50 Tahun 'Jalan Darah' Pancasila
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
VIVA.co.id - Tepat 1 Oktober 2015, setengah abad tragedi 1965 menjadi catatan sejarah di Indonesia. Selama puluhan tahun ini juga, tanggal 1 Oktober dikukuhkan menjadi hari kesaktian Pancasila.
Seiring berjalan waktu, sejak runtuhnya orde baru, tanggal 'sakti' ini mulai menjadi perdebatan. Simpang siur informasi dan data tentang sejarah sesungguhnya tragedi ini menjadi teka-teki.
Apakah ini rekayasa sejarah, atau memang sejarah asli, belum tersibak dengan nyata. Maklum, puluhan tahun rakyat Indonesia tak diperkenankan menelisik lebih jauh apa sesungguhnya musabab 1 Oktober 1965 menjadi 'sakti'.
Cerita Lubang Buaya
Penetapan hari Kesaktian Pancasila oleh pemerintahan orde baru di bawah Presiden Soeharto, tak lepas dari tragedi berdarah yang kini dikenal publik sebagai .
Konon, kala itu muncul rencana kudeta yang hendak dilakukan oleh orang-orang berbasis PKI. Singkatnya, mereka hendak mengambil alih pemerintahan Presiden Sukarno dan melimpahkannya ke Dewan Jenderal.
Salah satu caranya adalah dengan menangkap petinggi Tentara Nasional Indonesia. Sebab itu, tepat pada Kamis malam, 30 September 1965, muncullah aksi penculikan dan pembunuhan terhadap para petinggi TNI.
Letjend Ahmad Yani, Mayjend MT Haryono, Brigjend DI Pandjaitan, Mayjend S. Parman, Brigjend Sutoyo, Kolonel Katamso, Letkol Sugiyono, Lettu PA Tendean, Brigadir Pol KS Tubun, dan termasuk Ade Irma Nasution, putri dari Jenderal AH Nasution menjadi korban.
Seluruh jenderal yang ditangkap hidup, disiksa dan kemudian dibunuh sebelum dikubur dalam satu liang sumur yang kini dikenal dengan sebutan Lubang Buaya.
Kabar pembantaian dan pembunuhan para jenderal itu pun menuai reaksi. Selang beberapa jam kemudian, atau tepatnya 1 Oktober 1965, negara lewat kekuatan militer yang dipimpin oleh Mayjend Soeharto kala itu, langsung menggelar .
Sejak itu, di tengah gentingnya suasana politik negara, militer lewat tangan Soeharto akhirnya bisa memutar balik kondisi. Pancasila yang dimanifestasikan dalam bentuk rongrongan PKI, akhirnya bisa kembali diselamatkan.
Karena itu juga akhirnya kini, setiap tanggal 1 Oktober, usai dikukuhkan sebagai hari Kesaktian Pancasila, seluruh pelosok negeri memperingatinya dengan memajang bendera setengah tiang di rumahnya.
Tentunya, bagi yang masih mengingat detail. Selama hampir 15 tahun, tayangan film 'mengerikan' tentang bagaimana dan pengikutnya menjadi konsumsi wajib warga Negara Indonesia.
Lalu, di tingkatan nasional, secara rutin juga digelar upacara tabur bunga di makam pahlawan yang biasanya dihadiri Presiden di Lubang Buaya.
Pembantaian 'Senyap'
Mengutip dalam sebuah hasil penelitian Cornell Paper, atau A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, yang ditulis oleh Benedict Anderson, belakangan muncul kisah lain di balik hari Kesaktian Pancasila tersebut.
Sejarah bak berbalik, sebab Bennedict membuat sebuah kesimpulan bahwa justru memang sudah diskenariokan, lantaran adanya ketegangan antara petinggi TNI.
Mayjend Soeharto yang sebelumnya dianggap penyelamat 'Pancasila' lewat penumpasan PKI pada 1 Oktober 1965, justru terkesan menjadi figur yang aji mumpung.
