Beras Plastik, Nyata atau Isu?
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Sepekan sudah masyarakat diresahkan dengan isu beredarnya beras berbahan plastik. Meredam gejolak ini, sejumlah pihak terus bertindak dan berkoordinasi.
Senin 25 Mei 2015, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Pol. Badrodin Haiti, bertemu dengan Menteri Perdagangan, Rahmat Gobel di Polda Metro Jaya.
"Kepolisian berkoordinasi dengan Kemendag untuk membicarakan beredarnya beras berbahan plastik," ujar Badrodin, kepada wartawan, usai rapat koordinasi dengan mendag di Polda Metro Jaya.
Dari pertemuan selama hampir setengah jam itu, Badrodin mengatakan, saat ini kepolisian masih menunggu hasil sampel beras yang diduga berbahan baku plastik itu.
"Kami masih tunggu hasil dari Puslabfor (Pusat Laboratorium Forensik), Kemendag, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), dan termasuk juga dari IPB (Institut Pertanian Bogor)," tutur Badrodin.
Badrodin menjelaskan, isu beredarnya beras berbahan plastik menimbulkan keresahan di masyarakat. "Isu ini harus kami selesaikan. Kami akan cek apakah ini betul ada beras berbahan plastik atau mungkin hanya isu saja, ini yang akan kami selidiki," kata Badrodin.
Hinggai saat ini, Badrodin mengatakan, laporan mengenai beras berbahan plastik sudah banyak. Namun, hal tersebut masih dalam penyelidikan.
"Kalau laporan banyak, tapi hanya sebatas curiga-curiga saja, seperti, ini kok berasnya mengkilat," ujar Badrodin.
Badrodin menjelaskan, untuk hal tersebut harus mendapatkan dukungan dari hasil laboratorium forensik agar ada bukti. "Tunggu hasil lab, dan semuanya membutuhkan waktu," kata dia.
Sementara itu, Menteri Rahmat akan mendata produsen beras dan mengatur kembali soal mereknya. "Karena isu ini, Kementerian Perdagangan akan mengatur kembali semua merek dagang yang ada," ujar Rahmat.
Selain dengan Polri, Rahmat menjelaskan, saat ini Kemendag juga berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dalam kasus ini. "Kami akan pantau siapa yang memproduksi barang-barang itu, tapi selama ini kami juga kurang paham siapa yang memproduksinya," ujarnya.
Temuan terbaru, satu keluarga di Depok, Jawa Barat, mengalami keracunan yang diduga karena mengonsumsi beras palsu berbahan sintetis.
Korban adalah Naiman (55) dan keluarganya, warga Jalan Inpres RT 3 RW 2 Kelurahan Ratujaya, Kecamatan Cipayung, Depok.
"Beras itu saya dapat Sabtu. Kemudian dimasak istri saya. Tadinya kami enggak curiga, tapi usai makan beras itu sekeluarga lemas, kepala pusing dan mual. Anak saya muntah-muntah," katanya, saat ditemui di kediamannya, Senin 25 Mei 2015.
Rasa lemas, mual, dan pusing yang disertai muntah-muntah tak hanya dirasakan Naiman, anak dan istrinya pun merasakan hal yang sama. Panik, Naiman pun sempat berobat ke dokter.
"Saya baru tahu kalau ada beras plastik. Tadinya enggak tahu, karena lapar. Nah bener aja, pas dibakar berasnya bau plastik asapnya. Kalau dikunyah kenyal kaya kurang matang," ujarnya.
Pengalihan isu
Namun demikian, mendag malah menduga, beredarnya beras plastik hanya sebatas isu. Seperti yang pernah dialami Malaysia.
"Saya kebetulan baru menghadiri acara rapat APEC dan bertanya kepada menteri perdagangan Malaysia terhadap isu ini. Isu yang sama (beras plastik) ada, tapi ternyata tidak ada (beras plastik), jadi memang ada isu yang diangkat," ujarnya, di Polda Metro Jaya, Senin 25 Mei 2015.
