Apa Kabar Eksekusi Penyelewengan Dana Supersemar
- Buku 'Pak Harto, The Untold Stories'
VIVA.co.id - Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kejaksaan Agung dalam perkara penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat Yayasan Supersemar pada Rabu, 8 Juli 2015. Dalam putusan bernomor 140 PK/PDT/2015 itu disebutkan bahwa Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi Rp4,389 triliun kepada negara.
MA dalam konferensi pers pada Selasa, 11 Agustus 2015, akan segera mengirimkan salinan putusan itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan dikirimkannya salinan putusan tersebut, PN Jakarta Selatan selaku pengadilan tingkat pertama yang mengadili perkara tersebut bisa segera mengeksekusi hasil putusan.
"Pihak yang kalah (mantan Presiden Soeharto, ahli waris, dan Yayasan Beasiswa Supersemar) kemudian akan diberi kesempatan untuk secara sukarela memenuhi isi putusan," kata Juru bicara MA, Suhadi.
Mekanismenya, Ketua PN Jaksel akan mengeluarkan surat eksekusi, atau dengan kata lain memaksa pihak yang kalah dalam perkara ini untuk membayar ganti rugi kepada Pemerintah Indonesia sebesar 135 juta dollar AS dan Rp139,2 miliar.
Jumlah tersebut bila dirupiahkan dengan kurs 1 dolar AS sebesar Rp13.500 (sekarang dolar menembus angka Rp14.660), maka uang yang dibayarkan mencapai Rp4,25 triliun. Ditambah Rp139,2 miliar atau seluruhnya mencapai Rp4,389 triliun.
Suhadi menegaskan putusan yang dikeluarkan MA telah bersifat berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Pihak tergugat tak bisa lagi melakukan upaya hukum ke lembaga pengadilan lainnya untuk mengoreksi putusan MA.
"Upaya PK, baik pidana maupun perdata, menurut MA hanya bisa dilakukan satu kali," ujar Suhadi.
Desak Eksekusi
Beberapa waktu setelah keluarnya putusan PK dari MA tersebut, Kejaksaan Agung segera memberikan respons. Mereka terus mendesak agar PN Jakarta Selatan segera melakukan eksekusi.
"Kami akan tanyakan pada PN Jaksel dan minta eksekusi segera dilaksanakan," kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo saat ditemui di Gedung Kejaksaan Agung, Jumat, 18 September 2015.
Prasetyo memang berjanji tidak akan bersikap pasif terhadap hasil putusan MA terkait denda kepada Yayasan Supersemar tersebut.
"Kami akan proaktif termasuk nanti mendesak Pengadilan untuk segera menghubungi pihak-pihak tergugat, karena pengadilanlah yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan eksekusi putusannya," ujar dia.
Prasetyo menjelaskan bahwa nantinya PN Jaksel yang memiliki kewenangan untuk memanggil Yayasan Supersemar dan menanyakan terkait kesanggupan mereka untuk membayar secara sukarela atas denda tersebut.
"Nah, kami berharap sukarela biar cepat selesai. Kalau tidak nanti ada tindak lanjut dari PN lewat juru sitanya," ujar Prasetyo.
Menurut Prasetyo, instansinya telah melakukan pemetaan (maping) terhadap sebagian aset Yayasan Supersemar. Namun, Prasetyo enggan menjelaskan terkait aset-aset apa saja yang telah diketahui oleh Kejaksaan Agung.
Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya resmi menerima salinan putusan Mahkamah Agung terkait denda kepada Yayasan Supersemar. Humas PN Jaksel, Made Sutrisna, menyatakan, berkas salinan tersebut sudah masuk ke bagian umum PN Jaksel sejak Jumat, 11 September 2015 lalu.
"Ya berkas sudah sampai di PN Jakarta Selatan. Ternyata sudah sejak Jumat, tapi masih di bagian umum. Baru ada disposisi melalui kartu kendali kemarin," ujar Made Sutrisna saat dihubungi, Kamis, 17 September 2015.
