Bencana Menerpa, Salah Siapa?
- VIVAnews/Robby
VIVAnews - Indonesia memiliki kekayaan sumber daya yang sangat besar, alam yang indah, dan penduduk yang ramah. Namun, di balik semua itu, negara ini menyimpan potensi bencana yang cukup besar pula.
Salah satu jenis bencana yang sering terjadi di Indonesia adalah yang kita kenal dengan nama bencana alam. Kejadian ini, karena memburuknya cuaca dan kondisi geografis akibat dari perubahan iklim.
Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim, yaitu panas dan hujan, dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrem.
Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur.
Namun, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia, seperti terjadinya bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan.
Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang 2014, dari 1.136 kejadian bencana banjir, longsor, dan puting beliung, longsor menjadi bencana yang paling tinggi menyebabkan korban tewas.
"Secara keseluruhan, ada 355 korban tewas, lebih dari 1,7 juta jiwa mengungsi dan menderita, serta lebih dari 25 ribu rumah rusak," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
Presiden: Indonesia siaga bencana
Presiden Indonesia Joko Widodo, mengatakan bahwa letak geografis Indonesia, membuat negara ini rawan bencana. Ia mengungkapkan, banyak daerah di Indonesia yang berisiko tinggi terjadinya bencana tersebut.
"Tidak cuma satu, dua, tiga, empat, atau lima titik, tetapi ratusan titik di Tanah Air yang rawan longsor," ujarnya.
Menurut Jokowi, risiko tanah longsor terbesar ada di pulau Jawa. Apalagi, ditunjang dengan pertambahan penduduk di pulau itu yang terus meningkat. Kemudian, juga banyak lahan serapan air yang telah beralih fungsi menjadi lahan pemukiman. "Rawan longsor terutama di pulau Jawa. Semuanya kita harus waspadai," kata Jokowi.
Presiden Jokowi Tinjau Lokasi Longsor Banjarnegara, 14 Desember 2014 (Foto:
VIVAnews/Ikhwan Yanuar)
BNPB memperkirakan, musim hujan mencapai puncak pada Januari dan Februari. Sebanyak 315 kabupaten/kota rawan banjir dan 274 kabupaten/kota rawan longsor diminta waspada.
"Catatan kami untuk kawasan yang rawan banjir, setidaknya ada 60 juta orang yang akan terdampak dan yang longsor ada sekitar 124 juta orang. Sebab, mereka berdomisili di kedua kawasan yang dianggap rawan banjir dan longsor," ujar Sutopo.
Daerah yang berpotensi banjir rata-rata berdekatan, atau berada di sepanjang sungai besar di Jawa dan sebagian Sumatera. Sementara itu, daerah rawan longsor rata-rata berada di sekitar pegunungan di Sumatera, Jawa bagian tengah dan selatan, Bali, Papua, serta Sulawesi.
"Daerah-daerah ini, berpotensi terkena banjir dan longsor. Terutama, pada puncak musim penghujan pada awal tahun dan pertengahan Februari 2015," kata Sutopo.
Tanah longsor di Banjarnegara
Seperti diketahui, Jumat sore, 12 Desember 2014 lalu, sekitar pukul 18.00 WIB, warga Dusun Jemblung, Desa Sampang, Karangkobar, Banjarnegara Jawa Tengah, dikagetkan dengan munculnya suara gemuruh yang datang dari atas bukit.
Suara tersebut, ternyata berasal dari runtuhnya tanah yang ada di bukit akibat tergerus air hujan yang turun. Hingga Minggu pagi 14 Desember 2014, tercatat 20 orang ditemukan meninggal, sedangkan 88 orang lainnya masih hilang.
Bahkan, saat tim penyelamat sedang melakukan aktivitas pembersihan sisa tanah longsor yang menutup 500 meter jalan utama penghubung Desa Banjar-Karangkobar dan Pekalongan, mereka menemukan empat Rukun Tetangga yang masing-masing diperkirakan berjumlah 40 kepala keluarga masih terjebak di atas bukit.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Basuki Hadimuljono mengatakan, sudah mengerahkan sejumlah alat berat berupa excavator dan dump truck untuk menangani tanggap darurat tanah longsor ini. Namun, karena tidak efektif, ia akan mengirimkan buldoser ke lokasi.
"Sudah banyak excavator dan tidak efektif," kata Basuki. Menurutnya, dibutuhkan buldoser untuk melakukan evakuasi dengan cepat.
Sejauh ini, proses evakuasi masih mengandalkan peralatan manual, yang digunakan tim gabungan serta relawan. Empat mesin penggali sudah digunakan, namun dinilai belum cukup untuk menemukan korban yang diperkirakan mencapai 100 orang.
Bencana longsor bukan hal baru bagi masyarakat di Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara Jawa Tengah. Hampir setiap tahun, selalu terjadi bencana serupa di kecamatan yang memiliki 13 desa definitif ini. Dan, nyaris setiap tahun juga bencana ini selalu menelan korban jiwa, harta dan benda penduduk yang bermukim di wilayah ini.
Warga mencari barang berharga dari tumpukan lumpur akibat dari longsor yang menimpa Dusun Jemblung, Banjarnegara, Jawa Tengah, 13 Desember 2014. (Foto: VIVAnews/Ikhwan Yanuar)
Kondisi tanah tidak ideal
Menurut ahli Geologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwikorita Karnawati, secara alami kondisi wilayah di Karangkobar memang tak memungkinkan untuk dijadikan sebagai wilayah pemukiman.
