yang secara refleks menggerakkan tangan, senyum-senyum sendiri, dan ada yang sampai menangis. Tapi, dalam kolom komentar dan beberapa forum yang membahas i-Doser, kebanyakan mereka mengaku tidak mendapatkan pengaruh apa-apa setelah i-dosing.
Bahkan, setelah membeli sampai enam file sekaligus. Hanya saja, mereka mengakui, jika perasaan mereka jadi lebih santai, cenderung lelah, dan mengantuk setelah i-Dosing selama 20 sampai 30 menit.
“Sekitar 83 persen pengguna i-Doser, setidaknya pernah mencoba satu kali simulasi. Sekitar 17 persen, memiliki kesulitan untuk merasakan efek yang timbul. Hal ini kebanyakan, karena kualitas headphone yang buruk,” tulis pengembang i-Doser dalam menu tanya jawab di situsnya.
Bagaimana suara bisa berubah jadi narkoba?
Ditelusuri Viva.co.id, beberapa file yang tersimpan di i-Doser memiliki nama yang memang cukup unik. Alcohol, Opium, Cocaine, Orgasm, Caffeine, Ecstasy, hingga True Love.
Pihak pengembang mengakui, jika file-file suara ini akan memberikan kesan kepada otak untuk merasakan sensasi yang sama dengan judul yang dipilih. Yap! Sensasi itu didapat melalui frekuensi suara yang mampu memengaruhi gelombang otak. Mereka memanfaatkan teknologi Binaural Beats.
“i-Dosing merupakan istilah keren dari terapi Binaural Beats, yang ditemukan sejak 1800. Teknologi ini menggunakan irama yang berada dalam dua frekuensi berbeda untuk didengarkan di masing-masing sisi telinga. Binaural Beats memang dipercaya mampu meningkatkan mood seseorang, menurunkan kecemasan, sampai membantu tidur nyenyak,” ujar psikolog Jennifer Hartstein dari Yeshiva University, New York, dalam wawancara dengan CBS News.
Dijelaskan lebih lanjut, Binaural Beats, yang ditemukan oleh Heinrich Wilhelm Dove pada 1839, dianggap sebagai obat alternatif yang ampuh di masa itu, bisa menghilangkan sakit dan perasaan sedih.
Binaural Beats mampu menurunkan frekuensi gelombang otak dan mendorong sinkronisasi gelombang antara otak kiri dan kanan. Saat telinga kanan mendengarkan nada di frekuensi tertentu (misalnya di 500 Hz) dan telinga kiri di frekuensi lainnya (misalnya 510 Hz), maka dua gelombang itu akan terintegrasi dan menghasilkan suara ketiga di selisih frekuensi yang ada (10 Hz). Inilah yang disebut irama binaural.
“Saya sempat i-Dosing selama beberapa kali dengan irama yang berbeda. Tapi tidak ada pengaruh apa pun yang saya rasakan. Saya tidak mabuk, tidak teler. Ide mengenai irama binaural yang bisa meniru narkoba adalah tidak berdasar sama sekali. Tidak ada mekanisme yang membuatnya bekerja seperti itu. Binaural Beats itu memang ada, tetapi efeknya tidak akan sampai seperti narkoba. Musisi juga biasanya menggunakan irama binaural. Tapi itu kepentingannya hanya untuk estetika, bukan untuk membuat teler,” ujar ahli syaraf dari McGill University, Daniel Levitin, dikutip dari Washington Post.
Penelitian yang sama juga dilakukan ilmuwan dari Oregon Health and Science University (OHSU) untuk mencari pengaruh dari irama binaural. Mereka mengukur aktivitas gelombang otak milik orang-orang yang mendengarkan suara dari frekuensi berbeda. Hasilnya, tidak ada perubahan atau peningkatan ukuran sama sekali.
