Skandal Produsen Manipulasi Asap Mobil
- inmagine
VIVA.co.id - Salah satu faktor yang mampu mengubah peradaban manusia adalah hadirnya alat transportasi. Sejak pertama kali kereta kuda diciptakan, saat itu pula hidup manusia mulai berubah.
Adanya alat transportasi membuat waktu yang dibutuhkan untuk mengirim barang menjadi lebih singkat. Kendaraan yang dilengkapi dengan mesin mampu membawa manusia menuju daerah-daerah yang belum pernah dijejaki sebelumnya.
Bahkan, kendaraan seperti mobil, kereta api dan pesawat terbang sangat dibutuhkan oleh mereka yang hendak menghabiskan liburan. Jadi tidak salah bila dikatakan bahwa alat transportasi sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.
Namun seperti hal lain yang ada di dunia, kendaraan juga memiliki dampak buruk bagi manusia, terutama bila dikaitkan dengan kesehatan mahluk hidup. Mayoritas kendaraan yang digunakan saat ini memakai bahan bakar bensin atau solar, yang hasil pembakarannya mengandung gas berbahaya.
Itu sebabnya di beberapa negara dibentuk badan khusus yang mengatur mengenai polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan. Setiap tahun, badan-badan ini berusaha memaksa pabrikan kendaraan untuk merancang mesin yang dapat menghasilkan sesedikit mungkin gas berbahaya.
Hal ini penting dilakukan, karena saat ini manusia masih mengandalkan alam untuk mengubah polusi udara menjadi zat yang aman. Apalagi saat ini kondisi alam makin diperparah dengan ulah manusia, sehingga tidak bisa melindungi bumi secara maksimal seperti dulu kala.
Menurut data terbaru dari Environmental Protection Agency (EPA) yang berbasis di AS, asap berbahaya yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar kendaraan menduduki peringkat ketiga dalam hal polusi udara, setelah energi dan industri.
Untuk bisa menghasilkan emisi gas buang yang rendah, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Yang pertama adalah mengurangi debit bahan bakar, sehingga asap yang dihasilkan tidak mengandung banyak gas berbahaya.
Cara kedua bisa dengan mengoptimalkan pembakaran. Salah satu penyumbang terbentuknya gas karbon yang berbahaya adalah jika pembakaran mesin tidak berlangsung sempurna. Bila campuran bahan bakar dan udara dapat dibakar seluruhnya, selain emisi yang dihasilkan lebih rendah, tenaga mesin juga sedikit lebih besar.
Sayangnya, terkadang hal tersebut tidak cukup untuk menghasilkan emisi yang masuk dalam ambang batas yang sudah ditentukan. Hal ini membuat beberapa perusahaan mencari akal, bagaimana bisa tetap lolos saat uji pemeriksaan.
Hal ini yang dilakukan oleh pabrikan mobil terbesar asal Jerman, Volkswagen (VW). Baru-baru ini mereka dilaporkan oleh EPA karena ketahuan melakukan kecurangan saat uji emisi beberapa model mobil bermesin diesel yang diproduksi.
Menurut EPA, VW dengan sengaja memasang perangkat lunak yang mampu mendeteksi apakah mobil dalam kondisi digunakan secara normal atau sedang dalam tahap pengujian. Menurut berita yang dilansir dari Jalopnik, Jumat 25 September 2015, perangkat lunak pada komputer rancangan VW mampu membaca kondisi mobil, mulai dari kecepatan, posisi setir, durasi mesin menyala, dan tekanan udara.
Bila data-data yang didapat dari sensor sesuai dengan parameter yang sudah mereka tentukan, maka komputer akan mengubah kinerja mesin menjadi rendah emisi. Hal ini diakui oleh beberapa pihak sangat cerdik dan tergolong canggih.
Akibat dari temuan tersebut, VW kini terancam penalti sebesar US$18 miliar. Beberapa mobil diesel VW, seperti Volkswagen Jetta (2009-2015), Beetle (2009-2015), Golf (2009-2015), dan Passat (2014-2015), yang telah dijual ke konsumen harus ditarik kembali, sementara yang belum laku sementara dihentikan dulu penjualannya.
Manipulasi emisi yang dilakukan VW rupanya ditanggapi serius oleh banyak pihak. Sejak kasus tersebut terkuak, saham VW anjlok lebih dari 20 persen. Jika dihitung dari awal 2015, maka penurunan saham VW mencapai kurang lebih 35 persen.
Dan yang lebih parah, merek-merek yang bernaung di bawah bendera VW Groups juga ikut merasakan imbasnya. Contohnya Audi, yang sahamnya ikut turun, meski tidak sebesar VW. Namun salah satu mobil produksi Audi, yakni Audi A3, ikut terseret dalam kasus tersebut.
Audi A3 diketahui memakai mesin diesel yang sama seperti yang digunakan pada mobil-mobil VW yang dimanipulasi angka emisinya. Selain A3, EPA kini juga berencana menguji ulang beberapa model lain yang memakai mesin diesel, di antaranya Audi Q5, Audi A7 dan Porsche Cayenne.
