Membayangkan Singapura, Setelah Ditinggal Lee Kuan Yew
- REUTERS/Toru Hanai/Files
VIVA.co.id - Saat partainya nyaris menyapu bersih kursi yang diperebutkan pada pemilu 2006, Lee Kuan Yew sang pendiri Singapura modern mengeluarkan pernyataan penting bagi rakyatnya. Saat itu dari 84 kursi yang diperebutkan, hanya dua yang tak mampu diraih.
"Harap jangan berpikir bahwa Anda dapat mengubah pemerintah. Orang muda tidak mengerti ini," kata Lee. Pernyataannya itu memiliki makna mendalam, terutama saat ini.
Lee Kuan Yew merupakan sosok penting, di balik kesuksesan Singapura membangun negara kota, yang luasnya tidak lebih dari wilayah DKI Jakarta atau sekitar 660 kilometer persegi.
Setelah menjadi perdana menteri pertama Singapura pada 1959, Lee membuat keputusan bersejarah dengan mendeklarasikan kemerdekaan dari Inggris dan Malaysia, pada 9 Agustus 1965.
Dia menggunakan visi ekonominya yang kuat, serta tangan besi untuk membangun Singapura dari negara dunia ketiga bekas wilayah penjajahan, menjadi salah satu pusat perdagangan dunia.
Walau kekuasaannya selama tiga dekade sebagai perdana menteri berakhir pada 1990, dia tetap memiliki pengaruh dalam pemerintahan Goh Chok Tong, dengan menjabat sebagai Menteri Senior.
Pengaruh Lee Kuan Yew terus berlanjut, setelah putranya Lee Hsien Loong naik sebagai PM pada Agustus 2004. "Singapura kini mencari perubahan dan evolusi," kata pakar Asia Tenggara, Ernest Z Bower.
Titik Belok
Bower yang dikutip laman The Washington Post, menyebut ada sedikit kekhawatiran tentang masa depan Singapura, tanpa keberadaan pendirinya. "Lee Kuan Yew ada selama dia bernapas," ucapnya.
Lee Kuan Yew sukses membangun perekonomian Singapura, dengan menerapkan regulasi yang longgar serta pajak rendah. Namun kesuksesan ekonomi Singapura, terjadi dengan mengorbankan kebebasan sipil.
Media dikontrol, oposisi politik bahkan tidak mendapat toleransi. "Bahkan Lee Hsien Loong mengakui bahwa Singapura berada pada titik berbelok," tulis Washington Post.
Generasi tua Singapura masih mengingat, seperti apa kondisi hidup sebelum transformasi Singapura. Mereka secara sukarela menerima pembatasan kebebasan sipil, untuk kemajuan ekonomi.
Namun publik muda Singapura, yang saat ini berada pada usia 20-an dan 30-an tahun, telah terpengaruh dengan dunia Barat. Mereka berada pada situasi sebaliknya, jumlah mereka pun semakin meningkat.
"Generasi sebelumnya bahagia dengan Lee Kuan Yew, saat dia masih menjabat PM. Semua kepentingan mereka telah diurus oleh negara," kata Abdul Kadir bin Ibrahim, pemilik toko baju di Singapura.
Namun generasi muda menurut Kadir lebih kritis. "Sebagian besar berpendidikan tinggi. Mereka datang dari keluarga-keluarga mapan, yang tidak perlu berjuang untuk bertahan hidup," ujarnya.
Generasi Muda
"Kami secara simultan cinta dan benci, hormat dan memandang rendah, menghargai dan membenci pria itu (Lee Kuang Yew)," tulis Carlton Tan, seorang pemuda Singapura dalam satu artikel opini.
Pendapat Tan itu tampak mewakili perasaan sebagian besar generasi muda Singapura. "Kami bersyukur atas perkembangan ekonomi kami selama beberapa dekade, tapi kami membayangkan apakah sungguh perlu untuk mengorbankan kebebasan," katanya.
Kesempatan untuk memilih Singapura yang berbeda, semakin dekat dengan pemilu yang akan digelar pada 2016 mendatang. Setahun setelah Singapura ditinggal oleh pendirinya.
Pada pemilu terakhir, 2011, PAP kehilangan enam dari 87 kursi parlemen, sebuah hasil yang dinilai memperlihatkan hasrat untuk suatu perubahan. Oposisi diperkirakan dapat memenangkan lebih banyak kursi tahun depan.
Perubahan politik telah terakselerasi akibat alasan ekonomi, dengan melebarnya jurang pendapatan. Jumlah miliarder bertambah, sementara sebagian publik Singapura berhadapan dengan tingginya biaya hidup.
Imigran juga menjadi salah satu isu, dengan orang asing telah mencapai sepertiga dari total populasi. Selama ini imigran bekerja di sektor yang tidak diminati publik Singapura, sebagai buruh konstruksi dan pekerja domestik.
