- Antara/ Fanny Octavianus
VIVAnews--Indonesia kehilangan wartawan terbaiknya, penulis yang bisa membawa dan melibatkan pembacanya ke masa pergerakan, dan merasakan pahit-getirnya kehidupan di masa yang dibicarakan. Dia adalah wartawan paling senior, yang hidup di tiga zaman.
DR (HC) H. Rosihan Anwar, yang meninggal 14 April, menjelang ulang tahunnya ke-89 pada 5 Mei, setelah sakit beberapa pekan, adalah juga seorang penulis obituari terbaik sepanjang sejarah jurnalisme Indonesia.
Dia memuji, mengeritik dan mendudukkan orang yang dia tulis obituari-nya itu pada tempatnya dalam sejarah perjuangan Indonesia secara obyektif, walau pun orang itu pernah mencederainya.
Saya sangat menghormati kepiawaiannya menulis obituari, di samping daya analitik dan gayanya menulis editorial yang jelas dan singkat. Dia mengeritik tajam tanpa menyakitkan hati pejabat atau pemerintah yang dikecamnya. Ibarat Rosihan Anwar sudah menampar tanpa si pejabat merasa bahwa dia sudah ditampar.
Beberapa tahun lalu, ketika bertemu di rumah almarhum Mr. Hamid Algadrie, seorang tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) di Menteng, saya bertanya: “Aji”, begitu saya memanggilnya, “Aji selalu menulis obituari setiap orang terkemuka. Kalau Aji meninggal, siapa yang akan menulis obituari Aji?” Tanpa mengubah posisi duduknya, dia menjawab enteng, “Siapa yang mau baca obituari saya?”
Saya sudah sering mendengar nama Rosihan Anwar ketika saya pertama kali bertemu dengannya tahun 1968 di kantor Harian Pedoman di percetakan Jakarta Press, Jl. Gunung Sahari, Jakarta.
Dia masuk ke ruang redaksi, berkemeja putih lengan pendek. Pada krag bajunya ada sehelai saputangan untuk menyerap keringat ditengkuknya. Dan itulah salah satu ciri khas Rosihan Anwar yang saya ingat selama empat tahun lebih saya di Pedoman.
Sambil menunjuk ke arah saya, dia bertanya kepada almarhum Masmimar Makah, Redaktur Pelaksana Pedoman, “Ini siapa?”
“Oh, itu Alamudi,” jawab Masmimar.
“Oh, kamu?” kata Rosihan dan langsung duduk di kursi di depan meja Masmimar.
“Iya, Ji.” Jawab saya.
Pembicaran sampai di situ saja, tidak ada jabat tangan atau apa pun. Tapi dalam hati saya, berkata, “Dia sudah tahu tentang saya.” Dan sejak itu sayalah satu-satunya staf Pedoman sampai akhir hayatnya, yang menyebutnya dengan panggilan “(H)aji.”
Saya yakin Rosihan sudah mendengar tentang saya dari almarhum Amir Daud (mantan Redaktur Pelaksana The Jakarta Post dan Pemred Harian Bisnis Indonesia), dan dari Masmimar sendiri yang pernah menjadi senior saya di Associated Press tahun 1964, ketika saya pertama kali memasuki dunia jurnalisme.
Memang, Amir Daud lah yang menganjurkan saya masuk ke Pedoman. “Anda sudah cukup lama di pers asing, sekarang waktunya anda membuat akar di pers nasional,” kata Amir waktu itu.
Banyak orang menggambarkan Rosihan sebagai figur wartawan yang angkuh dan sinis. Tapi saya tidak pernah mendapat perlakuan angkuh atau sinis dari Rosihan selama saya berada di bawah bimbingannya dari 1968 sampai 1972. Malah dia memberi saya kesempatan dan kepercayaan mengisi kolomnya, Petabumi Politik, setiap Senin, bila dia keluar kota, dengan kolom saya, Almanak Politik. Formatnya sama dan gaya penulisan mengikuti pendekatannya atas suatu berita.
Suatu hari, saya kena tugas redaktur malam. Entah kerena kesibukan apa, sudah lepas magrib ketika supir Rosihan datang membawa tajuk rencananya. Biasanya, tajuk Rosihan mengalir, enak dibaca, dan kena langsung pada sasarannya. Kali itu saya merasa ada yang mengganjal. Tulisan itu serasa tidak mengalir. Maka saya pindahkan satu paragraf ke atas paragraf yang di atasnya. Dengan begitu, barulah tulisan itu mengalir.
Keesokan harinya, ketika saya tiba di kantor dari rutinitas mencari berita, saya disambut oleh sejumlah redaktur yang jauh lebih senior dari saya, bahkan ada yang bekas Pedoman “lama” (yang dibredel oleh Presiden Sukarno tahun 1961). Rupanya Rosihan sudah menelepon Masmimar, menanyakan siapa yang mengedit tajuknya.
“Lu, anak kemarin, berani-beraninya mengedit tulisan Pak Rosihan. Aku, sudah dari Pedoman dulu, tidak berani mengedit tulisan Pak Rosihan. Ini, tajuknya, lu edit! Abis deh lu! Dipecat lu!” kata seorang redaktur senior.