Temuan EPA ini juga menyulut reaksi dari beberapa negara yang memiliki badan regulasi emisi kendaraan, seperti Inggris dan India. Dilansir dari Indiatimes, badan Automotive Research Association of India (ARAI) diminta pemerintah India untuk menguji ulang semua mobil VW bermesin diesel yang dijual di negara tersebut.
Hal serupa juga akan dilakukan oleh Departemen Transportasi Inggris. Mereka akan membandingkan hasil uji emisi yang dilakukan di dalam ruangan dengan hasil uji di lapangan.
Bahkan pemerintah Inggris juga mendesak Komisi Eropa yang menangani masalah transportasi untuk melakukan uji emisi ulang pada semua mobil yang dijual di wilayah Eropa. Langkah ini dikabarkan sudah mendapat dukungan dari Prancis dan Italia.
Selain menjatuhkan nama VW, skandal emisi gas buang ini juga membuat ekonomi Jerman melemah. Diberitakan oleh Theguardian, pasar saham Jerman ditutup melemah 1,9 persen tadi malam.
Hal ini diakibatkan adanya sentimen negatif pada merek-merek otomotif asal Jerman. Saham BMW dikabarkan turun lebih dari lima persen, Daimler melemah empat persen dan pabrikan ban asal Jerman, Continental, sahamnya turun tiga persen.
Apa yang dilakukan VW ini ternyata bukanlah yang pertama terjadi sepanjang sejarah otomotif. Dilansir dari Bloomberg, sejak regulasi pembatasan emisi gas buang dibuat, setidaknya ada empat kasus penipuan yang dilakukan pabrikan otomotif terkait emisi gas buang.
Yang pertama terjadi pada 1973, dimana EPA menjatuhkan denda sebesar US$120 ribu kepada VW, karena terbukti memasang alat yang mampu memanipulasi kadar gas berbahaya yang dihasilkan dari mesin.
VW mengakui bahwa mereka memasang alat yang bekerja berdasarkan suhu, dimana saat suhu rendah, alat tersebut akan membuat mesin menghasilkan lebih banyak gas beracun.
Pada 1995, General Motors juga diharuskan membayar denda oleh EPA sebesar US$45 juta, karena terbukti memasang alat yang dapat menonaktifkan fungsi penyaring gas berbahaya pada knalpot mobil. Alat tersebut akan bekerja saat pengendara menyalakan pendingin udara.
Dua pabrikan otomotif asal Jepang, Honda dan Toyota, juga pernah diharuskan membayar denda sebesar US$267 juta dan US$7,8 juta, karena terbukti melakukan kecurangan pada pengujian emisi gas buang kendaraan.
Kasus terakhir yang melibatkan EPA terjadi tahun lalu, di mana Hyundai dan Kia diklaim telah melakukan kebohongan pada publik, yaitu dengan sengaja memberi informasi yang salah mengenai konsumsi bahan bakar kendaraan mereka yang dijual di AS.
Meski mengakui bahwa telah melakukan pelanggaran, namun bukan berarti pihak VW lepas tangan mengenai kasus tersebut. Setelah Chief Executive Officer (CEO) VW, Martin Winterkorn, mengumumkan permintaan maaf secara resmi, ia kemudian meminta kepada diler-diler yang ada di seluruh dunia untuk tetap tenang.
Martin bahkan menjamin diiler-diler tersebut akan mendapat kompensasi atas kerugian yang mereka alami, akibat tidak terjualnya unit-unit yang ada. Selain itu ia juga mengatakan VW akan bekerjasama penuh dengan pihak-pihak terkait untuk menuntaskan masalah tersebut. .
Sementara pihak VW Indonesia mengatakan, bahwa sejauh ini mereka belum mendapat keluhan dari konsumen mengenai kasus tersebut. Menurut Marketing and Public Relations Head VW Indonesia, Rully Johan, apa yang terjadi di AS tidak berdampak pada unit yang ada di Tanah Air.
“Sampai saat ini tidak ada tanggapan negatif dari konsumen. Dan uji emisi tidak berpengaruh pada performa mesin,” ujarnya.
Rully mengatakan, saat ini VW Indonesia memiliki dua model mobil bermesin diesel yang dijual kepada konsumen, yaitu Caravelle dan Touareg. Dan kedua tipe tersebut tidak masuk ke dalam daftar mobil-mobil VW yang bermasalah.
Meski demikian, pihaknya siap jika sewaktu-waktu kantor pusat memerintahkan untuk menarik kembali produk-produk yang sudah terjual, jika nantinya ditemukan adanya kasus pada unit yang hadir resmi di Indonesia.
Namun Rully menjelaskan, bahwa pihaknya hanya bertanggung jawab pada unit yang dijual secara resmi oleh VW Indonesia, dan bukan yang masuk melalui importir umum.
Sekedar informasi, terkait uji emisi, Indonesia saat ini masih menerapkan standar EURO 2 untuk kendaraan beroda empat, berbeda dengan negara-negara di Eropa yang sudah memakai standar EURO 6.
Hal ini dikarenakan kualitas bahan bakar yang dijual di Indonesia masih belum sebagus yang ada di negara-negara lain. Artinya, tidak ada alasan bagi VW untuk memanipulasi kadar gas buang yang dihasilkan oleh mobil-mobil mereka yang dipasarkan di RI.