Bersih-bersih Lembaga Negara Tak Produktif
- ANTARA FOTO/Andika Wahyu
VIVA.co.id - Pemerintah melihat setidaknya ada 22 lembaga non struktural (LNS) yang tidak produktif, efektif atau efisien. Kini, mereka tengah mengevaluasi keberadaan lembaga-lembaga tersebut.
Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, kebijakan tersebut bukan untuk melebur tetapi menata. Kemenpan RB pun sudah memeriksa struktur, kinerja, dan efektivitas organisasi dari lembaga tersebut.
"Evaluasi lapangannya sudah lebih dari 50 persen," kata Yuddy di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2015.
Dari hasil evaluasi itu, kementeriannya akan memberikan beberapa rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo karena Presiden yang berhak memutuskan nasib lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan Presiden (perpres) tersebut. Rekomendasi itu di antaranya, restrukturisasi, revitalisasi, dibubarkan atau perampingan.
"Mungkin ada dua lembaga fungsinya sama nih, makanya gabungin aja," ujarnya.
Rencananya, akhir Agustus tahun ini, nasib lembaga-lembaga itu akan diputuskan. Sejauh ini, sudah sekitar 15 lembaga yang diperiksa, misalnya lembaga yang membidangi masalah kawasan ekonomi khusus, percepatan pembangunan infrastruktur, zonologi, nuklir, balai benih, AIDS, bimbingan massal dan lainnya.
"Insya Allah kami selesaikan akhir Agustus ini tinjauan lapangannya, lalu minggu kedua September akan kami laporkan pada Komite Reformasi Birokrasi Nasional yang dipimpin Wapres dan Presiden," tuturnya.
Yuddy menilai, lembaga itu dianggap tidak memberikan kontribusi signifikan bagi pelaksanaan program pembangunan nasional, tumpang tindih dengan lembaga lain yang fungsi sama. Selain itu, tidak efisien, fungsinya sudah dilakukan oleh kementerian dan lembaga lainnya, memboroskan anggaran negara, tapi outcome tidak begitu dirasakan.
"Ya, dengan berat hati akan dibubarkan seperti diperintahkan Presiden," tutur dia.
Politisi Partai Hanura itu meminta para stakeholder lembaga-lembaga itu tidak resisten. Alasannya, karena ini memang kebijakan resmi dari pemerintah.
"Nggak boleh ada resistensi. Ini kewenangan pemerintah. Bentuk tidak ribut bubarkan juga nggak boleh ribut," katanya.
Lantas, bagaimana dengan nasib pegawai?
Yuddy mengaku akan mengambil langkah-langkah sebijaksana mungkin terkait pegawai dari lembaga yang nantinya dibubarkan tersebut. Bagaimanapun, mereka juga bekerja mencari nafkah baik untuk diri maupun keluarga.
"Kalau PNS didistribusikan kembali formasi kepegawaiannya. Kalau non PNS mereka akan kita pikirkan untuk mendapakan uang pesangon atau apakah namanya," kata Yuddy.
Dikutip dari situs Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menpan.go.id, Yuddy sudah melakukan safari ke sejumlah kantor LNS misalnya Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis, dan Komisi Informasi Pusat (KIP). Kunjungan ini merupakan bagian dari langkah-langkah untuk menyusun rekomendasi kepada Jokowi.
Sepekan sebelumnya, Yuddy mengunjungi beberapa LNS, yakni Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Dewan Kelautan Indonesia, dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
"Penataan LNS merupakan fokus dalam penataan kelembagaan kali ini, khususnya LNS yang dibentuk dengan peraturan pemerintah atau keputusan Presiden. Kita lihat efektivitasnya, kita lihat mekanisme kerjanya dan kontribusinya terhadap pembangunan nasional," kata Yuddy.
Yuddy mengatakan, untuk LNS yang dalam evaluasi akademis dan observasi lapangannya tidak begitu kontributif terhadap pencapaian program prioritas pembanguann nasional, atau fungsinya dianggap sudah dijalankan oleh instansi lain, Kementerian PANRB akan merekomendasikan kepada Presiden untuk dibubarkan, digabungkan, atau direvitalisasi.
"Target kita setidak-tidaknya akhir Agustus ini sudah bisa memberikan rekomendasi kepada Presiden, LNS mana saja yang memang tidak perlu dipertahankan, mana yang perlu digabungkan dan mana yang perlu direvitalisasi atau dirampingkan," ujar Yuddy.
Yuddy juga mengunjungi kantor Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Saat itu, dia disambut oleh Sekretaris Utama Bappenas Imron Bulkin, karena BKPRN berada di bawah naungannya.