Made mengatakan, setelah menerima salinan putusan tersebut, nantinya pengadilan akan memanggil perwakilan Kejaksaan Agung dan Yayasan Supersemar untuk berkordinasi melaksanakan eksekusi tersebut.
Yayasan Supersemar akan diberi waktu untuk membayar denda tersebut dalam waktu delapan hari. Jika dalam rentang waktu tersebut denda tidak dibayarkan, maka PN Jaksel dapat melakukan penyitaan aset.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo juga mengaku telah mendapatkan informasi jika salinan putusan Mahkamah Agung terkait denda kepada Yayasan Supersemar telah diterima PN Jakarta Selatan pada Rabu, 16 September 2015. Selanjutnya, Kejaksaan Agung akan berkordinasi dengan PN Jaksel agar segera mengeksekusi putusan MA tersebut.
"Ya, saya sudah terima laporan itu. Tahap berikutnya kita akan bikin surat ke PN Selatan, permintaan supaya segera dilakukan tindak lanjutnya," ujar Prasetyo.
Prasetyo menjelaskan lagi bahwa nantinya saat pelaksanaan eksekusi tersebut, Yayasan Supersemar akan dipanggil oleh PN Jakarta Selatan dan ditanyakan apakah akan secara sukarela membayar denda tersebut.
"Tergugat kan nanti ditanya mau sukarela atau tidak, kalau tidak ada langkah lain yang akan dilakukan. Mereka akan menunjuk juru sita untuk melakukan penyitaan aset," jelasnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Amir Yanto, juga mengkonfirmasi bahwa salinan putusan MA tersebut telah diterima oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) pada Selasa sore 15 September 2015 lalu.
"Untuk kasus Yayasan Supersemar, kemarin sore pihak Jamdatun sudah menerima salinan putusan dari panitera PN Jaksel. Sekarang Jamdatun menunggu panggilan dari panitera PN Jaksel untuk membahas terkait pelaksanaan eksekusi putusan," ujar Amir.
Nasib Eksekusi
Belum lama ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan akan mengeksekusi aset Yayasan Supersemar. Mereka telah mengirim surat pemberitahuan putusan PK perkara Yayasan Supersemar kepada Kejagung dan Pengurus Yayasan Supersemar pada Rabu, 23 September lalu.
"Surat pemberitahuan sudah dikirim kepada Kejaksaan Agung dan Pengurus Yayasan Supersemar.PN Jakarta Selatan menunggu tindak lanjut berupa permohonan eksekusi dari Kejaksaan Agung," kata Humas PN Jaksel, Made Sutrisna, melalui pesan singkat, Senin, 28 September 2015.
Menurut Made, PN Jaksel akan mempertemukan keduanya setelah menerima tindak lanjut dari Kejagung.
Menanggapi kabar tersebut, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo akan segera menindaklanjuti Surat Pemberitahuan Putusan PK perkara Yayasan Supersemar dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat ini, Kejagung sedang menyelesaikan masalah administrasi untuk melangkah menuju ke pelaksanaan putusan itu.
"Kita kan Jaksa Pengacara Negara, untuk bisa melangkah butuh legal standing. Kita lagi persiapkan. Nanti kalau sudah jelas (legal standingnya) baru kita akan melangkah ke pengadilan," ujar Prasetyo, Senin, 28 September 2015.
Prasetyo juga berharap agar nantinya PN Selatan segera memfasilitasi pertemuan antara Kejaksaan Agung dan pihak Pengurus Yayasan Supersemar untuk membicarakan terkait eksekusi dari aset Yayasan tersebut.
"Iya dong kita sebagai pihak yang terlibat dalam perkara sebagai Jaksa Pengacara Negara akan minta segera dilaksanakan (pertemuan dengan pihak Yayasan)," ungkapnya.
