Buku Diganti Tablet, Bumerang bagi Pendidikan?
- www.bbc.co.uk/Nokia
VIVAnews - Dunia pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan dasar dan menengah tengah mendapat kabar baru. Bukan soal bongkar pasang kurikulum yang sudah membingungkan, melainkan rencana adopsi tablet untuk mengganti buku pelajaran.
Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah melontarkan ide mengganti buku pelajaran dengan tablet melalui program e-Sabak. Bertujuan mulia meningkatkan kualitas pendidikan, namun dukungan infrastruktur dan SDM dipandang masih menjadi persoalan.
Ide mengubah buku dengan tablet bergulir dengan mempertimbangkan aktivitas belajar mengajar di Indonesia yang tergolong tinggi.
Mendikbud Anies Baswedan membeberkan, saat ini setidaknya ada 208.000 sekolah di wilayah Indonesia. Setiap harinya, aktivitas ini melibatkan 50 juta anak didik dan tiga juta guru.
Anies menyebutkan, peralihan buku ini secara detail yaitu mengubah buku pelajaran yang berbasis fisik menjadi buku elektronik atau e-book. Fungsi itu bisa diakomodasi oleh tablet atau perangkat elektronik semacamnya. Kemendikbud menyebutnya dengan program e-Sabak.
Inisiator Gerakan Indonesia Mengajar itu menambahkan program e-Sabak hanya mengganti buku teks pelajaran, sedangkan untuk buku tulis tetap akan ada seperti biasanya.
Gagasan ini dianggap sebagai solusi menyelesaikan ketimpangan kualitas pendidikan yang tak merata di nusantara, yaitu antara kota besar dan daerah terpencil.
"Harapannya pendidikan di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) bisa mendapatkan kualitas pengetahuan informasi yang sama dengan mereka yang berada di kota-kota besar. Itu adalah harapan kita," ungkap Anies di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Rabu, 7 Januari 2015.
Guna mewujudkan program e-Sabak, Kemendikbud tak berjalan sendiri. Lembaga ini menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Telkom, untuk memasuki fase elektronik tersebut.
"Jadi, kita mulai hari ini, Insya Allah ke depan kita memiliki istilahnya e-Sabak untuk proses belajar mengajar," ungkapnya.
Anies menjelaskan, nama Sabak itu merupakan alat yang sering digunakan oleh orangtua zaman dahulu, yakni media berupa papan yang kemudian dituliskan dengan kapur. Saat ini, konsep sabak terakomodasi pada perangkat mobil jenis tablet
Lebih lanjut, kata Anies, dengan penggunaan tablet sebagai pengganti buku teks juga bisa menekan biaya soal pendistribusian buku-buku pelajaran ke daerah terpencil.
"Selain itu, kualitas yang dikirimkan kepada anak-anak tidak dipengaruhi faktor lainnya, baik kertas, distribusi, dan kerumitan soal logistik," ungkapnya.
Gagasan ini pun didukung Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara. Kementeriannya, kata dia, bakal memaksimalkan Internet Exchange Point (IEP), sehingga bisa mengefisienkan penggunaan bandwidth.
Menkominfo menambahkan, bentuk optimalisasi itu yakni dengan re-routing jaringan Diknas agar trafik tak harus melewati ke pusat internet exchange di Jakarta. Dengan fasilitas Nusantara Internet Exchange (NIX) yang dimiliki Kominfo, routing tak perlu harus ke titik Jakarta.
NIX merupakan sebuah Internet Exchange Point (IEP), bagian dari program Kewajiban Pelayanan Umum/Universal Service Obligation (KPU/USO), Kominfo.
Keberadaan NIX untuk mendistribusikan trafik internet di wilayah pelayanan, baik universal telekomunikasi, trafik nasional, dan internasional. Selain itu, dapat mengurangi latensi, efisiensi routing trafik internet, serta mengurangi biaya pengiriman trafik nasional dan internasional.
Mengingat fase elektronik ini untuk kepentingan pendidikan, Kominfo sudah mengantisipasi konten-konten yang membahayakan siswa sekolah. Kominfo sudah memblokir situs yang tak boleh diakses masyarakat, dengan pertimbangan kepribadian, keamanan dan lainnya. Kominfo sudah menyiapkan white list.
"White list ini sebenarnya ditujukkan untuk dunia pendidikan. Sebetulnya ini (white list) berangkat dari pesantren tapi white list ditujukkan untuk sekolah-sekolah yang sudah bersih dari situs-situs yang tidak diperkenankan," imbuh Rudiantara.