Namun saat ini ada kegelisahan, bahwa imigran mulai merebut berbagai sektor yang selama ini dinikmati publik Singapura berpendidikan.
Memahami Singapura
Pada wawancara dengan New York Times pada 2007 silam, Lee Kuan Yew yang mundur sebagai PM pada 1990, mengatakan bahwa untuk memahami Singapura, seseorang harus memulainya dengan satu cerita tentang kemustahilan.
"Ini adalah sebuah bangsa dengan hampir tanpa sumber daya alam, tanpa kebudayaan yang sama, keragaman yang rapuh dari etnis China, Melayu dan India yang mengandalkan kecerdasan untuk tetap terapung dan makmur," ucapnya.
Lee menekankan bahwa Singapura telah selamat menempuh perjalanan selama 42 tahun (2007). "Apakah kita akan selamat untuk 42 tahun selanjutnya? Itu tergantung pada kondisi dunia, tidak pada kita sendiri," ucapnya.
Kerapuhan yang terpendam dalam sejarah Singapura, adalah jawaban Lee Kuan Yew pada semua pengkritiknya, pada semua yang menuduhnya bersikap keras dalam menangani oposisi.
"Jawabannya terletak pada asal muasal kami. Walau apa yang Anda lihat hari ini, struktur super sebuah negara modern, dasarnya sangat tipis dan dapat dengan mudah terdisintegrasi," ujarnya.
Lee Kuan Yew mengatakan dia tidak merasa telah bertindak terlalu jauh, dalam tindakan terhadap para lawan politiknya, yang kerap disertai dengan masa hukuman penjara yang panjang.
"Saya pikir tidak. Saya tidak pernah membunuh mereka. Saya tidak pernah menghancurkan mereka. Secara politik, mereka menghancurkan diri mereka sendiri," ucapnya.
Rahasia Singapura
Lee mengungkap, rahasia Singapura terletak pada tidak adanya ideologi. Pragmatisme sentimental, yang menanamkan bahwa cara kerja negara itu sendiri merupakan sebuah ideologi.
"Apakah itu berjalan?" tanya Lee. "Mari coba dan jika itu bekerja, lanjutkan. Jika tidak, maka hentikan dan coba yang lain." Keberadaan dua kasino di Singapura, menjadi contoh pragmatisme Lee.
Lee dengan tegas menyebut dirinya tidak menyukai kasino. "Tapi dunia telah berubah, dan jika kita tidak memiliki resor yang terintegrasi seperti di Las Vegas, kita akan kalah," katanya.
Jadi dia membiarkan dua kasino dibangun untuk menarik lebih banyak turis ke Singapura. "Mari coba dan buat tempat itu aman, bebas mafia, bebas prostitusi dan bebas dari pencucian uang."
"Saya pikir kita harus pergi ke arah mana pun kondisi dunia memaksa, jika kita ingin bertahan dan menjadi bagian dari dunia modern. Jika kita tidak terkoneksi, kita akan mati. Kita akan kembali jadi desa nelayan seperti dahulu," katanya.
Sementara untuk masalah hubungan sejenis, Lee mengakui bahwa Singapura memilih posisi yang ambigu. Singapura membiarkannya, namun tidak akan mengubah hukum untuk melegalkannya.
Bahkan walau China, Hong Kong dan Taiwan telah memiliki kebijakan lebih liberal untuk hubungan sejenis, hukum di Singapura masih menganggapnya ilegal, walau pemerintah tidak akan secara aktif menegakkannya.
Pada banyak negara, identitas nasional berkembang dari kesamaan suku, ras dan agama. "Beberapa negara terlahir merdeka. Lainnya memperjuangkan kemerdekaan," kata Lee.
Lee menegaskan, Singapura membuat satu negara yang terdiri dari kumpulan migran berbeda suku bangsa, yang kemudian harus menciptakan identitas nasionalnya.
Pada bukunya berjudul "Men In White: The Untold Story Of Singapore's Ruling Political Party", Lee menjelaskan bagaimana dia harus membuat keputusan tentang bahasa resmi.
Etnis China memang merupakan mayoritas populasi Singapura. Tapi Lee tidak mau jika kebudayaan China menjadi dominan. Dia mengedepankan pentingnya harmoni antar ras.
Sekalipun etnis Melayu beragama Islam adalah komunitas minoritas, namun perhatian yang diterima tetap sama besar. Untuk proses pembentukan jati diri, Lee bahkan melarang sekolah-sekolah dasar berbahasa China.
Identitas dalam perspektif Lee adalah tercapainya rasa memiliki, bukan dari mana seseorang berasal. Pencapaian Singapura adalah perjalanan panjang yang membentuk nilai-nilai.
Kesejahteraan Singapura saat ini merupakan salah satu aset berharga, yang membuat publik Singapura merasa memiliki negaranya, merasa perlu mempertahankannya.
