Menebak Wejangan IMF ke Indonesia
Kamis, 3 September 2015 - 06:12 WIB
Sumber :
- Reuters
VIVA.co.id - Pekan ini, Indonesia kedatangan tamu "istimewa", Direktur Operasional Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF), Christine Lagarde. Bos IMF itu datang atas undangan Bank Indonesia (BI), untuk menghadiri konferensi di Jakarta, 2 September 2015, yang dihadiri para petinggi bank sentral dan lembaga keuangan di kawasan Asia.
Pertemuan itu membahas peluang dan tantangan ekonomi kawasan di tengah gejolak global saat ini.
Kenapa "istimewa", karena IMF sudah sangat akrab dengan pemerintahan Indonesia sejak lama. Bahkan saking akrabnya, kebijakan-kebijakan ekonomi Indonesia di masa-masa pemulihan ekonomi setelah krisis keuangan pada 1998 atau di awal era reformasi, sebagian ada campur tangan IMF.
Intervensi IMF tersebut bukan tanpa sebab, pemerintah Indonesia yang mengikuti program pinjaman untuk pemulihan krisis sebesar miliaran dolar diharuskan untuk berkonsultasi dengan IMF dalam mengeluarkan setiap kebijakan, khususnya di bidang ekonomi.
Sejak kabar Lagarde akan menyambangi Indonesia berembus pekan lalu, berbagai spekulasi bermunculan. Apakah benar pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sebegitu tidak berdayanya, sehingga kembali mengikuti program pinjaman IMF. Atau, kunjungan tersebut memang betul dilakukan hanya untuk menghadiri seminar, seberapa penting acara tersebut?
Sebagai informasi, bagi negara-negara kawasan Asia, permasalahan utama dalam pembangunan, khususnya di tengah gejolak ekonomi saat ini adalah soal pembiayaan. Sementara itu, pembangunan infrastruktur dianggap sebagai salah satu kunci peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Oleh sebab itu, upaya mencari jalan dan bentuk pembiayaan tersebut menjadi penting. Hal itu merupakan inti sari dari konferensi internasional yang diadakan oleh BI dan IMF, pada Rabu, 2 September 2015, yang bertema “The Future of Asia’s Finance”.
Para pejabat bank sentral di negara-negara kawasan yang hadir dalam acara tersebut antara lain, Deputi Gubernur dari Reserve Bank of India, Urjit Patel, Deputi Gubernur dari Bank of Japan, Hiroshi Nakaso, dan beberapa petinggi lembaga bidang ekonomi dan pelaku pasar keuangan di kawasan Asia lainnya.
Dari Indonesia, selain Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D. Hadad turut berpartisipasi sebagai panelis dalam konferensi tersebut.
Ramai-ramai klarifikasi
Merespons spekulasi pasar tersebut, semua pihak terkait seperti kebakaran jenggot melakukan klarifikasi. Gubernur BI, Agus Martowardojo, akhir pekan lalu pun menampik isu tersebut. Ditegaskan tidak ada maksud terselubung untuk membahas rencana pinjaman dalam kunjungan IMF kali ini.
"Kami hanya akan mendiskusikan tentang bagaimana perkembangan ekonomi dunia dan bagaimana Asia harus merespons. Juga membicarakan isu ekonomi dan bank sentral," ujarnya.
IMF pun bergerak cepat merespons spekulasi tersebut, pada Minggu, 30 Agustus 2015, Senior Resident Representative IMF untuk Indonesia, Ben Bingham dalam keterangan persnya yang diterima VIVA.co.id, mengonfirmasi spekulasi tersebut.
"Managing director mengunjungi Indonesia untuk berpartisipasi dalam konferensi BI-IMF, lama direncanakan tingkat tinggi tentang masa depan keuangan di Asia," ujarnya.
Dia menegaskan, tidak ada niatan IMF untuk membicarakan mengenai program pinjaman dengan pemerintah Indonesia. Kunjungan tersebut murni untuk menghadiri acara yang diinisiasi BI tersebut.
"Spekulasi bahwa managing director di Indonesia untuk membahas program (pinjaman) IMF dengan pemerintah tidak memiliki dasar," tuturnya.
Pihak Istana pun membantah kehadiran Lagarde menemui Presiden Joko Widodo terkait dengan pinjaman atau utang. Dugaan tersebut muncul, mengingat saat ini Indonesia sedang mengalami masalah ekonomi. Rupiah juga melemah terhadap dolar AS sejak krisis ekonomi 1998, yaitu mencapai level Rp14.000 per dolar AS.
"Tidak ada soal utang, tidak ada soal negosiasi utang, tidak ada," kata Anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, saat itu, usai mendampingi Presiden bertemu IMF, di Istana Merdeka, Selasa 1 September 2015.
