Tiada Ampun bagi Kampus Bandel
Rabu, 7 Oktober 2015 - 00:05 WIB
Sumber :
- http://www.gomuda.com
VIVA.co.id - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menonaktifkan 243 perguruan tinggi yang dianggap bermasalah. Kampus-kampus itu berada di sejumlah provinsi se-Indonesia. Namun tak semua perguruan tinggi yang dinonaktifkan itu karena kedapatan berpraktik jual-beli ijazah atau menerbitkan ijazah secara ilegal.
Pelanggaran yang mereka lakukan beragam: pertama, tidak melaporkan data perguruan tinggi selama empat semester berturut-turut; kedua, rasio atau nisbah dosen dengan mahasiswa tidak seimbang; ketiga, melaksanakan pendidikan di luar kampus utama tanpa izin; dan keempat, terjadi konflik, yayasan tidak aktif, berganti yayasan tapi tak melaporkan dan pindah kampus namun tidak melaporkan.
Kampus-kampus itu diberi kesempatan untuk memperbaiki atau membenahi sistem pendidikan mereka agar sesuai peraturan dan prosedur. Kementerian menerapkan sanksi bervariasi atas pelanggaran-pelanggaran itu sepanjang masa perbaikan atau pembenahan.
Sanksinya, antara lain, beberapa layanan dihentikan, yakni tidak dilayani pengusulan akreditasi kepada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, tidak dilayani penambahan program studi baru, tidak dilayani sertifikasi dosen, penghentian pemberian bantuan hibah dan beasiswa.
Khusus untuk pelanggaran terjadi konflik internal yayasan atau perguruan tinggi, sanksinya ditambah. Perguruan tinggi itu tidak boleh menerima mahasiswa baru dan tidak boleh mewisuda lulusannya.
Sanksi-sanksi itu tidak mengganggu kegiatan perkuliahan. Artinya, mahasiswa-mahasiswa pada perguruan tinggi yang dinonaktifkan sementara waktu, tetap dapat kuliah sebagaimana mestinya. Namun otoritas kampus mereka berkewajiban melakukan perbaikan atau pembenahan sesuai peraturan.
Status nonaktif kepada perguruan tinggi dicabut manakala telah melakukan perbaikan atau pembenahan. Sebaliknya, jika perguruan tinggi itu membandel atau tak mematuhi perintah Kementerian, izin kegiatan pendidikan tingginya dicabut.
“Kalau dia (perguruan tinggi) dinonaktifkan dan dia tetap bandel, suatu saat izinnya dicabut,” kata Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek Dikti, Patdono Suwignjo, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2015.
Tak dicabut
Patdono mengoreksi kesalahpahaman sebagian kalangan yang menganggap kampus-kampus yang dinonaktikan itu berarti dibekukan atau seluruh aktivitas perkuliahan dihentikan secara permanen. Status nonaktif dipulihkan kalau perguruan tinggi yang dimaksud sudah memperbaiki.
Sebanyak empat perguruan tinggi dilaporkan telah melakukan perbaikan sehingga statusnya kembali aktif. Jumlah total perguruan tinggi yang dinonaktifkan pun berkurang dari 243 menjadi 239 kampus.
Menurut Patdono, penonaktifan kampus-kampus bermasalah itu sesungguhnya bagian dari penertiban dan pembinaan sejak tahun 2014. Kala itu, ada 576 perguruan tinggi yang dinonaktifkan dan jumlahnya terus berkurang setelah kampus-kampus itu memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka.
Pada 16 September 2015, dirilis lagi kampus-kampus yang bermasalah, hampir serupa dengan tahun sebelumnya. Jumlahnya mencapai 243 kampus, termasuk perguruan tinggi yang dilaporkan atau ditengarai berpraktik jual-beli ijazah maupun menerbitkan ijazah secara ilegal.
Jumlah itu dapat berkurang atau bertambah lagi manakala ada pelaporan dari masyarakat atau memang ditemukan pelanggaran, umpamanya, tidak melaporkan data perguruan tinggi selama empat semester berturut-turut, atau rasio atau nisbah dosen dengan mahasiswa tidak seimbang, dan lain-lain. Data itu dapat berubah juga, misalnya, dilaporkan ada perguruan tinggi berganti yayasan tapi tak melaporkan atau pindah kampus namun tidak melaporkan.
“Itu hanya sanksi sementara agar PTS (perguruan tinggi swasta) memperbaiki sesuai dengan aturan. Kalau pelanggaran diperbaiki, maka diaktifkan kembali,” ujar Patdono.
Patdono juga membetulkan pandangan sebagai kalangan masyarakat, termasuk pers, yang menggebyah-uyah bahwa semua perguruan tinggi yang dinonaktifkan itu adalah kampus abal-abal alias ilegal. Banyak di antara mereka yang sesungguhnya legal namun terkendala teknis sehingga prosedur-prosedur tertentu terabaikan.
Dia menyebut, misal, sebuah perguruan tinggi yang legal namun tidak mempunyai staf atau sistem yang dapat melaporkan data mereka ke Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT). Akibatnya, kewajiban melapor kampus itu terabaikan sehingga sistem PDPT menganggapnya sebagai sebuah pelanggaran.