Imron menjelaskan, instansinya telah melakukan rapat klarifikasi di kantor Kementerian Sekretariat Negara terkait penataan kelembagaan LNS. Dalam rapat tersebut disimpulkan bahwa seluruh pejabat serta anggota BKPRN memandang bahwa lembaga ini masih diperlukan.
Alasannya, karena masih dibutuhkan wadah koordinasi penataan ruang lintas sektor, terutama untuk menyelesaikan konflik–konflik pemanfaatan ruang.
Menurut Imron, meskipun sudah dibentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, ketua BKPRN dipandang lebih tepat dijabat oleh menko perekonomian dengan pertimbangan bahwa isu penataan ruang lebih sering bertitik berat pada bidang perekonomian.
Sementara itu, kementerian teknis tidak dapat mengoordinasikan kementerian/lembaga teknis lain yang setingkat, terutama dalam konteks penyelesaian konflik pemanfaatan ruang yang semakin marak. Sebagai contoh, Imron menunjuk kasus yang berkenaan dengan persoalan kehutanan, yang antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menanggapi hal tersebut, Yuddy mengatakan, hasil dari rapat di Kantor Setneg tidak akan memengaruhi hasil evaluasi akademis dan observasi lapangan yang dilakukan Kementerian PANRB.
"Tetapi, kami anggap ini sebagai dokumen tambahan sebagai rujukan, meskipun tidak memengaruhi langkah–langkah evaluasi akademis yang sedang kita lakukan," ujarnya.
Dari kantor BKPRN, Yuddy langsung menuju kantor Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis (KNPZ) dan Komisi Informasi Pusat (KIP). Di kantor KNPZ, Yuddy sempat menanyakan tugas dan fungsi lembaga tersebut.
Asisten Deputi Penguatan, Pencegahan, dan Penanggulangan Penyakit Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Nurbaiti Yuliana, menjelaskan mengenai tugas dan fungsi KNPZ yang berada di bawah Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan sejumlah kementerian terkait.
"Tugas kami meneliti penyakit–penyakit yang disebabkan oleh hewan. Misalnya seperti penyakit rabies yang saat ini sedang marak di Kalimantan," kata Nurbaiti.
Sementara itu, di kantor KIP yang berada dalam satu gedung tetapi beda lantai, Yuddy hanya menanyakan mengenai jumlah pegawai yang bekerja.
"Kebanyakan yang bekerja di sini adalah pegawai outsourcing," kata Ketua KIP, Abdulhamid Dipopramono.
***
Jadi Beban
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, pembubaran lembaga negara yang tak produktif, karena Presiden Joko Widodo ingin ada efisiensi. Apalagi, saat ini perekonomian Indonesia tengah terguncang. Sebaliknya, lembaga-lembaga tak produktif itu hanya menjadi beban APBN dan pemerintah.
"Sudah waktunya untuk dipikirkan kembali untuk dimerger atau apa," kata Pramono di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 26 Agustus 2015.
Menurut dia, lembaga-lembaga yang dinilai tidak produktif ini terbentuk, karena euforia yang berlebihan saat reformasi. Namun, dalam perjalanannya, lembaga itu justru tidak efektif, sehingga keberadaannya hanya jadi beban.
Jokowi berharap agar Yuddy Chrisnandi segera mengevaluasi semua lembaga yang bersifat ad hoc baik yang diatur peraturan Presiden maupun undang-undang.
"Ada dua yang dikasih arahan (oleh Presiden), pertama masalah regulasi. Nah, regulasi ini sedang ditabulasi jangan sampai overlapping, jadi hambatan lembaga-lembaga lain," ujar Pramono.
Sementara itu, untuk lembaga yang diatur undang-undang, pemerintah akan meminta pendapat Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu. Selain itu, jika akan dibubarkan, tentu meminta pendapat DPR terlebih dahulu.
Mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu juga memastikan pembubaran lembaga ini tak akan memengaruhi serapan anggaran.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR, Agun Gunanjar Sudarsa, mengatakan bahwa rencana pembubaran atau peleburan beberapa Lembaga Pemerintah Non Struktural (LPNS) itu bukan barang baru. Menurut dia, rencana sudah lama, dan sudah ada kajiannya yang dilakukan oleh Kemenpan, dan sudah dibahas di Komisi II periode yang lalu.
"Sayangnya, hasil kajian itu tidak dilaksanakan, alias dibiarkan saja oleh pemerintahan saat itu," kata Agun dalam siaran persnya.
Agun mencatat, Kemenpan saat itu sudah sangat giat. Akan tetapi masih mendapat resistensi dari pihak-pihak yang tidak mau dibubarkan.
"Akhirnya tidak jadi," ujar dia.
