Perang Melawan Narkoba
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Di penghujung April lalu, Indonesia mengeksekusi delapan terpidana mati di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah. Ketegangan politik seketika menguat setelah itu.
Kecaman dan hujatan hingga dukungan bergantian mengalir atas penembakan delapan terpidana narkoba yang telah digugurkan hak grasinya oleh presiden. Ada kurir, juga bandar.
Kala itu, presiden bersikukuh bahwa apapun yang terjadi terkait eksekusi mati, khususnya untuk bandar narkoba, tidak ada yang bisa menghentikannya.
"Tidak ada yang bisa mengintervensi eksekusi mati. Indonesia sedang darurat narkoba. Ini adalah kedaulatan hukum kita," ujar Jokowi beberapa waktu lalu.
Sontak eksekusi mati langsung menggosok sentimen nasionalisme masyarakat. Kecaman sejumlah negara asing dan aktivis hak asasi manusia pun lewat begitu saja.
Sikap tanpa tawar Indonesia mengeksekusi bandar narkoba, sesungguhnya berdasar sikap pemerintah dari kondisi negara yang sudah dibelit narkoba.
Setidaknya, ada 4,1 juta orang hingga tahun 2015 sudah menjadi korban narkoba. Kerugian negara akibat ini pun tanggung, mencapai Rp63 triliun.
"Tidak ada pilihan untuk tidak menyatakan perang terhadap narkoba," ujar Jokowi dalam sambutannya di peringatan Hari Anti Narkotika, Jumat 26 Juni 2015.
Yang lebih mengerikan, jumlah prevelansi narkoba yang mencapai 4,2 juta orang tersebut, ternyata belum mencantumkan jumlah korban meninggal akibat itu.
"Setiap hari ada 50 orang generasi muda yang mati karena narkoba. Kalikan satu tahun, bisa 18 ribu orang meninggal. Ini angka sangat besar sekali," ujar Jokowi.
Namun demikian, belakangan jargon 'darurat narkoba' yang merujuk ke sejumlah data mengerikan tentang narkoba di Indonesia mulai mendapat protes dari sejumlah peneliti.
Dalam surat terbuka yang dituliskan dalam jurnal ilmiah terkemuka Inggris, puluhan peneliti ahli Indonesia menyatakan keraguannya terhadap jargon 'darurat narkoba'.
Riset peneliti menemukan dasar yang kerap digunakan pemerintah patut diverifikasi ulang. Sebab, data yang dikumpulkan peneliti justru menunjukkan ada penurunan prevelansi.
"Setiap nyawa manusia sangat berharga. Kita semua tidak mau nyawa manusia yang produktif sia-sia karena narkotika atau karena kebijakan negara yang tidak didasarkan atas data dan informasi terbaik,“ ujar salah seorang peneliti dalam jurnal The Lancet yang juga peneliti dan pengamat senior di Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya, Irwanto.
Penanganan Tak Sinergis
Terlepas dari perdebatan itu. Harus diakui bila narkoba memang membahayakan. Daya rusaknya yang menakutkan bisa mengancam siapa saja.
Dari 354 jenis narkoba yang ada di dunia, setidaknya 35 di antaranya beredar di Indonesia. Sebab itu, kewaspadaan akan ini memang perlu ditingkatkan.
Apalagi dari data Badan Nasional Narkotika dengan prevalansi pengguna narkoba yang mencapai 2,18 persen dari jumlah penduduk, narkoba telah menyerang orang Indonesia dari umur 10 tahun hingga 59 tahun.
Sejauh ini, secara keseluruhan, Indonesia memang telah mencanangkan program untuk merehabilitasi sekira 100 ribu orang pengguna setiap tahunnya.
Namun, langkah ini tetap belum sinergis. Terbukti, selama lima tahun kebelakang, upaya rehabilitasi belum sejalan dengan penindakan. Tercatat hingga Juni 2015, baru 9.047 orang yang mendapatkan program rehabilitasi di BNN, 4.126 ditangani Kementerian Kesehatan dan 3.161 orang ditangan Kementerian Sosial.
Sedang lainnya, sekira 20 ribu orang sepanjang lima tahun ke belakang justru dipenjara. "Kondisi itu sangat disayangkan dengan pencanangan kami untuk merehabilitasi pecandu narkoba," ujar Kepala BNN Anang Iskandar.
Alhasil, tidak sinergisnya upaya penanganan narkoba tersebut, akhirnya berbuah pada tak berhentinya peredaran narkoba di Indonesia.
Bahkan yang lebih memilukan adalah peredaran narkoba justru terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan. Tempat dimana para pecandu narkoba sedianya hendak ditangani.
Lapas Khusus Narkoba
Awal Mei 2015, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, memastikan pemerintah akan menyediakan lembaga pemasyarakatan khusus untuk pengguna narkoba.
Nantinya, seluruh bandar narkoba ataupun pengguna, akan dikumpulkan dalam satu wadah khusus dan dengan pengamanan maksimal. "Ini untuk menekan masih adanya narkoba yang diedarkan di lapas-lapas. Nanti akan disediakan tiga atau empat lapas khusus untuk ini," ujar Yasonna.
Keinginan pemerintah itupun diwujudkan di kawasan Gunung Sindur, Bogor Jawa Barat. Ditargetkan lapas yang akan menampung 30 napi narkoba itu akan diresmikan.
"Untuk lapas yang dua lagi menyusul. Biar jalan dulu yang di Gunung Sindur, baru dievaluasi," ujar Pelaksana Tugas Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ma'mun, Kamis 25 Juni 2015.
Namun, terlepas dari langkah itu. Indonesia memang sepatutnya meracik ulang definisi 'perang' terhadap narkoba.
Sebab, pengertian itu cenderung didefinisikan oleh publik sebagai sebuah eksekusi mati. Sehingga menerabas norma, ketentuan dan upaya pengananan narkoba secara jangka panjang.
Karena itu, konsep penyediaan lapas khusus narkoba dan perehabilitasian 100 ribu pecandu setiap tahunnya, layak dimaksimalkan. Indonesia perlu merumuskan sebuah strategi baru tentang penanganan terhadap sebaran narkobanya.
"Pendekatan perang melawan narkotika, telah terbukti gagal di berbagai negara lain di dunia. Bahkan menyebabkan lebih banyak masalah dibandingkan membantu menyelesaikan masalah,” ujar peneliti di Jurnal Ilmiah The Lancet Inggris, Irwanto, dalam keterangan tertulisnya kepada VIVA.co.id, Jumat 5 Juni 2015.
Menurut Irwanto, Indonesia sesungguhnya telah memiliki sejumlah program berbasis kesehatan yang secara empirik telah memberikan hasil positif sejak awal tahun 2000.
Sejumlah pilihan program itu seperti, penyediaan dan penukaran jarum dan alat suntik steril, terapi substitusi opioid, serta perawatan (adiksi) napza yang sukarela dan berbasis komunitas.
Namun demikian, sayangnya beragam program itu justru tak menjadikan komitmen dan pilihan penting strategi menghadapi narkoba di Indonesia.
Akibatnya, kebijakan yang ada tidak menyediakan ruang dan peran bagi program kesehatan secara bermakna.
"Kita memiliki kewajiban etis untuk menyediakan pilhan-pilihan yang dapat menyelamatkan nyawa (ketimbang hukuman mati). Pendekatan berbasis rasa takut harus diubah menjadi pendekatan berbasis kesehatan," ujar Irwanto. (umi)