Namun, Patdono menambahkan, tak sedikit pula perguruan tinggi yang memang sengaja tidak melapor meski memiliki petugas atau sistem yang memadai.
Baca Juga :
Kampus Dinonaktifkan, GICI: Ini Seperti Teror
“Karena dia (perguruan tinggi) ingin wisuda dalam jumlah banyak, lebih banyak dari daftar mahasiswa yang didaftarkan di PDPT. Jadi kalau kami lakukan pemeriksaan di lapangan, data mahasiswanya 50 (orang), tapi waktu wisuda bisa 400 orang,” kata Patdono.
Faktor lain yang dapat mengakibatkan sebuah perguruan tinggi dinonaktifkan adalah pengajar yang tak memiliki nomor induk. Ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi dosen, di antaranya, memiliki kualifikasi dosen dan mengajar minimal satu semester dalam satu tahun.
Kementerian menyarankan kampus-kampus yang dinonaktifkan gara-gara pengajarnya tak memiliki nomor induk agar segera melapor. Tentu dengan memenuhi segala persyaratan bagi penerbitan nomor induk pengajar. Itu untuk memenuhi salah satu persyaratan agar kampusnya dicabut dari status nonaktif.
Kasus lain yang ditemukan adalah konflik internal pada sebuah yayasan atau perguruan tinggi sehingga ada dua rektor. Kepemimpinan ganda itu memengaruhi rektor mana yang sah dan berhak menandatangani ijazah lulusannya.
Kalau ijazah wisudawan diteken rektor yang tidak sah, ijazah itu tentu tidak diakui. Maka perguruan tinggi itu harus dinonaktifkan sementara waktu sampai sengkete selesai dan satu ada rektor yang sah.
Salah satu akibat jika sebuah perguruan tinggi dinonaktifkan dan sampai batas waktu tertentu belum dipulihkan adalah status ijazah para lulusannya. Menurut Patdono, ijazah mereka dinyatakan tidak sah. Konsekuensinya juga ialah lulusan yang hendak melamar pegawai negeri sipil tak dapat diproses. "BKN (Badan Kepewagaian Negara) tidak dapat menerima, termasuk nanti saat kenaikan pangkat," katanya.
Kementerian menyadari sepenuhnya konsekuensi itu dapat merugikan mahasiswa, padahal mereka tak bersalah. Kementerian pada dasarnya bermaksud menertibkan dan membina perguruan tinggi di Indonesia sehingga memang perlu ada tindakan tegas yang melanggar pun atau hanya lalai menjalankan prosedur.
Kementerian, kata Patdono, akan membantu mahasiswa mencarikan kampus pengganti. "Dikti akan membantu mengalihkan dan membantu mencarikan mahasiswa di perguruan tinggi terdekat," ujarnya.
Jika ada wisudawan yang menerima ijazah sebelum kampusnya dinonaktifkan, tanda lulus itu tetap sah. Tentu setelah dipastikan kampus itu legal alias memiliki izin menyelenggarakan pendidikan tinggi. "Kalau tidak kena sanksi enggak apa-apa, status sah, apabila perguruan tinggi itu punya izin dan memenuhi kriteria.”
Diperketat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyambut baik penonaktifan perguruan tinggi yang bermasalah itu. Tujuan utamanya memang sebagai upaya menertibkan dan memperketat penyelenggaraan pendidikan tinggi. Sistem yang terlalu longgar atau minim pengawasan tentu menjadi potensi penyimpangan, misalnya, kasus penerbitan ijazah palsu atau perkuliahan yang tak sesuai prosedur.
Namun, Anggota Komisi X DPR, Popong Otje Djundjunan alias Ceu Popong, mengingatkan Kemenristek Dikti agar memperhatikan nasib mahasiswa yang kampusnya dinonaktifkan atau jika kelak ada yang dicabut izinnya. Kementerian harus pula meminta saran para ahli pendidikan untuk mencari solusi terbaik.
“Kalau kampus dibekukan, otomatis kegiatan perkuliahan terganggu. Nah, ini PR (pekerjaan rumah) bagi petinggi-petinggi kampus, bagaimana mahasiswa tetap bisa kuliah dan tidak drop out (putus kuliah),” ujarnya.
Ia berharap penonaktifan perguruan menjadi pelajaran bagi dunia pendidikan bahwa untuk menciptakan perguruan tinggi yang berkualitas sesungguhnya tidaklah mudah. “Jika seleksi pendirian kampus lebih ketat, dipastikan akan tercipta kampus dan lulusan yang berkualitas,” katanya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Salah satu akibat jika sebuah perguruan tinggi dinonaktifkan dan sampai batas waktu tertentu belum dipulihkan adalah status ijazah para lulusannya. Menurut Patdono, ijazah mereka dinyatakan tidak sah. Konsekuensinya juga ialah lulusan yang hendak melamar pegawai negeri sipil tak dapat diproses. "BKN (Badan Kepewagaian Negara) tidak dapat menerima, termasuk nanti saat kenaikan pangkat," katanya.