Namun, saat dikonfirmasi, Senin, 28 September 2015, Humas PN Jakarta Selatan, Made Sutrisna, menyatakan instansinya belum akan melakukan eksekusi. Sebab, baru hari Rabu pekan lalu mereka mengirimkan surat pemberitahuan putusan.
Sekarang ini, PN Jaksel masih menunggu apakah setelah menerima salinan putusan, akan memanggil kedua belah pihak yakni Kejaksaan Agung (penggugat) dan Yayasan Supersemar selaku tergugat untuk ditemukan kembali dalam sidang teguran.
"Sejauh ini kita belum tahu kendalanya, kita hanya pelaksana saja, bahan-bahan dari mereka semua (Kejagung) kita hanya menunggu," kata Made kepada VIVA.co.id.
Menurutnya, setelah pengajuan permohonan eksekusi, dan diikuti oleh persidangan lagi, akan diberikan kesempatan kepada termohon untuk melaksanakan isi putusan. Setelah delapan hari lewat, baru nanti pengadilan akan melakukan eksekusi atas dasar informasi dari pemohon dalam hal ini Kejagung.
"Apa saja yang dieksekusi itu Kejagung yang menginventarisirnya, atas dasar itu baru nanti kita lakukan eksekusi," kata Made.
Sementara itu, pengamat hukum pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bonaparta, berpendapat bahwa akan sulit bagi pengadilan untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung terkait Yayasan Supersemar. Sebab, sebelumnya tidak ada penyitaan harta yang dilakukan.
"Kalau ada penyitaan, tinggal dieksekusi. Kalo tidak ada? Susah," kata Ganjar ketika dihubungi, Rabu, 12 Agustus 2015.
Menurut Ganjar, pengadilan tidak bisa sembarangan dalam merampas harta benda tergugat, sebagai pengganti denda yang harus dibayarkan keluarga Cendana.
"Gimana cara merampasnya? Yang mana yang harus dirampas? Kan enggak bisa, enggak boleh sembarangan," tambahnya.
Reaksi Cendana
Keluarga Cendana sebagai ahli waris dari mantan Presiden Soeharto, pemilik Yayasan Supersemar, tak diam saja atas putusan MK yang mengabulkan permohonan Kejagung. Anak bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, melancarkan kritik.
Tommy mengatakan bahwa beasiswa Supersemar dikeluarkan untuk membiayai pendidikan putra putri di Tanah Air dan bukan untuk membiayai negara lain apalagi Komunis. Dia pun menyinggung-nyinggung soal Soekarno.
"Ternyata tuntut warisan, hemm, bagaimana dengan warisan orde lama tentang paham yang salah..? Tentang tanda tangan kontrak dengan Pemerintah AS?.. Keluarga Kami tidak pernah mengungkit masalah rezim sebelumnya, ajaibnya justru orang rezim sebelumnya yang berusaha menghembuskan konflik," kata Tommy lewat akun Facebooknya.
Menurut Tommy, saat berkuasa selama 32 tahun, Soeharto tidak pernah mendaulat sebagai Presiden seumur hidup. Tommy justru mengungkit Presiden Soekarno yang pernah ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup.
"HM Soeharto berkuasa kurang lebih selama 32 tahun, tapi Almarhum tidak pernah mendaulat dirinya Sebagai Presiden seumur Hidup, Bagaimana dengan sebelumnya?" kata Tommy.
Tommy mempertanyakan mengenai demokrasi yang selama ini disuarakan.
"Lalu, demokrasi macam apa yang selama ini didengungkan, apa demokrasi yang selalu di sesuaikan dengan kepentingan asing atau dengan kepentingan ketenaran diri sendiri?" katanya lagi.
Lalu putri Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, mengaku heran, kenapa dana beasiswa Supersemar yang digunakan tersebut dianggap merugikan negara. Padahal, dana-dana itu sudah diberikan ke banyak siswa berprestasi tapi tidak mampu. Termasuk, disalurkan ke berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Titik mengatakan, para penerima beasiswa Supersemar yang tergabung dalam Keluarga Besar Penerima Beasiswa Supersemar (KBPBS), akan memberi kesaksian manfaatnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR ini mengatakan, banyak penerima beasiswa ini yang kini menjadi pejabat negara, termasuk Mensesneg Pratikno.
