Menangkal Penjajahan Siber Indonesia
- iStock
VIVA.co.id - Badan Cyber Nasional (BCN) memang cukup menyita perhatian besar dari masyarakat Indonesia. Meski secara resmi badan ini belum lahir, BCN sudah menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat.
Pro-kontra sudah muncul saat pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) akhir tahun lalu, pertama kali mewacanakan badan ini ke publik. Kontroversi awal yang mengemuka terkait BCN ini adalah perlu dan tidaknya BCN.
Namun, setelah beberapa bulan bergulir, tampaknya pemerintah, dengan koordinator Kemenpolhukam sudah bulat ingin segera melahirkan BCN. Pertimbangannya jelas, melindungi aset penting Indonesia dari potensi serangan siber. Bila tak segera disikapi, serangan siber sangat berpotensi merugikan perekonomian di Indonesia.
Belakangan, isu yang membetot perhatian publik seputar BCN, yaitu adanya kabar keterlibatan badan intelijen asing dalam pembentukan BCN. Kabar yang merebak, Kemenkopolhukam akan meminta bantuan Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Sontak hal ini membuat semua kalangan bereaksi. Alasannya jelas, unsur asing sangat ditakuti bisa merugikan pertahanan Indonesia.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai, pemerintah tak perlu melibatkan pihak asing dalam pembentukan BCN. Menurut dia, Indonesia sudah mampu berdiri secara mandiri, terlebih dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Heru mengatakan, masalah yang dihadapi oleh Indonesia itu bagaimana caranya mengamankan data dalam negeri dari serangan luar yang berusaha untuk mencuri data-data Indonesia.
"Memang, ini yang belum ada di Indonesia. Seperti waktu itu kita perang cyber dengan negara (lain), kan pemerintah nggak berdaya, malah anak-anak muda yang berjibaku hingga malam dan pagi hari meruntuhkan situs-situs penting," ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa 25 Agustus 2015.
Terlebih lagi, kata dia, saat ini Indonesia tak memiliki tentara siber. Untuk itu, fokus BCN, menurut dia, adalah mempertahankan dari serangan siber luar negeri, bukan diperuntukkan lainnya. Apalagi, bekerja sama dengan negara asing, sebab ujungnya akan terjadi penyadapan.
"Karena, ujungnya kita yang disadap, digali informasinya dengan teknologi seperti big data yang sedang ramai," kata Heru.
Kabar pelibatan badan intelijen asing itu juga menimbulkan reaksi dari Senayan. Komisi I DPR, yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika serta intelijen, turut gusar dengan kabar tersebut.
Anggota Komisi I, Sukamta, mengatakan, komisinya segera menjadwalkan pemanggilan Menkopolhukam dan Panglima TNI, guna mengonfirmasi kabar campur tangan intelijen asing tersebut.
"Saya juga mendapat info di media sosial seperti itu bahwa pembentukan Badan Cyber Nasional ini akan dilakukan melalui kerja sama dengan Amerika Serikat. Badan ini nanti kewenangannya juga bisa masuk ke wilayah privasi warga negara seperti yang dilakukan National Security Agency (NSA) di Amerika Serikat," ujar Sukamta, dalam keterangnnya kepada VIVA.co.id, Selasa 25 Agustus 2015.
Anggota DPR dari daerah pemilihan DI Yogyakarta itu mengatakan, Komisi I juga akan menanyakan apakah nantinya BCN akan bekerja sama dengan NSA dalam memantau percakapan privasi masyarakat.
Hal tersebut, menurut dia, perlu dipertegas. Sebab beberapa waktu lalu perusahaan BUMN telekomunikasi, Telkom, telah menjalin kerja sama e-goverment dengan perusahaan telekomunikasi asing, Singtel Singapura. Kerja sama itu dikhawatirkan akan menyedot data pemerintahan.
Sukamta mengatakan, alasan lebih jauh untuk menghindari campur tangan negara asing dalam BCN yaitu potensi penjajahan siber. Kekhawatiran ini, menurut dia, sangat logis melihat kekuatan siber antara Indonesia dan Amerika Serikat sangat jomplang.
"Kemampuan siber kita dengan Amerika jelas tidak seimbang. Kan malah repot kalau seperti itu (penjajahan siber) nantinya," kata Sukamta.
Terkait infrastruktur telekomunikasi, internet sampai satelit yang dikuasai asing, bagi Sukamta, bukan menjadi halangan Indonesia untuk berdaulat dalam pengelolaan siber nasional. Sebab, menurut dia, kemampuan SDM Indonesia secara teknis sudah mumpuni untuk mengelola siber nasional.
