Jalan Panjang Waduk Jatigede
Selasa, 1 September 2015 - 00:23 WIB
Sumber :
- Antara/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id
- Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, kemarin, Senin, 31 Agustus 2015, akhirnya mulai dialiri air setelah sempat molor hampir 50 tahun.
Megahnya waduk ini ternyata menyimpan segudang masalah yang setiap saat bisa menjadi bom waktu. Seperti dikutip dari tvOne, penenggelaman Waduk Jatigede diklaim sebagai penenggelaman sejarah dan budaya.
Sebanyak 45 ribu penduduk kehilangan kampung halaman dan mata pencahariannya, 33 situs cagar budaya hilang, dan 11 ribu rumah serta fasilitas umum musnah. Selain itu, 310 hektare sawah dengan hasil 80 ribu ton padi senilai Rp4,5 miliar akan hilang, serta 1.389 hektare hutan alami tinggal kenangan.
Sebenarnya, ide dan studi terkait pembangunan waduk terbesar kedua di Indonesia, setelah Waduk Jatiluhur, ini sudah dilakukan sejak Presiden Soekarno pada 1963. Pembebasan lahan pun sudah dimulai sejak 1988.Â
Proyek yang sudah dicanangkan sejak Orde Lama ini kemudian seolah bangun dari tidurnya yang panjang. Bendungan ini pun mulai proses konstruksi sejak tahun anggaran 2008, dengan total biaya investasi mencapai US$400 juta atau setara Rp5,6 triliun.
Namun, sepanjang pembangunan hingga mulai dialiri air, berbagai aksi penolakan dan keprihatinan dari masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) terus terjadi.
Sofyan Djalil, yang saat itu menjabat sebagai menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan, pemerintah sudah mengesahkan penetapan ganti rugi untuk dua kelompok masyarakat yang terdampak pembangunan waduk Jatigede.
Baca Juga :
10 Persen Warga Jatigede Belum Terima Ganti Rugi
Keputusan penetapan ganti rugi itu, yakni untuk kelompok I sebanyak 4.514 kepala keluarga (KK) mendapatkan kompensasi sebesar Rp122,59 juta, dari awal penetapan sebelumnya yang sebesar Rp108,19 juta.
Sementara itu, untuk kelompok II yang berjumlah sebanyak 6.410 KK, akan mendapatkan santunan sebesar Rp29,36 juta.Â
Sebenarnya, Sofyan menjelaskan, tanah yang berlokasi di Jatigede tersebut sudah dibebaskan lahannya pada 1985. "Tapi, karena ditinggal, ya dipakai (dihuni) lagi, makanya sekarang harus dibebaskan," katanya.
Untuk diketahui, seluruh ganti rugi akan diberikan secara tunai kepada warga terdampak, dan pemerintah tidak lagi menyediakan tanah dan bangunan pengganti.
Namun, masyarakat menilai ganti rugi Rp29,36 juta tidak mencukupi. Mereka menuntut keadilan. Tuntutan itu rasanya wajar, mengingat mereka harus memulai kehidupan baru.
Uang senilai Rp29 juta yang dibagikan per KK tak sepadan bagi warga untuk membuat rumah atau hunian baru.
"Uangnya tak cukup untuk membuat rumah baru. Biaya pindahan saja sudah berapa," ujar Ateng, salah seorang warga Desa Tarunajaya, wilayah terdampak waduk Jatigede.
Tak hanya itu, warga mengkhawatirkan mata pencaharian mereka usai waduk difungsikan. "Lahan pertanian kami juga tidak ada lagi nanti. Lantas kami bertahan hidup dan memberi nafkah keluarga dengan apa?" ujarnya.
33 Situs Kuno
Dampak lain, puluhan makam keramat yang dipercaya warga sebagai cikal bakal lahirnya kerajaan Islam Sumedang Larang pada abad ke-16 di Desa Cipaku dipastikan akan hilang tenggelam dalam proyek pengairan Waduk Jatigede.
Setidaknya ada 33 situs kuno yang sudah menjadi cagar budaya akan terdampak. "Kami kecewa dengan rencana pemerintah. Proyek ini seakan tidak menghargai warisan budaya peninggalan sejarah," ujar budayawan Sunda, Ully Hary Rusadi.
Ully mencontohkan, salah satu situs keramat yang bernama Prabu Aji Putih. Pemilik makam ini sangat dipercaya masyarakat sebagai guru dari para raja saat awal berdirinya Kerajaan Sumedang Larang.
"Karena itu kami betul-betul prihatin," kata perempuan yang kini menjabat ketua Bidang Lingkungan Hidup dan Cagar Budaya Forum Silaturahmi Keraton Nusantara ini.
Proyek pembangunan Waduk Jatigede itu sempat stagnan, seolah-olah tidak diteruskan oleh pemerintah karena terkendala masalah sosial. Masalah ganti rugi dan relokasi menjadi yang utama.
Sayangnya, sejak Joko Widodo terpilih menjadi Presiden, berbagai proyek raksasa ditandatangani untuk dieksekusi. Tercatat, ada 31 waduk yang akan dibangun di seluruh Indonesia, salah satunya Waduk Jatigede.
Pemerintah pun bergeming dan tetap melaksanakan proyek Waduk Jatigede. Meskipun pada akhirnya, beberapa kali proses penggenangan sempat tertunda dari jadwal semula 1 Agustus 2015, karena proses ganti rugi kepada masyarakat sekitar belum selesai.
Manfaat Waduk Jatigede
Dikutip dari laman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, manfaat utama Waduk Jatigede, yakni bisa mengairi persawahan hingga seluas 90 ribu hektare.
Pemerintah mengklaim, pembangunan waduk sangat strategis, karena air di Sungai Cimanuk, tempat pembangunan waduk tersebut dilaksanakan, rata-rata sebesar 4,3 miliar meter kubik per tahun.
Waduk Jatigede juga memiliki sumber air baku, dengan kecepatan sebesar 3,5 kubik per detik. Air baku itu bisa digunakan untuk kepentingan wilayah di Sumedang, Majalengka, hingga ke Cirebon.
Selain itu, Waduk Jatigede bermanfaat sebagai sumber tenaga bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas hingga 1.110 megawatt (MW), untuk objek pariwisata dan pengendalian banjir sebesar 14 ribu hektare di kawasan daerah tersebut.
Adapun, peresmian Waduk Jatigede ditandai dengan pengisian awal, atau initial impounding oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuldjono.
Berdasarkan data yang dihimpun VIVA.co.id dari Humas Kementerian PUPR, Untuk tahap awal, waduk akan digenangi air sampai elevasi 204 meter selama 12 hari. Sementara itu, tahap kedua, yaitu dari 204-221 meter selama 48 hari.
Pada penggenangan tahap awal ini, air akan mencapai wilayah permukiman penduduk di Desa Jemah, Kecamatan Jatigede, dalam 14 hari dan Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja dalam 50 hari.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Namun, masyarakat menilai ganti rugi Rp29,36 juta tidak mencukupi. Mereka menuntut keadilan. Tuntutan itu rasanya wajar, mengingat mereka harus memulai kehidupan baru.