Geger Proyek Gedung DPR Baru Muncul Lagi

Gedung Nusantara DPR RI
Sumber :

VIVA.co.id - Rencana pembangunan tujuh proyek DPR kembali menghangat. Proyek yang diperkirakan bakal menghabiskan duit negara hingga Rp2,7 triliun itu pun kembali menjadi materi debat. Di tengah kondisi ekonomi yang tengah melambat, DPR ngotot mewujudkan rencananya atas nama modernitas 'rumah rakyat.'

Merasa 'dianaktirikan,' Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Ahmadi Noor Supit mengatakan, saatnya kini parlemen memiliki gedung baru setelah sebelumnya pemerintah juga membangun sejumlah gedung untuk lembaga lain.

"Di antaranya diperbaiki sampai pembangunan gedung BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), MK (Mahkamah Konstitusi), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), MA (Mahkamah Agung), kita sudah lihat bagus sekali. Dan sekarang tiba gilirannya kepada pembangunan fasilitas gedung DPR RI," kata Supit, di Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2015.

Proyek gedung baru DPR akan dibangun di lahan seluas 156 ribu meter persegi, mulai dari kawasan Taman Ria sampai kawasan Manggala Wanabhakti. Duit triliunan rupiah akan digunakan untuk membangun gedung baru yang akan difungsikan sebagai ruang kerja anggota DPR, membangun museum dan perpustakaan, jalan akses bagi tamu menuju gedung DPR, visitor centre. Ada pula pembangunan ruang pusat kajian legislasi, pembangunan integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja DPR, serta membangun alun-alun demokrasi yang ditujukan bagi masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi.

Mengutip parlementaria edisi 122 TH.XLV,2015, rencana pembangunan proyek gedung baru DPR disambut baik Sekjen AIPA (Asean Inter Parliamentry Assembly) P.O. Ram JP. Seolah pembenaran bagi penghuni senayan, Ram bahkan khusus mengapresiasi rencana pembangunan plaza demokrasi sebagai area bagi pengunjuk rasa. Bagaimana tidak, bila Ram berpendapat Plaza demokrasi yang menyerupai Hyde Park di London, Inggris, sudah sewajarnya disediakan parlemen Indonesia guna mengendalikan unjuk rasa demi menjaga ketertiban umum.

Negara lain yang juga menjadi rujukan pembangunan satu dari tujuh proyek DPR itu adalah Singapura. Negara itu sudah memiliki speaker corner yang berada di People Park Centre.  

Fasilitas lain yang dianggap mampu mengubah 'rumah rakyat' menjadi kompleks parlemen modern adalah tersedianya museum dan perpustakaan. Keberadaan museum disebutkan untuk menjaga identitas masyarakat Indonesia agar tak tercabut dari akar budayanya. Adapun perpustakaan, masih menurut Ram, dimaksudkan agar DPR bisa melakukan riset sebagai modal debat saat berhadapan dengan pejabat atau pemerintah.

Pembangunan fasilitas perpustakaan DPR memang tepat jika bermanfaat. Tapi, coba disandingkan dengan Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional yang justru membuat pucat. Data itu menunjukkan dari 64.000 desa yang ada di Indonesia, hanya 22% desa yang mempunyai perpustakaan umum. Sementara, jumlah unit perpustakaan di berbagai departemen dan perusahaan baru sekitar 31%.

Belum lagi dari 110 ribu sekolah yang ada di Indonesia, teridentifikasi cuma 18% yang dilengkapi dengan perpustakaan. Badan Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional juga menyebutkan dari 3.000 jumlah SD dan SLTP di Indonesia, hanya 5% yang memiliki perpustakaan.

Sayangnya, data tersebut sepertinya tak mempan menyurutkan niat DPR untuk terlihat lebih modern. Buktinya, saat ini kajian tujuh proyek DPR masih terus berlanjut. Apalagi, DPR juga tengah menyusun renstra (rencana strategi) tahunan, lima tahun, dan 25 tahun, termasuk di dalamnya agenda menyusun grand design komplek DPR.

Nyanyian Penghuni Senayan

Tujuh proyek gedung DPR memang rentan menuai polemik. Tapi, hal itu tak serta merta melirihkan suara para anggota dewan terhormat.