Teten, yang kini menjabat kepala Staf Kepresidenan, mengatakan, pada hari sebelumnya Jokowi pun sudah bertemu dengan para ekonom. Dalam kesempatan itu, pemerintah telah disarankan untuk tidak kembali berutang ke IMF. Hal tersebut mendapatkan perhatian khusus Jokowi.
Spekulasi ini pun ditegaskan oleh DPR, meskipun Indonesia dikatakan masih trauma dengan IMF, setelah pertemuan yang dilakukan Lagarde dengan para pimpinan DPR Rabu siang 2 September 2015, sudah bisa disimpulkan bahwa kunjungan kali ini tidak sama sekali membahas masalah program utang IMF.
Bahkan, usai pertemuan tersebut, Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan, mengatakan, posisi IMF saat ini sudah berbeda dengan zaman Orde Baru lalu.
"Kedatangan IMF dulu dengan yang sekarang ini berbeda. Dulu, barangkali situasi politik. Kita sangat ingat betul, bagaimana posisi postur Direktur IMF Michel Camdessus saat itu di akhir Orde Baru," kata Taufik, Jakarta, Rabu 2 September 2015.
Taufik menerangkan, kedatangan petinggi IMF kali ini bukan dalam kapasitas menawarkan bantuan "pinjaman" kepada Indonesia. Pertemuan kali ini, katanya, lebih membahas soal perlemahan rupiah, kondisi ekonomi global, dan khususnya harga minyak dunia.
Menurut dia, dari IMF dan Indonesia bisa belajar dan bekerja sama guna mengantisipasi krisis ekonomi tersebut.
"Karena situasi ekonomi sudah 'unpredictable', termasuk 'undervalue' dari nilai rupiah, tentunya ini jadi salah satu poin yang kita harapkan, IMF memiliki suatu kedekatan dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), juga pemerintah Amerika Serikat," terang Taufik.
Wejangan IMF
Dalam serangkaian kunjungannya ke Indonesia, Lagarde menyempatkan diri memberikan kuliah umum kepada mahasiswa Universitas Indonesia di Kampus Salemba, Jakarta, pada Selasa 1 September.
Pada kesempatan tersebut, dia menegaskan bahwa IMF tidak selalu menawarkan dana pinjaman sebagai solusi bagi sejumlah negara yang terancam mengalami krisis ekonomi. Program pinjaman baru akan ditawarkan apabila ditemukan indikasi ketidakstabilan makro ekonomi maupun kebijakan fiskal yang dialami suatu negara.
"Selama ini, IMF selalu diasosiasikan sebagai pemberi pinjaman. Kami tegaskan, kami baru akan memberi fasilitas itu jika negara itu benar-benar membutuhkannya. Kalau kondisi baik-baik, kami tidak akan involve," kata Lagarde.
Dia menilai, kondisi Indonesia saat ini masih menunjukkan ekonomi yang relatif positif. Sebab, ada beberapa indikator ekonomi di Indonesia terbukti memperkuat pernyataan tersebut
Meski demikian, ada tiga langkah penting yang harus pemerintah Indonesia lakukan agar dapat mendorong perekonomian yang sedang melambat saat ini. Hal pertama adalah pembangunan infrastruktur yang modern dan efisien terutama di sektor listrik serta transportasi.
Baca Juga :
IMF Peringati Ekonomi Global Sangat Rapuh
"Biaya logistik diestimasikan 24 persen dari produk domestik bruto (PDB) dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 13 persen. Akses listrik di Indonesia baru 80 persen dibandingkan negara lain yang hampir 100 persen," ujar Lagarde.
Dengan mengurangi biaya logistik dan meningkatkan akses listrik, hal ini akan menciptakan lapangan pekerjaan di semua sektor, mengurangi harga di beberapa daerah, dan meningkatkan konektivitas pasar global.
"IMF mengapresiasi pemerintah sudah memprioritaskan hal ini dengan rencana pengeluaran infrastruktur yang diperkirakan meningkat sebesar delapan persen per tahun. Kami harapkan ini segera terealisasi," katanya.
Yang kedua, dia melanjutkan, adalah memperbaiki iklim investasi yang kondusif bagi penyerapan teknologi baru, dan kapasitas untuk bersaing dalam memproduksi banyak barang jasa seperti yang dilakukan Tiongkok, Korea, dan Jepang.
Kemudian langkah ketiga, Lagarde menegaskan, segala insentif tersebut harus dibarengi dengan kebijakan perdagangan internasional yang mendukung proses integrasi ekonomi Indonesia dengan dunia. Menurut dia, potensi yang terbuka bagi Indonesia bukan hanya pasar domestik, melainkan pasar global yang mempunyai konsumen sebanyak 1,5 miliar.