Suara Sumbang
Namun demikian, ide mengubah buku teks dengan tablet itu disambut pesimistis oleh pemerintah daerah (pemda), yang menyatakan belum siap mengganti buku pelajaran dengan tablet. Kesiapan guru, murid dan orang tua masih menjadi persoalan.
Bupati Kabupaten Tangerang Banten, Ahmed Zaki Iskandar meminta Kemendikbud mengkaji dampak perubahan pola belajar jika mengubah buku dengan tablet. Menurut dia, dengan perubahan itu, sistem pendidikan akan terganggu. Misalnya guru dan orangtua masih belum sepenuhnya familiar dengan pola adopsi teknologi tersebut.
Selain itu, ia meminta kementerian melihat dampak negatif siswa jika terlalu lama terpapar perangkat elektronik. Ia membayangkan bagaimana siswa selama delapan jam terpapar tablet, dampak kesehatan kemungkinan ada.
Zaki juga melihat infrastruktur yaitu sistem jaringan Telkom dan akses internet, yang belum menunjang program e-Sabak.
Belum lagi soal pertimbangan dukungan anggaran. Bila program ini bergulir pemda harus cermat berhitung, meski pemerintah beranggapan e-Sabak untuk menekan biaya distribusi buku ke daerah.
"Ada baiknya rencana ini dikaji ulang, karena harus dengan banyak pertimbangan, salah satunya soal anggaran. Apakah daerah itu mampu atau tidak," ujar zaki.
Peringatan
Rencana e-Sabak itu juga mengundang perhatian Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi.
Secara prinsip ia mengapresiasi rencana pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengadopsi teknologi, Namun Heru khawatir program e-Sabak tak berjalan efektif.
Ia mengingatkan, sebelum melangkah lebih jauh, Kemendikbud harus sudah menyurvei atau memiliki program percontohan di beberapa tempat, baru kemudian mengegolkan program ini secara nasional.
Menguatkan pendapat Bupati Zaki, Heru juga menyoroti kendala kultur atas perubahan pola belajar mengajar. Tak semua orang yang membaca e-book bisa menangkap ilmu dibandingkan dengan buku tradisional.
"Misalnya, PDF biasa untuk powerpoint saja ukurannya sudah berapa megabite," ungkapnya.
Kemudian, ungkap dia, infrastruktur di Indonesia masih belum merata terkait layanan internet. Setidaknya, pemerintah baru memasuki teknologi dunia maya itu di tahap kecamatan, belum ke desa.
"Internet kita itu baru masuk ke tingkat kecamatan, belum ke desa. Kecamatan baru 5.700 sudah ada internet dalam bentuk pusat layanan internet kecamatan maupun di mobil-mobil. Tetapi, kita memiliki 77.000 desa. Mungkin di Jakarta, seluruh kelurahan sudah terpasang," ujarnya.
Mengenai alasan program percontohan, mantan komisoner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu bertujuan untuk mendalami apakah agar metode pembelajaran baru nanti efektif atau tidak.
"Jangan sampai memindahkan teknologi, tetapi secara substansi nggak didapat. Saya khawatirkan nanti tiba-tiba nggak berjalan efektif," kata dia.
Bumerang?
Lebih lanjut, Heru juga mengingatkan soal pertanggungjawaban program. Jika tak bijak dan pandai mengelola, program e-Sabak bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.
Menurut dia, saat ini pola anggaran pemerintah sudah berbeda dengan sebelumnya. Sebab, harus ada pertanggungjawaban dari dana yang dianggarkan.
"Kalau sekarang tender, kemudian (pemerintah) menyebutkan nama produk tertentu dengan spesifikasinya, itu nggak boleh. Vendor harus terbuka," ujar Heru dihubungi VIVAnews.
Lebih khusus, ia menekankan soal mekanisme pengadaan yang harus terbuka kepada publik. Sebab, sudah ada beberapa kasus pengadaan yang akhirnya terseret pada permasalahan hukum.
"Pengadaannya seperti apa? Faktor eksternal perlu diperhatikan juga oleh pemerintah. Seperti bantuan sosial mesin jahit, malah menterinya masuk penjara. Ngeri itu. Bantuan sosial mesin jahit itu jadi kasus korupsi segala macam. Ini jadi perhatian, jangan sampai tujuannya baik tapi jadi bumerang," papar Heru.
Mengenai dukungan anggaran e-Sabak, pemerintah tampaknya belum matang. Saat dikonfirmasi, Anies enggan membeberkan soal anggaran dana termasuk kapan implementasi program tersebut.
"Nanti ada rapat lanjutan, mudah-mudahan sudah ada informasi yang kami akan berikan," kata dia. (art)