Sekretaris Fraksi PKB DPR, Jazuli Fawid, salah satu yang mendukung pembangunan gedung baru parlemen. Dukungannya bahkan disebut mengacu hasil audit awal yang menyatakan gedung DPR sudah tua dan tidak layak.

"Jangan kita menunggu kecelakaan. Jangan nanti setelah lift jatuh, baru berpikir kita," katanya.

Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR itu mengatakan, pengajuan pembangunan gedung baru DPR bukanlah proyek asal-asalan sehingga tidak perlu dipermasalahkan.

"Bagi PKB asal ruang fiskal ada tak masalah, karena ini sesuai kebutuhan. Jadi ini bukan buang-buang anggaran," katanya.

Pendapat berikut sedikit berbeda. Butuh, tapi bisa ditunda.

"Saat ini yang juga cukup reasonable adalah dihadapkan kepada kondisi ruang kerja yang memang butuh perbaikan," kata Sekretaris Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto melalui pesan singkat, Rabu, 26 Agustus 2015.

Dalam konteks kepentingan bersama, Didik mengatakan, rencana tujuh megaproyek masih bisa ditunda. Menjadi kurang bijak bila hal itu terus dipaksakan, sementara rakyat masih tertekan dengan kondisi ekonomi saat ini.

"Tentunya DPR akan cukup rasional dalam konteks kepentingan," ujarnya.

Sejurus dengan pendapat Demokrat, Sekretaris Fraksi Nasdem, Jhonny G Plate meminta pimpinan DPR tidak terburu-buru merealisasikan tujuh proyek parlemen modern. Ada baiknya bila realisasi proyek menunggu hasil kajian pemerintah.

"Kita tahu kondisi perekonomian kita sedang begini. Penerimaan negara juga sedang dalam tantangan. Kelenturan fiskal juga menjadi pekerjaan berat untuk dipenuhi. Pemerintah sedang mengkaji kembali," kata Johnny di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 26 Agustus 2015.

Saat ini, kondisi gedung DPR memang dianggap masih belum mumpuni. Namun apakah pembangunan gedung DPR itu bisa menjadi prioritas dalam APBN 2016, Johnny meminta masyarakat menunggu kajian pemerintah.

"Apakah itu bisa dibiayai sekarang, dengan kondisi ekonomi negara saat ini," ujarnya.

Penghuni senayan lain justru ngotot meminta pemerintah untuk menganggarkan rencana proyek komplek parlemen modern dalam Undang-Undang tentang APBN 2016.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Ahmadi Noor Supit mengatakan, ruang kerja 560 anggota dewan sudah tidak memadai lagi. Sebab, ada lima staf anggota ditambah dua sekretaris pribadi. Sementara, ruang anggota tidak bisa menampung semuanya.

"Maka saya kira wajar saja kalau memang pemerintah memberi giliran kepada DPR untuk memperbaiki ini dan merencanakan agar pada akhirnya harus dibuat itu," ujar Supit di Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2015.

Keinginan dewan untuk membangun gedung baru itu bukanlah hal baru. Pada periode DPR 2009-2014 rencana proyek pembangunan gedung baru DPR juga mencuat. Angkanya juga menembus lebih dari Rp1 triliun. Namun, rencana itu pun gagal akibat resistensi publik yang cukup tinggi.

Mantan Ketua DPR periode 2009-2014 Marzuki Alie pun angkat bicara. Marzuki mengatakan, sejak periode kepemimpinannya, gedung baru untuk 560 anggota dewan itu memang diperlukan, tentu dengan sejumlah pertimbangan. Salah satunya dengan menekan anggaran pembangunan.

"Dulu sudah saya koreksi, biayanya bisa turun menjadi Rp900 miliar," ucap Marzuki.

Ini kali kedua kehendak dewan mengemuka. Publik tak pernah tahu, apakah renstra tahunan DPR itu akan berlanjut atau hanya menjadi angin ribut? Atau, menjadi proyek 'siluman' yang bergerak diam-diam demi menghindari sorotan. 

Dari Sayembara sampai Istana

Jumat, akhir pekan lalu kabar mengejutkan muncul dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang merilis hasil riset investigatif terkait proyek pembangunan gedung baru DPR. Organisasi non pemerintah itu menemukan DPR telah menggelar sayembara gambar dan desain kompleks Senayan dengan anggaran hingga ratusan juta rupiah.

