Membongkar Isi Perut 'Gunung Piramida'
VIVAnews - Stadion Si Jalak Harupat terlihat samar-samar. Dari ketinggian 986 meter di atas permukaan laut, stadion berkapasitas 40 ribu orang itu terlihat hanya sebesar ujung jari, di antara luasnya hamparan wilayah Soreang Bandung Jawa Barat.
Rabu 16 Maret 2011, siang itu, udara cerah menaungi puncak Gunung Lalakon. Semilir angin sesekali mengembus perlahan, menawar terik yang mulai menyengat. Tapi belasan orang terlihat masih semangat bekerja di sebuah lubang sepanjang 5 meter, selebar 3 meter, dan sedalam 4 meter.
Seorang mencangkul, dua orang mengangkut sisa tanah dengan karung, dua orang lagi menyambut karung itu, mengopernya lagi secara estafet ke dua orang di atasnya hingga tanah berlabuh di gundukan tak jauh dari lubang penggalian.
Biasanya hanya dua orang yang biasa mangkal di puncak gunung, yakni para penjaga menara base transceiver station (BTS). Tak banyak orang yang naik kesitu, mengingat medan yang lumayan menanjak, dan butuh sekitar 1 jam untuk sampai ke lokasi itu.
Namun, sejak Senin 14 Maret 2011, belasan anggota komunitas pecinta sejarah nusantara Turangga Seta melakukan penggalian untuk membuktikan keberadaan bangunan piramida di bawah Gunung Lalakon, seperti yang telah mereka yakini sebelumnya.
Keyakinan yang membuncah pada diri mereka tak datang begitu saja. Tak hanya berbekal wangsit dari 'leluhur', awal Februari lalu, bersama tim peneliti terdiri para pakar geologi kawakan: Danny Hilman Natawidjaja, Eko Yulianto, dan Andang Bachtiar, melakukan uji geo listrik di beberapa bukit, termasuk di Gunung Lalakon dan Gunung Sadahurip.
Hasilnya, salah satu anggota tim peneliti yang notabene merupakan pakar geologi senior, Andang Bachtiar, mengatakan hasil uji geolistrik menemukan struktur yang tidak alamiah. "Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah - red)," katanya.
Sementara itu, Lutfi Yondri dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Balai Arkeologi Bandung, yang telah melihat uji geolistrik itu, secara selintas memperkirakan struktur di Gunung Lalakon dan Sadahurip bukan mirip piramida melainkan struktur teras piramid.
"Dari peta geolistriknya yang baru satu lintasan, saya baru melihat teras-teras. Kalau teras-teras yang diketemukan, saya cenderung mengatakan itu teras piramid," kata Lutfi.
Menurut Lutfi, di Indonesia ada bangunan teras piramid peninggalan megalitik yakni Lebak Cibedug, yang terletak di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Namun, kata Lutfi, dari nomenklatur arsitektur maupun arkeologi, klaim keberadaan piramida sudah tidak tepat. Hasil pembacaan geolistrik, kata dia, juga mengatakan itu bukan piramida. "Dari hasil geolistrik, berbentuk tangga. Itu sudah berbeda. Namun hal ini penting ditindaklanjuti."
Berbekal pendapat Andang tadi, Turangga Seta tak sabar segera membuktikannya. Karena merasa respon Puslit Arkenas kurang, maka Turangga Seta melakukan penggalian sendiri.
Hingga kini, mereka memang belum menemukan bangunan piramida yang mereka cari. Setidaknya, penggalian berjalan lancar, berada di jalur yang sudah mereka perkirakan sebelumnya, sesuai hasil uji geolistrik yang mereka dapatkan.
Di bawah lapisan permukaan (top soil) mereka menemukan batuan-batuan boulder andesit di kedalaman 1 - 1,6 meter. Setelah itu lapisan batu cadas sedalam 20 cm, kemudian tanah beserta lempung sedalam 20 cm, kemudian batu cadas lagi, hingga akhirnya ditemukan lagi batuan boulder andesit di kedalaman sekitar 3,5 meter.
Batu-batu boulder yang ditemukan, mereka perkirakan merupakan batu-batu bronjongan penutup bangunan piramida. Batu-batu itu memiliki ukuran yang kurang lebih sama, panjang antara 1 - 2 meter, dengan lebar dan ketebalan 30-50 cm.
Kebetulan atau tidak, batu-batu boulder itu berjejer rapi membentuk sudut sekitar 30 derajat dengan garis horizontal. Pendiri kelompok Turangga Seta Agung Bimo Sutedjo memperkirakan, batu-batu tadi sengaja dipasang demikian untuk memperkuat lapisan tanah penutup bangunan piramida, agar tidak longsor.