“Mereka yang kerap mendengarkan irama binaural memang mengaku lebih bersemangat. Tapi kemungkinan itu, karena mereka menghabiskan waktu lama untuk duduk dan mendengarkan musik, yang notabene sama saja dengan beristirahat. Sensasi paling kuat dari irama binaural adalah karena ‘tidak melakukan apa-apa’. Sama saja dengan teori yang menyatakan bahwa musik memiliki kemampuan untuk mengubah mood, meningkatkan rasa semangat,” jelas Helane Wahbeh, dari OHSU.
Seorang ahli irama binaural, yang juga mengelola lama BinauralBeatsGeek.com, Carl Harvey, tidak mau menilai sebelum dirinya mencoba membuktikan sendiri pengaruh irama binaural dari i-Doser. Kepada WashingtonPost, dia mengatakan kekecewaannya, setelah mendengar beberapa lagu yang di-download dari i-Doser.
“Musik memang ampuh untuk meditasi, karena memungkinkan otak untuk tenang dan beristirahat sejenak. Irama binaural juga bisa membantu manusia untuk mencapai level gelombang otak tertinggi, seperti alpha, beta dan theta. Tetapi, saya ragu jika i-Doser mampu mengubah irama binaural sebagai pengganti narkotika,” kata Harvey.
Menurut dia, beberapa irama i-Doser yang ia dengarkan kebanyakan hanyalah program irama binaural standard. Misalnya irama bertajuk ‘Cocaine’ yang terdengar biasa saja dan cenderung hanya membuang-buang waktu. Sedangkan irama ‘Marijuana’ lebih menarik dari ‘Cocaine’, yang sempat membuat Harvey sedikit pusing.
“Saya merekomendasikan i-Doser untuk mereka yang ingin tidur nyenyak, khususnya tidur di siang hari, tetapi ini saya pastikan tidak akan sampai membuat anak-anak kecanduan,” kata Harvey.
BNN dan Kominfo akan blokir i-Doser?
Badan Narkotika Nasional (BNN) belum bisa mengategorikan i-Doser sebagai candu digital. Bahkan, mereka melakukan penelitian untuk mencari tahu lebih lanjut apakah ada kemungkinan i-Doser menimbulkan efek buruk pada kesehatan, sampai berfungsi membuat seseorang kecanduan.
"Untuk sementara, (kita) melihat itu belum (kategori) narkotik. Itu hanya pengaruh sugesti, belum masuk kategori narkoba," ujar Kepala Bagian Humas BNN, Slamet Pribadi.
Dia menjelaskan, Kamis pekan ini, BNN berencana mengumumkan dan menegaskan 'nasib" i-Doser itu. Apakah termasuk jenis narkoba, atau bukan. Hal yang sama juga dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Melalui Menkominfo Rudiantara, disebutkan akan dilakukan rapat panel untuk mempertimbangkan pemblokiran terhadap aplikasi dan situs i-Doser, jika terbukti memiliki kemampuan layakanya narkoba.
Namun, untuk membuat keputusan blokir tersebut, selain rapat panel, Menkominfo akan terlebih dahulu meneliti aplikasi tersebut dengan melibatkan psikolog.
"Berbeda dengan narkoba secara fisik, orang yang menggunakan aplikasi i-Doser itu hanya seakan-akan merasakan efek. Itu mungkin ada teorinya untuk menghipnotis atau apa. Teman-teman sedang cek. Karena itu, kita juga harus konsultasi dengan psikolog, karena ini kan jatuhnya seperti masalah memberikan sugesti," ujar Rudiantara di Balai Kota DKI.
Bila hasil kerja tim Kemenkominfo mampu membuktikan aplikasi tersebut berbahaya, Rudiantara tidak segan melakukan pemblokiran aplikasi dengan cepat. Apalagi, bila ada tekanan dari masyarakat yang menganggap aplikasi memang membahayakan. Evaluasi pun telah dilakukan hari ini oleh tim panel blokir situs yang telah dibentuk Menkominfo.
"Bila nanti malam sudah ada hasilnya, kita akan keluarkan keputusan bila harus diblok ya diblok, bila ternyata tidak, ya tidak. Seperti itu," ujar Rudiantara. (asp)