Hal senada juga diungkapkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik, Natsir Mansyur, mengatakan, penilaian ini didasarkan karena harga biji plastik yang lebih mahal dibandingkan harga beras.
"Menurut saya, ini murni bukan bisnis, biji plastik itu lebih mahal dua kali lipat dibandingkan beras. Kalau dicampur dan dijual lebih murah, itu bukan motif dagang jadinya. Saya kira ini pengalihan isu atau motif politik saja," kata Natsir, di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin 25 Mei 2015.
Dia menjelaskan, seandainya kejadian ini hanya motif dagang atau ekonomi, maka seharusnya pelaku mencampur beras dengan komoditas yang harganya jauh lebih murah, seperti jagung atau beras yang kualitasnya jelek.
"Kalau begitu, baru motif dagang yang mencari keuntungan. Kalau dicampur plastik itu sudah kriminal," ucap Natsir.
Sementara itu, mengenai pembuatan biji plastik untuk dibentuk seperti beras, dia menilai, alat tersebut mudah saja dibuat di dalam negeri dengan menggunakan alat pembuat mesin kantong plastik.
"Saya enggak tahu itu impor atau dari dalam (beras plastik). Ini teknologinya bisa dibuat di sini dan sederhana saja saya kira," tuturnya.
Sementara itu, BPOM telah selesai melakukan uji sampel beras plastik yang beredar di pasaran. Lembaga itu langsung menyerahkan hasilnya kepada kepolisian untuk dijadikan sebagai barang bukti.
"Badan POM telah selesai uji sampel yang diberikan oleh Polri. Jadi hasilnya tentu kami serahkan kepada Polri," kata Kepala BPOM, Roy Sparringga, di Istana Negara, Jakarta, Senin 25 Mei 2015.
Namun, Roy enggan mengatakan hasil dari uji laboratorium beras yang diduga sintetis tersebut. Sebab, hal itu adalah sampel penyidikan.
"Tentu Polri yang berhak untuk ini ditindaklanjuti," tuturnya.
Hasil uji laboratorium itu, kata Roy, sudah rampung pada Jumat pekan lalu, sehingga dipastikan kepolisian sudah menerima hasilnya.
Roy mengatakan, uji laboratorium dilakukan untuk menguji kandungan zat pada beras yang diduga palsu tersebut. Uji sampel juga bertujuan untuk mengetahui risiko bagi orang yang telah mengonsumsi beras itu.
Beras tiruan BPPT
Namun, terlepas dari benar tidaknya dugaan pengalihan isu terkait beras berbahan plastik, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengembangkan beras tiruan atau beras analog yang dibuat dari bahan baku lokal.
Beras analog ini diklaim menyehatkan dan tidak mengandung bahan kimia seperti beras yang berbahan baku plastik yang diduga banyak beredar di pasar Indonesia saat ini.
Dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet (setkab.go.id), Senin 25 Mei 2015, Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi, Listyani mengatakan, bahan baku beras tiruan ini berasal dari jagung dan ubi-ubian yang tumbuh subur di Indonesia.
"Beras ini berasal dari jagung, ubi kayu, dan atau sagu, sehingga dijamin aman bahkan mempunyai manfaat kesehatan seperti indeks glikemik rendah," kata dia.
Menurut Listyani, meskipun sama-sama tiruan, beras analog sangat berbeda dengan beras plastik. Karena, dalam jangka pendek beras plastik dapat menyebabkan keracunan, dan dalam jangka panjang akan merusak organ-organ tubuh seperti ginjal serta organ pencernaan.
Sementara itu, beras analog yang dikembangkan BPPT sama sekali tidak menggunakan bahan baku kimia, sehingga tidak mengganggu kesehatan. Karena itu, di samping teknik proses produksinya terus dikembangkan, diseminasi teknologi juga telah dilakukan melalui pelaku usaha (UKM) di beberapa daerah.
"Yang paling penting, beras analog ini menggunakan bahan baku lokal, sehingga mengurangi ketergantungan akan pangan impor, termasuk impor beras," tuturnya. (art)