Penumpasan PKI menjadi tak lebih sebagai upaya rezim baru yang hendak berkuasa menggantikan Presiden Sukarno yang selama ini dikenal dekat dengan PKI. "Kudeta 1 Oktober 1965 bukanlah pekerjaan PKI, atau dari Soekarno sendiri. PKI itu terjerat sebelum tahu apa yang terjadi," tulis Bennedict.
Riset Bennedict ini pun diperkuat dengan hasil otopsi para jenderal yang menjadi korban pembantaian. Di mana, dari pemeriksaan lima dokter ahli, justru tak ditemukan adanya penyiksaan seperti yang diembuskan selama ini, seperti cungkilan mata, silet, pemotongan alat kelamin, dan lain sebagainya.
Kembali ke 1 Oktober 1965. Sejak militer mendengungkan penumpasan PKI. Secara simultan dan beruntun, di setiap daerah pun serangakaian pembunuhan massal pun bermunculan.
Vonis partai terlarang untuk PKI disambut publik dengan 'izin pembantaian'. Warga sipil pun diarahkan menjadi pembantu militer untuk melakukan perburuan para anggota dan simpatisan PKI di pelosok mana pun.
Dengan berbondong-bondong, pembantaian demi pembantaian pun muncul di daerah-daerah. Tak ada satu pun yang ditangkap militer. Pengadilan jalanan seolah melegalkan aksi kekerasan warga yang memenggal, memperkosa, dan membunuh para nggota PKI.
Tak jelas, berapa jumlah persis orang Indonesia yang kemudian dibantai dan dihilangkan saat itu. Beberapa sumber menyebut mungkin lebih dari tiga juta orang dibunuh paksa. Hingga kini, tak diketahui di mana mayat-mayat itu.
Tak cuma itu, dilaporkan juga lebih dari 600 ribu orang akhirnya dimasukkan dalam penjara. Tanpa surat penangkapan dan persidangan mereka dibuang dan dibui tanpa jelas kapan dibebaskan.
"PKI adalah salah satu partai terbesar di dunia pada tahun 1960, dengan sekitar tiga juta anggota. Jika jutaan manusia ini benar-benar bersenjata dan siap untuk memberontak, seperti yang dipropagandakan oleh Soeharto, tidakkah mereka akan melawan pembunuhan besar-besaran anggota mereka?"
"Namun, cuci-otak yang disebarkan oleh rezim Orde Baru telah menghambat orang untuk berpikir jernih tentang masalah ini," tulis Soe Tjen Marching, koordinator International Peoples Tribunal 65 seperti dikutip dalam 1965tribunal.org.
Rekonsiliasi Nasional
Baru-baru ini, pemerintah mewacanakan untuk melakukan proses rekonsiliasi seluruh pelanggaran Hak Asasi Manusia yang pernah terjadi di Indonesia pada masa silam.
Minimnya bukti menjadi dasar utama bahwa proses non yudisial menjadi alternatif solusi. "Kami ingin agar semua selesai, win-win solution. Kasus ini, ada yang sudah 16 tahun lalu, atau 25 tahun lalu," ujar Jaksa Agung HM Prasetyo, Senin 6 Juli 2015.
Komitmen ini pun dipertegas oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan pada 14 Agustus 2015. Jokowi menyebut bahwa perlu ada rekonsiliasi nasional untuk pelanggaran HAM. Salah satunya adalah terhadap korban peristiwa G30S PKI.
Sebab itu, pemerintah pun akhirnya membentuk Komite Rekonsiliasi pada Mei 2015. Komite inilah yang kini ditugasi menuntaskan kasus-kasus tragedi kemanusiaan di Indonesia.
Komunisme Gaya Baru
Kini, di 50 tahun peringatan tragedi 1965, beberapa wilayah merespons momentum ini dengan mengingatkan pemerintah perihal ancaman masuknya komunisme gaya baru di pemerintahan.
Apa pun itu, sejarah masa lalu patut dibuka secara terang benderang. Komunis apa pun bentuknya mungkin tak layak berada di tengah rakyat Indonesia. Namun, kisah kelam dari 'jalan darah' Pancasila seharusnya memang diluruskan. (asp)