Rangkaian sayembara diselenggarakan sejak 10 Juli 2015 (pendaftaran) hingga 30 Oktober 2015 (pameran karya sayembara). Pemenang utama sayembara disebut akan mendapatkan hadiah sebesar Rp300 juta.

"Sayembara ini bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Padahal, pembahasan kegiatan dan anggaran sama sekali belum dibahas di DPR. Ini kan, mendahului proses pembangunan penganggaran. Juri-jurinya bahkan sudah ada," kata Manager Advokasi FITRA, Apung Widadi, di kantor Fitra, Mampang, Jakarta Selatan, Jumat 21 Agustus 2015.

Temuan tersebut mengindikasikan adanya kepentingan tertentu yang memaksakan agar proyek itu terus berjalan. Anggaran sayembara bahkan berasal dari budget pos pemeliharaan belanja rutin. Kegiatan itu dianggap bertentangan dengan Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, sebab tidak melalui proses lelang.

FITRA bahkan menilai pembangunan komplek parlemen modern belum merupakan prioritas. Ini menjadi alasan bagi Fitra meminta pemerintah menolak tegas anggaran gedung DPR masuk ke dalam APBN 2016.

"Selain itu, politik anggaran DPR tidak berpihak. Rp1,2 triliun bisa membuat 12.000 ruang kelas, sekitar 6.000 perumahan rakyat," kata Apung Wiyadi.

Setali dua uang. Presiden Joko Widodo bahkan meminta jajarannya mengkaji ulang pembangunan proyek gedung baru untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jokowi bahkan  enggan menandatangani prasasti pembangunan tujuh ikon parlemen usai Pidato Kenegaraan di kompleks MPR/DPR pada 14 Agustus 2015. 

"Beliau, kan, belum menandatangani dan memberi arahan pada kami semua. untuk menteri terkait yang berkaitan dengan pembangunan di fasilitas gedung DPR itu melakukan kajian," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, di Istana Negara Jakarta, Kamis 20 Agustus 2015.

Kajian itu berkaitan dengan ketersediaan anggaran negara, terlebih situasi ekonomi dalam negeri yang kini belum pulih.

"Nah, jadi posisi terakir oleh presiden adalah minta dikaji kembali dan beliau minta dilaporkan segera. Maka dengan demikian secara resmi itulah yang menjadi sikap resmi presiden sampai hari ini," ucap mantan Sekjen DPP PDI Perjuangan itu.

Sejarah Gedung DPR


Sepanjang pemerintahan Orde Lama, Presiden pertama RI Soekarno tak pernah secara khusus membangun gedung bagi anggota legislatif. Di masa itu, kantor DPR berpindah-pindah mulai dari Gedung Schouburg (kini Gedung Kesenian Jakarta) hingga gedung bekas Sociteit Concordia (Gedung Merdeka Bandung, Jawa Barat).

Komisi VII Dukung Upaya Pemerintah Perkuat Pertamina

Hingga akhirnya pada 19 April 1965 arsitek jebolan Technische Universitat Berlin Barat, Sujudi Wirjoatmodjo, mulai melakukan pemancangan tiang pertama. Pembangunan gedung dilakukan atas perintah Soekarno kepada Sujudi yang memenangkan sayembara pembangunan gedung Conefo. Namun, pembangunan kompleks gedung DPR kini yang adalah komplek Conefo (Conference of New Emerging Forces) bukan dikhususkan bagi parlemen. 

Dihimpun dari berbagai sumber, proyek itu sempat terhenti saat pecah peristiwa 1966. Hingga di era selanjutnya, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera memerintahkan agar proyek tersebut dilanjutkan. Pada 9 November 1966 gedung Conefo dilanjutkan dan difungsikan sebagai gedung parlemen.

Nama-nama gedung yang semula diberi nama dalam bahasa Inggris akhirnya diubah ke dalam bahasa sansekerta. Seiring perkembangannya, nama itu pun berubah untuk memudahkan pelafalan gedung tersebut. Grahatama menjadi Gedung Nusantara, Lokawirasabha Tama (Gedung Nusantara I), Ganagraha (Gedung Nusantara II), Lokawirasabha (Gedung Nusantara III), Pustakaloka (Gedung Nusantara IV), Grahakarana (Gedung Nusantara V), Samania Sasanagraha (Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI), dan Mekanik Graha (Gedung Mekanik).