Agun mencatat, kondisi tersebut sama dengan saat pembahasan Rancangan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) yang sampai dibahas di tingkat kabinet secara langsung oleh Presiden, dan akhirnya menugaskan Wapres Boediono saat itu. Namun, karena banyak pihak dari kementerian lain yang keberatan dengan substansi RUU ASN, akhirnya lama di tingkat pemerintah.
"Begitu juga dengan peleburan dan penghapusan LPNS ini, nggak jadi-jadi," ujar dia.
Agun berpendapat, jika pemerintah sekarang melaksanakan adalah sesuatu yang positif untuk efektivitas dan efisiensi serta menghentikan overlapping yang terjadi selama ini, selain pemborosan anggaran. Dia yakin dengan UU Kementerian Negara, UU ASN, UU Administrasi Pemerintahan, sesungguhnya kalau dijalankan secara konsisten oleh pemerintah, prinsip clean and good government, sudah bisa terwujud.
"Apalagi dalam tahun ini segera diselesaikan UU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah," tuturnya.
***
Bukan Pertama
Berdasarkan penelusuran VIVA.co.id, kebijakan pembubaran atau peleburan lembaga-lembaga negara ini bukan yang pertama dilakukan oleh Jokowi.
Seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, setkab.go.id, pada 4 Desember 2014, Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 176 tentang Pembubaran 10 (sepuluh) Lembaga Non Struktural dengan alasan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintahan.
Kesepuluh lembaga non struktural yang dibubarkan itu adalah Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional, Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Dewan Buku Nasional, Komisi Hukum Nasional, Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional.
Kemudian, Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan, Badan Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu, Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak-Anak, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, dan Dewan Gula Indonesia.
Setelah dibubarkan, pemerintah lantas mendistribusikan tugas dan fungsi lembaga-lembaga itu ke lembaga atau kementerian lainnya. Antara lain, Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dilaksanakan oleh Kementerian Sosial, Dewan Buku Nasional dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Komisi Hukum Nasional dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM.
Lalu, Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak-Anak dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dilaksanakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional dilaksanakan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dan Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sementara itu, untuk pembiayaan, pegawai, perlengkapan, dan dokumen yang dikelola oleh Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional dialihkan ke Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dialihkan ke Kementerian Sosial, Dewan Buku Nasional ke Kemendikbud.
Kemudian, Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak-Anak ke Kementerian Tenaga Kerja, dan Dewan Gula Indonesia ke Kementerian Pertanian.
Adapun pembiayaan, perlengkapan, dan dokumen yang dikelola Komisi Hukum Nasional dialihkan ke Kementerian Hukum dan HAM, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Selanjutnya, pegawai pada Komisi Hukum Nasional dan Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia akan diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengalihan ketika itu juga dikoordinasikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), dengan melibatkan unsur Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Arsip Nasional, dan Kementerian Keuangan.
"Pengalihan sebagaimana dimaksud dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkan Peraturan Presiden ini," bunyi Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 176 Tahun 2014 itu.
Ditegaskan juga dalam Perpres ini, biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan proses pengalihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Melalui perpres tersebut, Presiden juga mencabut 10 keputusan Presiden (keppres) yang mendasari pembentukan ke-10 lembaga non struktural itu.
"Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," bunyi Pasal 8 Perpres yang diundangkan pada 5 Desember 2014 oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly itu.
Staf Kepresidenan
Lembaga negara yang juga menjadi polemik di publik adalah Staf Kepresidenan. Institusi tersebut termasuk lembaga baru yang dibentuk Jokowi. Namun, sejumlah pihak mengusulkan pembubarannya.
Misalnya saja, anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Dia menyarankan agar Presiden Joko Widodo melebur Kantor Staf Kepresidenan ke lembaga lain.
"Sehubungan dengan kosongnya jabatan kepala Staf Presiden (KSP), menurut hemat saya tidak perlu diisi lagi. Disarankan lembaga ini direorganisir saja masuk ke lembaga lain, agar tidak terjadi tumpang tindih," kata Hasanuddin di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2015.
Menurut dia, sesuai pasal 2 Perpres RI Nomor 26/2015 disebutkan Kantor Staf Presiden mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam mengendalikan program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis.
"Ketiga tugas tersebut sesungguhnya bisa diatur sebagai berikut. Pertama, program prioritas nasional dapat dimasukkan di bawah Wapres, mengingat Presiden dan Wapres sesungguhnya satu paket yang tidak bisa dipisahkan dalam memutuskan program-program prioritas," katanya lagi.
Kedua, tugas komunikasi politik sebaiknya dimasukkan dalam tugas seskab, karena salah satu tugas seskab antara lain melakukan komunikasi politik dengan legislatif, atau lembaga-lembaga negara lainnya. Ketiga, pengelolaan isu-isu strategis dapat dikoordinasi oleh mensesneg atau seskab, karena di dua lembaga ini lah tugas itu juga sudah ada.