"Mereka (KBPBS) akan beri kesaksian, bahwa betapa manfaatnya uang yang diberikan oleh Yayasan Supersemar itu. Banyak yang jadi menteri juga ada, Mensesneg sekarang penerima beasiswa Supersemar," kata Titiek, di Gedung DPR, Jumat, 14 Agustus 2015.
Banyak pejabat, yang juga menjadi penerima beasiswa ini. Namun Titik lupa siapa saja nama pejabat itu. Sementara Mensesneg Pratikno diyakini menerima karena sebelumnya merupakan Rektor Universitas Gadjah Mada.
"Pokoknya rektor-rektor, banyaklah menteri-menteri saya nggak hafal. Kemudian gubernur, walikota, rata-rata penerima beasiswa Supersemar," ujar Titiek.
Titiek mengklaim, keluarganya tidak mengambil atau mengkorupsi dana beasiswa Supersemar itu. Bahkan, Titiek mengaku sudah menyalurkan beasiswa itu ke lebih dari dua juta siswa dan mahasiswa yang berprestasi tapi tidak mampu. Sehingga, uang tersebut kini sudah tidak ada lagi.
"Yayasan harus bayar uang segitu, ini uang yayasan sudah habis, duitnya bangkrut," katanya.
Dia menjelaskan, program beasiswa dari Yayasan Supersemar itu banyak manfaatnya. Terutama bagi keluarga tidak mampu tapi memiliki prestasi.
"Beasiswa Supersemar diberikan pemuda pemudi Indonesia yang cerdas, tapi dari keluarga kurang mampu. Yang nerima itu orang-orang cerdas. 60 persen yang ada di Indonesia itu penerima Supersemar," ujar Titiek.
Titiek mengaku heran, kenapa Mahkamah Agung memutuskan harus membayar dengan jumlah fantastis, hingga triliunan rupiah ini.
"Ya aneh. Orang nggak ada cash-nya. Ini tuntutan tahun 2008. 2008 keluar peraturan pemerintah bahwa punya yayasan itu, yang udah ini nggak usah diusut-usut lagi. Terus ini naik banding, mau usut apa lagi," kata Titiek.
Kasus gugatan negara terhadap Yayasan Supersemar ini masuk pada ranah perdata. Oleh karena itu, instansi yang berwenang melakukan eksekusi adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Prosesnya, pengadilan akan memanggil Yayasan Supersemar dan jaksa lalu menanyakan apakah bisa mengembalikan atau membayar aset triliunan rupiah tersebut.
Jika tidak, maka pengadilan akan membuat penetapan eksekusi aset-aset dengan menunjuk juru sita yakni panitera pengadilan. Posisi Kejaksaan Agung di sini adalah memastikan aset-aset Supersemar yang akan dieksekusi tersebut dan bukan sebagai eksekutor.
Kronologis Kasus
Kasus berawal saat Kejaksaan Agung mengendus tindakan Yayasan Supersemar memberikan pinjaman atau penyertaan modal untuk mendapatkan keuntungan. Kejaksaan menilai tindakan Yayasan merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Meski anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yayasan memperbolehkan hal itu, pengalihan dana Yayasan ke pihak lain tersebut dinilai telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1976. Peraturan itu mengatur agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyisihkan lima persen dari laba bersih untuk Yayasan Supersemar.
Saat mengajukan gugatan pertama, Juli 2007 silam, Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara Dachmer Munthe menyatakan dana dari BUMN yang dikumpulkan yayasan tersebut seharusnya ditujukan untuk membiayai pendidikan pelajar dan mahasiswa kurang mampu.