Perubahan
"Kami memiliki sebagian populasi muslim, bagian lain generasi tua China dan India yang konservatif. Jadi biarlah perubahan terjadi perlahan. Itu pendekatan pragmatis untuk mempertahankan kohesi sosial," ucapnya.
Lee menyebut hanya masalah waktu hingga perubahan terjadi. Itu dapat jelas terlihat dari perbedaan antar generasi di Singapura. Di dalam keluarga pun, nilai-nilai terus berubah.
"Mereka memiliki dasar nilai-nilai tradisional Konfusian," kata Lee tentang anak-anaknya, dua putra dan seorang putri. "Tapi cucu-cucu saya tidak." Lee mengatakan Singapura bukan komunitas tertutup.
Singapura tidak menutup diri pada perubahan. Namun pemerintah bertugas mengawal perubahan, yang oleh Lee disebut sebagai caranya menjadikan Singapura sebagai oase kelas satu di wilayah dunia ketiga.
"Kami membangun infrastruktur. Bagian tersulit adalah membuat orang mengubah kebiasaan, agar berperilaku seperti warga dunia kelas satu, bukan dunia ketiga dengan meludah dan membuang sampah di segala tempat," kata Lee.
Jadi Singapura membuat kampanye untuk melakukan ini dan itu. "Jangan mengunyah permen karet. Jangan membuang sampah dari atap. Bicara bahasa Inggris yang baik. Lakukan tindakan kebaikan yang spontan," ucapnya.
Terdengar paradoks, Lee mengatakan jika tidak sangat miskin pada awalnya, mungkin Singapura tidak akan dapat mengubah dirinya menjadi negara modern seperti saat ini.
Kerja Keras
Penulis buku Managing Country Risk, Daniel Wagner, menulis kesuksesan dicapai Singapura karena kemampuan untuk terus beradaptasi dengan realitas ekonomi regional dan global.
Pertanyaan tentang demokrasi macam apa yang diciptakan Lee Kuan Yew, tenggelam di balik panggung keajaiban ekonomi Singapura yang tidak tertandingi di Asia Tenggara.
Peringatan Lee tentang kerapuhan dan ancaman jatuhnya Singapura, dapat meyakinkan orang-orang Singapura untuk menerima pembatasan kebebasan mereka oleh pemerintah.
"Andai kami memiliki minyak dan gas, apakah Anda pikir saya dapat membuat orang-orang melakukan ini? Tidak. Jika kami memiliki minyak dan gas, saya akan mendapatkan orang dengan motivasi dan ekspektasi berbeda," ucapnya.
Lee menegaskan karena orang Singapura sadar, mereka tanpa minyak dan gas, sehingga mereka tahu bahwa perkembangan hanya dapat dicapai dari kerja keras, serta melakukannya dengan sangat baik.
Kunci dari keberhasilan Singapura adalah pemimpin yang punya visi, penuh dedikasi, tegas dan jujur. Sulit bagi Lee memerintah dengan tangan besi, jika dia tidak dapat menjaga kepercayaan rakyatnya.
Dia tidak korupsi. Itu yang membedakannya dengan banyak pemimpin lain. Lee juga mampu mewujudkan visinya dalam bentuk kemakmuran. Kebebasan dibatasi, tapi disertai keadilan dalam penegakan hukum.
Kepemimpinan
Kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dalam penegakan hukum, diskriminasi sosial dan pemimpin yang korup, adalah beberapa hal yang ideal untuk diarahkan menjadi penghancur keutuhan satu negara.
Oleh karena itu Lee Kuan Yew mewariskan sebuah sistem bagi negaranya, yang banyak bertumpu pada kualitas kepemimpinan, yang dipersiapkan secara matang dengan mekanisme transisi yang ketat.
Mantan PM Goh Chok Tong, mengatakan pergantian kepemimpinan di Singapura dilakukan secara bertahap dengan proses transisi, sehingga saat terjadi perubahan pemerintahan tetap berjalan tanpa gangguan.
"Politik konsensus dan konvergen adalah cara terbaik bagi kita," kata Goh, pada 2004. Lee Kuan Yew tidak rakus kekuasaan. Dia mundur pada 1990, setelah yakin telah mendapatkan pengganti pada diri Goh Chok Tong.
Goh telah menjadi menteri dalam masa pemerintahan Lee selama 14 tahun, sebelum ditunjuk menjadi PM menggantikan Lee. Sementara Lee Hsien Loong sudah 20 tahun dalam kabinet, sebelum menjabat PM pada 2004.
Jika tetap mempertahankan sistem yang diciptakan Lee Kuan Yew, dengan perubahan terkendali yang dilakukan berdasarkan visi dari pemimpin yang berintegritas, Singapura akan tetap kuat seperti saat ini. (umi)
![vivamore="Baca Juga :"]