"Perdagangan internasional telah menyumbang pertumbuhan Indonesia di masa lalu. Dengan kerangka kebijakan yang baik, Indonesia bisa berdaya saing dan mendapat manfaat termasuk melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)," ungkapnya.
Harus dicermati apakah segala pandangan dan saran yang disampaikan Lagarde kepada pemerintah Indonesia merupakan sinyal bahwa Indonesia sedang disorot oleh IMF. Sebab, IMF tidak akan gegabah dalam menawarkan program pinjaman kepada negara anggotanya.
Karena, dalam mengindentifikasi kondisi perekonomian sebuah negara yang bermasalah, Lagarde menuturkan, IMF akan terlebih dahulu melakukan sejumlah pendekatan, misalnya dengan pengawasan (surveillance) dan bantuan teknis (technical assistance).
"Biasanya kami datang ke negara anggota. Berbicara mengenai kondisi perekonomian terkini dan membantu memberikan masukan atas kebijakan yang setidaknya bisa membantu masalah ekonomi yang terjadi di negara tersebut," ujarnya.
Dia mengatakan, pada pendekatan pengawasan, IMF akan terlebih dahulu mengajak diskusi negara terkait. Setelah itu, untuk pendekatan teknis, pihaknya akan mulai membantu sebuah negara terutama di sektor yang krusial.
Ketika masalah tersebut sudah teridentifikasi dan dari sisi keuangan negara terkait tidak bisa menyelesaikan, program pinjaman akan disodorkan. Dan biasanya bantuan tersebut tidak bisa ditolak oleh negara terkait.
Skema itu sudah terbukti terjadi dalam penyelesaian masalah keuangan Yunani beberapa waktu lalu. Negara para dewa tersebut tidak punya pilihan selain mengikuti program lanjutan IMF dan memaksa untuk menjual sebagian aset yang dimiliki negara kepada pihak swasta.
Selain menghadiri konferensi tersebut dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo beserta jajaran menteri ekonominya secara internal, Lagarde juga melakukan serangkaian pertemuan secara khusus dengan para petinggi BI.
Apakah Indonesia sudah masuk dalam tahapan proses penjajakan program pinjaman tersebut?
Curhat RI
Gubernur BI Agus Martowardojo dalam pidatonya pada pembukaan konferensi tersebut menjelaskan bagaimana kondisi perekonomian Indonesia secara makro, beserta pandangan target BI dalam menghadapinya. Menurut mantan menteri keuangan itu, Indonesia masih dibayangi besarnya defisit transaksi berjalan.
Agus menjelaskan, dengan kondisi perekonomian global saat ini dibutuhkan pembangunan infrastruktur sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Tapi, permasalahannya skema kerja sama pemerintah swasta (Public Private Partnership/PPP) belum bisa diandalkan untuk membiayai infrastruktur saat ini.
Hal senada disampaikan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro. Dia menuturkan, persoalan mendasar yang menjadikan kerja sama pemerintah-swasta sulit dilakukan, adalah perspektif antara kedua pihak yang tak mau kalah dan ingin selalu menjadi pemimpin.
"Karena kami, publik dan privat sama-sama mau jadi bos. Makanya susah. Akhirnya proyeknya enggak jalan," ujar dalam konferensi tersebut
Bambang menjelaskan, kesulitan menyatukan pemerintah-swasta terlihat dalam proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang yang sempat mangkrak hingga tiga tahun. Hal ini disebutnya, sebagai bukti bahwa tidak ada kerja sama yang baik antara pemerintah dan swasta.
Meskipun, pada akhirnya pemerintah berhasil merealisasikan proyek pengerjaan proyek tersebut, tapi tetap membutuhkan waktu yang lama.
"Akhirnya dapat groundbreaking untuk pembangkit listrik itu setelah tiga tahun delay," ucapnya.
Bambang berharap, akan terjalin sebuah kerja sama yang baik antara pemerintah dan swasta dalam melaksanakan sebuah proyek infrastruktur. Karena pada dasarnya, PPP merupakan solusi terbaik untuk membangun proyek infrastruktur masa depan.
"PPP adalah ide yang bagus, tapi banyak tantangan, ini akan terus kami tingkatkan, karena hal ini juga untuk mempercepat pembangunan infrastruktur," ungkapnya.
Agus Marto berharap, konferensi yang dilakukan dapat memberi masukan, kontribusi, dan solusi dari berbagai pihak termasuk IMF, atas segala tantangan yang dihadapi. (art)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
"Biasanya kami datang ke negara anggota. Berbicara mengenai kondisi perekonomian terkini dan membantu memberikan masukan atas kebijakan yang setidaknya bisa membantu masalah ekonomi yang terjadi di negara tersebut," ujarnya.