Bantahan pemerintah
Terkait hal ini, Menkopolhukam Luhut B Panjaitan membantah dengan tegas rencana pemerintah akan bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam pembentukan BCN dan membuat sistem keamanan siber. Luhut justru mengatakan sistem keamanan siber bertujuan untuk memperkuat kedaulatan bangsa.
“Sistem cyber yang akan dibentuk bukan malah untuk memata-matai warga negara sendiri,” kata Luhut dikutip dari situs Kepala Staf Presiden, ksp.go.id. Luhut pun saat ini tercatat masih menjabat kepala Kantor Staf Kepresidenan.
Luhut mengakui, untuk membentuk sistem dan BCN tersebut memang tidak bisa hanya Kemenpolhukam. Kementeriannya perlu menggandeng berbagai lembaga informasi pemerintah, semisal, Lembaga Sandi Negara, deputi siber di berbagai kementerian lembaga, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika maupun pakar IT.
Tekad itu sekaligus menampik isu yang beredar bahwa Indonesia bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk membuat sistem keamanan siber. Masyarakat sudah telanjur diresahkan dengan kabar Kantor Staf Presiden akan menggandeng CIA, dalam mengawasi arus komunikasi warga lewat sistem Big Data.
Sistem itu dirumorkan bakal mampu menyedot pembicaraan pribadi di aplikasi WhatsApp, BlackBerrry Messenger, dan program jejaring sosial lain.
“Justru, pembangunan cyber security nasional ini dimaksudkan untuk menangkis serangan, khususnya dari luar yang bisa memperlemah bangsa,” kata Luhut.
Masyarakat, kata Luhut, tak perlu khawatir jika melalui sistem big data, akan dipakai untuk memantau percakapan masyarakat dalam aplikasi sosial. Sebab, big data merupakan istilah umum untuk himpunan data dalam jumlah besar, rumit, dan tak terstruktur. Untuk itu, sulit ditangani kalau hanya menggunakan manajemen basis data.
“Jadi, tidak nyambung dengan isu sedot data,” kata Luhut.
Bantahan yang sama juga diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara. Menurut dia, memang banyak yang dilibatkan untuk membentuk sistem siber ini.
"Bukan cuma pemerintah, tapi multistakeholder lokal, termasuk di dalamnya Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi). Tidak ada kerja sama dengan CIA," kata dia usai acara Cyber Security Summit (ICSS) 2015 dan Indonesia Chief Information (id.CIO) Forum, Senin 24 Agustus 2015 di Jakarta.
Jangan ada cek kosong
Meski ditegaskan tak akan melibatkan asing dalam pembentukan BCN dan sistem keamanan siber Indonesia, tak lantas menjamin absennya penyadapan asing.
Pengamat dari Indotelko Forum, Doni Darwin, mengatakan, jika campur tangan itu bisa saja ditiadakan. Namun, tetap tidak bisa mencegah kemungkinan adanya penyadapan pihak asing terhadap data siber di Indonesia.
"Permasalahan penggunaan teknologi asing seharusnya bisa ditolak oleh pemerintah. Tapi, ya, kemungkinan disadap pasti ada lah," kata Doni kepada VIVA.co.id, Selasa, 25 Agustus 2015.
Lebih lanjut, Doni meminta masyarakat lebih kritis melihat sejauh mana BCN bisa menjamin keamanan dan perlindungan data warga Indonesia.
Ia mengatakan, masyarakat juga perlu fokus untuk melihat apakah nantinya BCN akan mewujud seperti NSA dan dipakai untuk menyadap warga Indonesia.
"Ini yang harus dikritisi," kata dia.
Dia meyakini jika permasalahan di arsitektur teknologi informasi terletak tidak hanya pada teknologi, namun pada sumber daya manusia. Disebutkannya, SDM atau operator IT sangat berbahaya bagi keamanan siber.
Dia mencontohkan ulah pembocor dokumen rahasia pemerintah AS, Edward Snowden. Pria yang kini berlindung di Rusia itu telah membuat AS meradang, karena membocorkan rahasia NSA kepada publik.
"Jadi, masalahnya, harus diatur wewenang Badan Cyber Nasional. Jangan dikasih cek kosong. Lindungi juga keamanan data pribadi warga lewat pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi, minimal dalam bentuk peraturan menteri," kata dia.
Peraturan perlindungan data pribadi itu, kata dia, bisa menjadi payung hukum bagi warga agar tidak menjadi bulan-bulanan Badan Cyber Nasional yang nantinya bisa melakukan penyadapan dengan seenaknya.