Bergetar juga hati saya waktu itu. Habislah saya, kata saya dalam hati, mengingat kata orang tentang arogansi dan sinisme Rosihan.
Sekitar pukul tiga sore, hari itu Rosihan masuk ke ruang redaksi – seperti biasa-- baju lengan pendek, saputangan di krag baju dan bersandal kulit. “Sore, Ji,” sapa saya. Dia berhenti di depan meja saya dan bertanya,”Kamu yang mengedit tulisan saya”. “Iya, Ji”, jawab saya.
“Kenapa?”
“Rasanya kurang mengalir, Ji”.
“Oh, begitu,” jawabnya sambil masuk ke ruangannya di belakang meja saya.
Rosihan, walaupun dia pemimpin redaksi, seorang senior di dalam jurnalisme, dia menghormati otoritas redakturnya. Dia selalu ingin sedikitnya ada sepasang mata lain yang membaca tulisannya –sekalipun itu juniornya?sebelum tulisannya masuk type setter, yang memindahkan kata-kata di atas kertas itu ke timah panas linotype.
Legacy atau warisan Rosihan itu saya bawa terus sampai sekarang, dan selalu mengingatkan para redaktur senior untuk menghormati otoritas redaktur yang bertugas. “Anda boleh redaktur, tapi ketika ke luar mencari berita, anda adalah reporter. Anda melaporkan tulisan anda untuk diedit oleh redaktur anda, sekalipun dia junior anda.” Itu pesan yang selalu saya sampaikan dalam berbagai kuliah saya kepada wartawan.
Masalahnya, banyak wartawan muda takut mengedit pekerjaan seniornya, tanpa menyadari bahwa kalau ada “lubang” di dalam tulisan itu, dia juga yang bertanggung jawab karena dia tidak melaksanakan fungsi editingnya.
Rosihan adalah wartawan yang setia pada profesinya, hidup sederhana dan tidak pernah mau tunduk pada tekanan penguasa. Dia menolak tawaran almarhum Presiden Soeharto untuk menjadi dutabesar Indonesia untuk Vietnam. Dia tahu itu adalah salah satu cara Soeharto untuk mengasingkannya dari kelompok yang kritis terhadap Orde Baru.
Menteri Penerangan Ali Moertopo tidak senang melihat pengaruh Rosihan pada wartawan anggota PWI, lalu dia mendorong dan mendukung B.M. Diah yang juga mencalonkan diri sebagai ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia dalam kongres di Palembang 1968.
Hasilnya, timbul PWI Rosihan dan PWI B.M.Diah. Itulah awal dari kesemrawutan PWI karena untuk menunjukkan bahwa PWI B.M. Diah lebih banyak pendukungnya, maka PWI yang waktu itu merupakan perpanjangan tangan Orde Baru, mengeluarkan kartu pers kepada sebegitu banyak orang termasuk karyawan non-redaksi di Kantor Berita Antara, misalnya, sampai ketua RT dan RW di kompleks PWI Kebon Nanas tiba-tiba jadi “wartawan” karena mereka punya kartu pers.
Perselisihan itu begitu besar, sehingga saya, dan banyak teman wartawan Istana waktu itu, termasuk August Parengkuan, dari Kompas, misalnya, menempelkan kertas bertuliskan “PWI Rosihan” pada kaca-kaca mobil Toyota Hardtop ketika menyertai Presiden Soeharto ke Banjarmasin tahun 1968. Bahkan kepala Humas dan Penerangan Istana waktu itu, Mayor Dwipayana, yang juga bersimpati pada Rosihan, cuma geleng-geleng kepala tanpa berusaha menghentikan tindakan kami.
Sekarang, Rosihan sudah pergi meninggalkan kita semua. Keadaan kesehatannya menurun deras sejak istri tercintanya, Zuraida Samawi, gadis Betawi yang memberinya tiga anak, enam cucu dan dua buyut, meninggal pada 5 September 2010.
Rosihan meninggalkan warisan kepada wartawan sekarang berupa lebih dari 20 buku, ratusan tulisan di berbagai media dalam dan luar negeri. Di Harian Kompas saja dia meninggalkan entah berapa ratus tulisan selama masa antara 1997 sampai 2002, belum lagi yang di tabloid Cek & Recek, selama beberapa tahun terakhir.
Pemimpin Umum Harian Kompas, DR. Jakob Oetama, menggambarkan Rosihan Anwar dalam pengantarnya pada Semua berawal dengan keteladanan, “Syarat-syarat pokok yang membuat seseorang menjadi wartawan baik, menurut pandangan saya justru tidak berubah. Harus punya karakter ulet, berusaha terus mencari, karena itu punya sikap terbuka, peka dan peduli, punya orientasi berikut pandangan beyond serta transcend, selalu berada di tengah masyarakat dan di antara peristiwa.”
Rosihan Anwar sudah pergi, dan tak ada orang yang bisa menulis obituari-nya sebagus dia menulis obituari orang lain. Selamat jalan, Ji. Semoga Allah memberimu tempat yang mulia. Amin.
Abdullah Alamudi, dosen senior pada Lembaga Pers Dr. Soetomo, mantan anggota Dewan Pers, mantan redaktur Harian Pedoman.