Mengenai wewenang Kantor Staf Kepresidenan dapat membentuk tim khusus atau gugus tugas lintas kementerian untuk menangani masalah khusus, menurut Hasanuddin, sebenarnya tugas itu dapat dilakukan oleh Wakil Presiden.
"Saran saya, tugas ini dapat dibentuk oleh Wapres yang memang bertugas di bidang pengawasan. Sekali lagi sebaiknya lembaga KSP dilikuidasi saja masuk ke tiga lembaga di atas," ujarnya.
Tak hanya Hasanuddin, organisasi dan berbagai LSM yang tergabung dalam relawan Jokowi-JK juga menuntut pembubaran lembaga tersebut. Mereka mendatangi gedung Mahkamah Agung untuk mengajukan uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 190 Tahun 2014 mengenai pembentukan Staf Kepresidenan oleh Presiden Jokowi, Rabu, 18 Februari 2015.
Relawan juga menagih janji Jokowi yang akan mengefisiensikan dan mengefektifkan pemerintahannya saat berkampanye dahulu. Namun, ketika sudah menjabat, Jokowi malah membentuk staf yang seharusnya tidak perlu ada.
"Katanya dalam janji kampanye, Jokowi ingin menghemat belanja negara, tetapi sekarang membentuk Staf Kepresidenan yang saya rasa tidak perlu," kata salah satu relawan Jokowi-JK, Erfandi.
Erfandi menganggap pembentukan Staf Kepresidenan merupakan penambahan beban belanja negara, karena pejabat di dalamnya setara dengan menteri, sehingga gaji dan fasilitasnya yang didapat sama dengan seorang menteri.
"Bayangkan ada berapa banyak pejabat di dalamnya dan setara menteri ada beberapa orang, ini kan pemborosan karena sudah ada mensesneg dan seskab yang membantu Presiden," ujar Erfandi.
Selain masalah pemborosan belanja negara, Erfandi menegaskan pembentukan Staf Kepresidenan juga cacat hukum dan tidak mempunyai landasan hukum di atasnya, sehingga nanti menimbulkan ketidakpastian hukum dan terjadi tumpang tindih jabatan dan fungsi yang justru melanggar asas umum pemerintahan yang baik.
Staf Kepresidenan dikepalai oleh politisi senior Partai Golkar, Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut dilantik oleh Presiden Jokowi pada Rabu, 31 Desember 2014. Namun kini, Luhut ditunjuk oleh Jokowi menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
***
Jokowi Gamang
Presiden Jokowi hingga saat ini masih gamang untuk memutuskan kelanjutan jabatan kepala Staf Presiden. Dia masih menimbang perlu tidaknya pengangkatan kepala Staf Presiden baru menggantikan Luhut atau melebur Kantor Staf Presiden dengan Sekretariat Kabinet.
"Presiden belum memutuskan tentang apakah segera mengangkat yang baru. Secepatnya diputuskan," kata Menteri Sekretaris Negara, Pratikno di Gedung DPR, Jakarta, Jumat, 14 Agustus 2015.
Kekosongan kepala Staf Presidenan terjadi lantaran Jokowi melantik Luhut sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan. Dia menggantikan menteri sebelumnya Tedjo Edhy Purdijatno yang di-reshuffle pada Rabu, 12 Agustus 2015.
Itu sekaligus menjadi pekerjaan tambahan bagi Jokowi untuk memikirkan ulang keberadaan Kantor Staf Presiden yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2015. Meski begitu, hingga saat ini, diakui Pratikno, belum ada rencana mengeluarkan keputusan Presiden (keppres).
"Kalau pengangkatan kan butuh keppres," ucap Pratikno.
Namun, belum tentu keppres itu dibuat untuk pengangkatan kepala baru. Keputusan Presiden bisa juga untuk meletakkan Kantor Staf Presiden di bawah Setkab.
"Belum ada keputusan," kata dia.
Jokowi menyatakan bahwa ia tengah mempersiapkan pengganti Luhut. Dia bahkan mengaku nama-nama calon sudah disiapkan saat ini, sehingga tak mungkin bila Luhut merangkap jabatan.
"Bukan merangkap jabatan, tapi sementara. Sementara ini disiapkan," ujar Jokowi.
Namun rupanya, Jokowi juga tengah mengevaluasi keberadaan Kantor Staf Presiden apakah layak dipertahankan atau akan bergabung di bawah Sekretariat Kabinet.
"Itu yang lagi dihitung," kata Presiden.
Terkait persoalan itu, Luhut mengaku belum mengetahui apakah Presiden akan segera memberhentikannya atau tidak sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Dia hanya berkata diplomatis.
"Tanya Presiden sekarang. Itu hak prerogatif Presiden."