"Kondisi geologis wilayah ini memiliki tanah yang rapuh. Tanahnya disisipi bebatuan dan bidang-bidang yang memotong ikatan antara tanah dan batuan. Bila hujan tiba, lapisan tanahnya pasti rentan meluncur atau longsor," tutur Rektor UGM ini.
Kondisi itu, menurutnya, diprediksi hampir menyeluruh ke sejumlah desa yang tersebar di kawasan Karangkobar. Kendati belum dapat dipastikan secara menyeluruh, namun merujuk ke peta geologi kawasan tersebut banyak titik lain yang memiliki kondisi serupa.
"Melihat ke kondisi medan dan peta geologi, bisa saja terjadi di tempat lain. Sebab, hampir seluruh kawasan ini memiliki tekstur lapisan tanah serupa. Cuma memang situasional, hanya akan muncul ketika hujan tiba," kata Dwikorita.
Penyebab lain, yang juga tak kalah penting adalah sistem pemanfaatan lahan yang tidak tepat oleh masyarakat. Selama hampir 10 tahun ini, lereng bukit yang sebelumnya mayoritas ditumbuhi pepohonan dan tanaman keras diganti dengan tanaman salak.
Tanaman berbatang duri yang dikembangkan secara monokultur oleh warga ini memiliki kekurangan, di mana tak memiliki tekstur pengakaran yang kuat di tanah. Serabut akarnya yang pendek (kurang dari satu meter) tidak masuk jauh ke dalam tanah, sehingga membuat tekstur lapisan tanah menjadi tidak kokoh.
Menurut Dwikorita, menanggulangi bencana memang sudah menjadi kewajiban pemerintah. Namun, perlu juga partisipasi dari masyarakat agar hal yang sama tidak akan terulang lagi. Selain itu, dibutuhkan juga kesadaran untuk memelihara alam yang digunakan sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah.
Peran pemerintah juga tidak kalah penting, bukan hanya saat bencana terjadi namun juga bagaimana melakukan tindakan preventif, agar rakyatnya bisa hidup dengan aman dan tenang.
Dwikorita mengatakan, perlu dilakukan penataan kembali kawasan pemukiman di daerah Karangkobar dan wilayah-wilayah lain yang rentan terkena tanah longsor.
Area yang sudah ditetapkan sebagai kawasan terlarang untuk pemukiman hendaknya dapat diaplikasikan secara nyata, sehingga tidak menjadi bencana di kemudian hari.
"Secara alami, wilayah Karangkobar memang rentan, tetapi belum tentu berpotensi bahaya. Namun, bahaya dapat muncul dengan mudah, baik itu melalui turunnya hujan, atau pemanfaatan lahan yang salah. Jadi, segera evaluasi tata ruang di wilayah ini," ujar Dwikorita.
Komunitas siaga bencana
Saat ini, sudah mulai ada beberapa orang yang berinisiatif membentuk kelompok untuk mencegah terjadinya bencana alam dan memantau kondisi terkini seputar bencana yang mungkin timbul.
Salah satunya adalah Haji Chaerudin yang mendirikan komunitas untuk membenahi kondisi Kali Pesanggrahan, yang kerap menjadi pemicu timbulnya banjir.
Semua berawal dari keprihatinan dia terhadap kondisi Kali Pesanggrahan yang rusak. Berbekal rakit dari pelepah pisang, ia memulai dengan membersihkan sampah dan bangunan yang menghampar di tepian sungai
Pada 1998, ia merangkul sejumlah warga yang memiliki kesamaan visi untuk menyelamatkan sungai dan lingkungan. Mereka, kemudian membentuk komunitas yang dinamakan Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana.
Komunitas yang beranggotakan ratusan orang ini berkomitmen meminimalisasi kerusakan kawasan sungai, khususnya yang mengalir ke DKI Jakarta. Upaya itu dilakukan, agar banjir tak terus terjadi.
Haji Chaerudin bersama warga terus berjuang mempertahankan kawasan sungai Pesanggrahan agar terjaga ekosistem dan kebersihannya. (Foto: VIVAnews/Tri Saputro)
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta juga memiliki program untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan menghadapi ancaman bencana, yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan warga yang tinggal di daerah bencana.
Usaha yang dilakukan adalah dengan menginisasi lahirnya sebuah komunitas sadar bencana bernama Basis Organisasi Komunitas (Bokomi) 192 dan Iza Kaeru Caravan (IKC).
“Selama ini, masyarakat Indonesia kurang sadar akan pentingnya mitigasi bencana. Pendirian komunitasi ini merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat melek bencana,” ungkap Ketua Bokomi, Dr. Noorhadi Rahardjo.
Bokomi adalah asosiasi berbasis kemasyarakatan yang dibentuk dengan tujuan membentuk keahlian masyarakat dalam melakukan mitigasi bencana.
Sedangkan IKC adalah asosiasi yang ditargetkan untuk anak-anak sekolah, dengan tujuan membentuk sikap mental sejak dini, beranggotakan relawan-relawan dari kalangan akademisi.
Aksi penanggulangan bencana melalui dunia maya juga mulai dirintis secara bersama-sama oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Twitter Inc dan Universitas Wollongong Australia. (asp)