"Bronjongan-bronjongan tadi seolah-olah tersusun secara teratur dengan sudut kemiringan 30 derajat. Bahasa kaki limanya, seolah-olah tak datang seenak jidatnya. Siapa yang mengatur? Wallahua'lam bish shawab," ujar Engkon Kertapati, peneliti Pusat Survei Geologi Badan Geologi Departemen ESDM Bandung, yang datang ke lokasi penggalian, Rabu 16 Maret 2011.
Engkon tidak menampik bahwa mungkin memang ada campur tangan atau ada gaya-gaya di luar kemampuan alamiah yang menyebabkan batu-batu bronjong tadi tersusun secara seragam.
Namun, ia juga tidak menutup kemungkinan bila batuan andesit di Gunung Lalakon mengalami pelapukan secara alamiah sehingga secara 'kebetulan' membentuk batu-batu andesit padat yang seolah-olah berbaris sejajar ke arah sudut kemiringan 30 derajat.
Agaknya, tak cuma Engkon yang tertarik meneliti Gunung Lalakon. Kamis 17 Maret 2011, pakar geologi yang terkenal sebagai pakar gempa Padang dan Mentawai, Danny Hilman dan Eko Yulianto juga datang ke puncak Gunung Lalakon.
Namun, tak seperti Engkon yang masih membuka kemungkinan bahwa batu-batu boulder yang ditemukan seperti ditata secara sengaja, Danny dan Eko justru berpendapat bahwa 'batu-batu bronjongan' tadi belum membuktikan apa-apa.
"Mana yang aneh? Ini hal yang biasa dalam geologi," kata Danny kepada VIVAnews, di puncak Lalakon, Kamis 17 Maret 2011. Menurut Danny batu-batu boulder besar yang tersusun berjejer itu adalah endapan lahar dari gunung berapi.
Danny menambahkan, secara sekilas, batu-batu itu bisa dikatakan merupakan joint atau kekar yang merupakan rekahan batuan yang terbentuk teratur karena pelapukan alami.
Saat ditanya komentarnya tentang hasil uji geolistrik yang menemukan struktur yang mirip dengan bentuk piramid, Danny mengatakan bahwa hasil uji itu tidak bisa diinterpretasikan begitu saja. Sebab, tetap harus diuji dengan metode lain.
"Geolistrik itu kan pemodelan dari perekaman sifat resistivitas batuan. Tapi itu bukan seperti uji seismik, yang memantulkan apa yang ada didalam, ini sinyal resistivitas," kata Danny.
Sementara itu, menurut Engkon, hasil uji geolistrik Gunung Lalakon memang seolah-olah menunjukkan suatu struktur lapisan yang teratur. Terdapat lapisan batuan yang keras dan lebih lunak, dan membentuk pola yang berulang.
Namun, ia mengingatkan bahwa geolistrik hanya mengukur resistivitas batuan, tapi tidak memastikan tipe batuan. "Boleh jadi resistivitasnya sama. Tapi belum tentu jenis batuannya juga sama," katanya.
Sejak Rabu 16 Maret 2011 sore, tim Turangga Seta telah mengakhiri penggalian mereka. Selain telah kehabisan logistik dan 'amunisi', surat ijin dari pemerintah setempat juga telah berakhir. "Kami istirahat dulu, sambil mengumpulkan kekuatan," kata Agung.
Selanjutnya, mereka juga telah meminta Puslit Arkenas untuk memeriksa lokasi penggalian mereka. Lutfi berjanji, Puslit Arkenas akan menyambangi puncak Gunung Lalakon akhir pekan ini.
Setidaknya, dari berbagai pendapat tadi, baik Danny Hilman, Engkon, maupun Lutfi sepakat dalam satu hal. Idealnya memang perlu ada penggalian lebih lanjut untuk memastikan ada tidaknya bangunan piramida di tempat itu.
Namun, Danny mengingatkan bahwa lubang penggalian yang jaraknya sekitar 7 meter dari menara BTS, cukup riskan. "Agak berbahaya ini," katanya. Menurut Engkon, penggalian masih bisa dilakukan dengan membuat sebuah dinding penguat di sisi terdekat dengan menara.
Selain itu, kata dia, penggalian sebaiknya dilakukan terus ke bawah, tapi tidak mengarah ke lokasi menara. Dari hasil uji geolistrik, Engkon memperkirakan struktur batuan keras atau bangunan yang dicari-cari akan bisa ditemui sekitar 2 meter di bawah permukaan dasar lubang gali.
"Untuk memastikan hasil uji geolistrik tadi, kita harus terus gali ke bawah. Insya Allah kita akan menemukan batuan keras yang kita cari-cari," kata Engkon. (np)