Namun Kejaksaan menemukan hanya 2,5 persen laba bersih BUMN masuk ke yayasan, sedangkan 2,5 persen lainnya masuk ke pihak lain. Penyelewengan dana yayasan di antaranya mengalir ke beberapa perusahaan antara lain PT Bank Duta dan PT Sempati Air. Rincian aliran dana yang dipermasalahkan dalam gugatan perdata itu adalah untuk PT Bank Duta, dana yayasan mengalir sebesar US$ 125 ribu pada 22 September 1990. Kemudian untuk PT Sempati Air sebesar Rp 13,1 miliar pada 23 September 1989 hingga 17 November 1997.
Berikut kronologinya:
9 Juli 2007
Kejaksaan Agung mendaftarkan gugatan terhadap Soeharto, Pembina Yayasan Supersemar dan Yayasan Supersemar sebagai badan hukum ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pak Harto dan Yayasan dituduh menyalahgunakan uang Yayasan senilai US$ 420 juta dan Rp 185 miliar ditambah ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.
10 September 2007
Proses mediasi antara kedua belah pihak dinyatakan gagal.
24 September 2007
Sidang perdana perkara Supersemar di PN Jaksel. Jaksa Pengacara Negara resmi menggugat Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II) sebesar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar ditambah ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.
8 Januari 2008
Dua pengurus Yayasan Supersemar memberikan kesaksian di PN Jaksel. Mereka menyatakan tak rela negara menggugat yayasan.
27 Januari 2008
Soeharto wafat.
26 Februari 2008
Lima anak Soeharto, kecuali Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) resmi menggantikan ayahnya sebagai tergugat perkara Supersemar.
27 Maret 2008
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Yayasan Supersemar milik mantan presiden Soeharto bersalah karena menyalahgunakan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbahai perusahaan. Hakim menetapkan Yayasan harus membayar US$ 105 juta dan Rp 46 miliar kepada negara. Pengacara Yayasan Supersemar, Juan Felix Tampubolon langsung menyatakan akan mengajukan banding.
2 April 2008
Yayasan mengajukan banding
17 September 2008
Berkas banding diterima panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
19 Februari 2009
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan bahwa Yayasan Supersemar harus membayar kerugian sebesar US$ 105.000.727,66 dan Rp 46.479.512.226,187. Yayasan milik mendiang mantan Presiden Soeharto itu dinilai menyalahgunakan dana dengan cara memberi pinjaman dan menyertakan modal ke berbagai perusahaan.
28 Oktober 2010
Majelis Kasasi MA memerintahkan Yayasan Supersemar membayar uang denda dalam dua bentuk mata uang, yakni dollar AS dan rupiah. Namun dalam putusan ini terjadi salah ketik.
Di bagian rupiah, seharusnya Supersemar membayar 75 persen dari Rp185.918.048.904,75. Tapi, ada tiga angka yang tidak dituliskan majelis kasasi, yaitu angka '048.'
Akibatnya, nominal yang harus dibayar Yayasan Supersemar pun salah, yakni hanya Rp139.229,178. Padahal, apabila pengutipan angka benar, jumlah yang harus dibayar oleh Supersemar adalah Rp139,2 miliar.
Di bagian mata uang dollar, putusan sudah tepat. Di mana Yayasan Supersemar harus membayar 75 persen dari US$420.002.910, yaitu US$315.002.183. Sehingga total, yayasan milik keluarga cendana itu seharusnya membayar US$315.002.183 dan Rp139,2 miliar ke negara.
Agustus 2013
Kejaksaan Agung mengajukan PK ke Mahkamah Agung atas putusan kasasi.
Oktober 2014
Yayasan Supersemar juga mengajukan PK ke Mahkamah Agung atas putusan kasasi.
8 Juli 2015
MA mengabulkan PK yang diajukan Kejaksaan Agung. Putusan bernomor 140 PK/PDT/2015 itu memerintahkan Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi sekitar Rp4,389 triliun kepada negara.