Mempertajam Gigi 'Polisinya' Polisi
Jumat, 5 Juni 2015 - 08:56 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Andika Wahyu
VIVA.co.id
- Beberapa waktu lalu publik dibuat riuh dengan pola penegakan hukum di Indonesia. Beberapa kali, dengan vulgarnya polisi mempertontonkan aksi mereka saat menindak.
Sebut saja saat proses penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Bambang Widjojanto. Dengan lantang 'aksi koboi' dipertontonkan bak menangkap teroris. Bambang dicokok di depan anaknya lengkap dengan 'todongan' polisi bersenjata.
Aksi ini serupa pun berulang pada penyidik KPK Novel Baswedan. Di tengah malam, sepasukan polisi pun ikut menggeruduk rumah pribadi Novel dan kemudian memaksanya ikut untuk diterbangkan ke Bengkulu.
Baca Juga :
Jurnalis Ramaikan Bursa Kompolnas
Sebut saja saat proses penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Bambang Widjojanto. Dengan lantang 'aksi koboi' dipertontonkan bak menangkap teroris. Bambang dicokok di depan anaknya lengkap dengan 'todongan' polisi bersenjata.
Aksi ini serupa pun berulang pada penyidik KPK Novel Baswedan. Di tengah malam, sepasukan polisi pun ikut menggeruduk rumah pribadi Novel dan kemudian memaksanya ikut untuk diterbangkan ke Bengkulu.
Keriuhan ini jelas membingungkan publik. Siapa yang bisa menghentikan pamer kekuatan ini. Atau lembaga manakah yang bisa 'menjewer' polisi, ketika mereka sudah kebablasan.
Hingga kini pertanyaan itu masih belum bertemu jawab. Kehadiran Kapolri definitif Jenderal Badrodin Haiti, pun masih dinilai publik sebagai representasi dari kekuatan polisi. Karena itu tak cukup mampu meredam keriuhan ini.
Namun belakangan, muncul beragam pertanyaan. Bukankah negara memiliki Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Lembaga yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab langsung pada Presiden ini, akhirnya dipercaya bisa menjadi tumpuan.
Lembaga yang lahir sejak tahun 2005 dan diberikan kewenangan sebagai pemberi pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri ini pun akhirnya ikut menuai sorotan publik.
Tak Bergigi
Secara perundangan, Kompolnas dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2005 yang selanjutnya diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2011 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kompolnas memiliki fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri. Fungsi ini dapat dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri.
Sementara dalam kewenangannya, selain mengumpulkan dan menganalisis data berkaitan dengan anggaran kepolisian dan SDM Polri. Ia juga dapat menjadi lembaga penerima saran dan keluhan publik atas kinerja kepolisian.
Namun demikian, kekuatan lembaga ini tetap terbatas. Label Kompolnas yang sedianya bisa menjadi 'polisinya' polisi, masih jauh terwujud.
"Kompolnas yang kuat, keras dan (bisa) gigit ke polisi itu belum ada," ujar Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala, Kamis 4 Juni 2015.
Ia mengatakan, saat ini Kompolnas telah mengajukan permohonan untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Perubahan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Kompolnas.
Terdapat sejumlah poin yang hendak direvisi. Utamanya dalam tugas pokok, fungsi dan wewenang dari Kompolnas. Sehingga, posisi Kompolnas dapat lebih bertaji dan memiliki kekuatan yang mengikat tak sebatas rekomendasi.
Namun waktu berjalan, di usianya yang sudah 10 tahun. Kini Kompolnas mengajukan kembali penambahan kekuatannya. Apakah ini berkaitan dengan semakin peliknya masalah di penegakan hukum di Indonesia atau tidak.
Namun, wacana penguatan kewenangan ini kembali terlontar. Dan dengan harapan yang sama, mampu memperkuat 'gigi' yang sudah dimiliki Kompolnas. "Perkuat kami sebagai watchdog. Kami juga perlu imunitas," ujar Adrianus.
Sejauh ini, kepolisian merespons baik wacana perevisian kewenangan lembaga eksternal Polri tersebut. Namun demikian, mengingat terbatasnya jumlah personel Kompolnas dan luasnya obyek yang hendak diawasi dalam tubuh Polri, maka sepatutnya, Kompolnas menerapkan sebuah strategi yang matang dan komprehensif. "Jadi pengawasannya bukan kasus per kasus. Buat penelitian, kira-kira dimana kebijakan yang salah, baru diperbaiki. Kalau satu per satu nggak akan selesaikan masalah," ujar Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Keriuhan ini jelas membingungkan publik. Siapa yang bisa menghentikan pamer kekuatan ini. Atau lembaga manakah yang bisa 'menjewer' polisi, ketika mereka sudah kebablasan.