Di Ujung Penentuan Masa Depan Mesir
- AP Photo/Lefteris Pitarakis
VIVAnews - Biasanya, hari Sabtu adalah awal pekan yang sibuk di Mesir. Tapi, alih-alih bekerja, ribuan orang justru tumpah di Lapangan Tahrir Square, yang terletak di pusat kota Kairo, Sabtu 29 Januari 2011.
Hari itu adalah hari kelima di mana warga Mesir melakukan aksi unjuk rasa besar untuk menuntut 'lengsernya' rezim otokratik yang telah berkuasa selama 30 tahun terakhir, Presiden Hosni Mubarak.
Kehadiran beberapa tank militer di lapangan tak membuat kerumunan di lapangan itu buyar. Para demonstran jutsru ramai-ramai menaiki tank-tank tadi. Para pengunjuk rasa bahkan terlihat bersahabat dengan tentara yang bertugas, menawarkan jeruk, rokok, juga botol minuman.
"Kami, bersama rakyat," ujar salah satu tentara bernama Ahmed, seperti dikutip dari Washington Post. Saat para tentara tak keberatan tank mereka dinaiki oleh para demonstran, mereka seakan semakin yakin, bahwa ini adalah saat kemenangan rakyat Mesir.
"Ini adalah saatnya kebebasan,'' kata Abdel Nasser-Awad, seorang pengusaha Mesir yang berusia 40 tahun. "Kini Mubarak akan pergi. Namun, pertanyaannya adalah kapan?" katanya.
Apa yang terjadi di Mesir saat ini tak berbeda jauh dengan apa yang terjadi ketika Presiden Suharto lengser pada 1998. Selama 30 tahun di bawah kepemimpinan Mubarak, rakyat Mesir telah lama hidup tertekan di bawah rezim yang kejam dan korup. Diperparah lagi dengan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.
Kepemimpinan Mubarak diwarnai dengan begitu banyak skandal dan penyiksaan. Di bawah pemerintahannya, sering terjadi kasus raibnya jurnalis dan aktivis, kekejaman dan kekerasan di tahanan, penyiksaan tanpa pengadilan, pengakuan secara paksa, dan pelanggaran HAM lainnya.
Menurut organisasi HAM Mesir pada tahun 2007, terdapat 4000 orang yang ditahan tanpa melalui proses peradilan terlebih dulu. Mereka dituduh telah melakukan kejahatan politik, dan sebanyak 1000 diantaranya adalah anggota Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi politik Islam yang dinyatakan terlarang di Mesir.
Hosni Mubarak sendiri adalah presiden ke-4 di Mesir yang berkuasa sejak 1980. Dia adalah presiden terlama yang menjabat di Mesir sejak Muhammad Ali Pasha. Pria bernama lengkap Muhammad Hosni Sayyid Mubarak, itu lahir pada 1928 di kota Al-Monofeya, Mesir utara.
Mubarak merupakan jebolan Akademi Militer Mesir dan Akademi Angkatan Udara, dan berhasil menjadi kepala staf AU. Selama karirnya di kemiliteran, Mubarak mendapat penghargaan karena dinilai telah memajukan AU Mesir, setelah dikalahkan Israel pada Perang Timur Tengah 1967.
Dia dinilai sukses sebagai seorang ahli strategi dalam Perang Yom Kippur, yang menghasilkan perjanjian damai dengan Israel dan dikembalikannya wilayah Sinai kepada Mesir. Pada 1975, Mubarak diangkat menjadi wakil presiden (Wapres) dan tiga tahun kemudian menjadi Wakil Ketua Partai Nasional Demokrat.
Setelah Presiden Anwar Sadat terbunuh pada 1981, sebagai Wakil Presiden, Mubarak otomatis terpilih menjadi Presiden Mesir. Kemudian, ia berhasil melanggengkan kekuasaannya pada pemilu 1987, 1993, 1999 dan 2005. Ini sekaligus membuat Mubarak menjadi presiden terlama di antara pemimpin lain di negara-negara Arab.
Masyarakat Mesir boleh saja memiliki harapan yang tinggi untuk segera melengserkan Mubarak. Namun, mengingat kepiawaiannya dalam memimpin selama puluhan tahun, bisa dipastikan ia tak akan menyerahkan kekuasaannya dengan mudah.
Apalagi, hingga kini Amerika Serikat, Eropa, dan Israel, masih tidak secara tegas menyatakan posisi mereka untuk mendukung aspirasi mayoritas masyarakat Mesir yang hendak menumbangkan rezim diktator ini.
Menurut Mark LeVine, seorang Professor sejarah pada UC Irvine, sejak 30 tahun, pemerintahan Mubarak memang menjadi aliansi tradisional dan salah satu pilar dari kebijakan luar negeri AS di kawasan ini.
Paling tidak, hal ini dikarenakan Mesir memiliki perjanjian damai dengan Israel. Tumbangnya Mubarak dikhawatirkan bakal membuat Ikhwanul Muslimin atau kelompok Islam lain, mengabaikan perjanjian yang dulu ditandatangani oleh pendahulu Mubarak, Anwar Sadat.
Tak heran bila kemudian bocoran terbaru dari WikiLeaks bahkan mengungkapkan bahwa pemerintahan Obama sempat menutupi kritisisme publik terhadap Mubarak.
Kabarnya, Kedubes AS untuk Mesir juga menasihati Menlu Hillary Clinton agar sama sekali tidak menyebut-nyebut bagaimana Mubarak memenjarakan dan menyiksa Ayman Nour, bekas kandidat presiden penantangnya di pemilu sebelumnya.
Maka tak heran, kendati ribuan pengunjuk rasa di Chicago telah meminta agar Presiden Barack Obama bersikap tegas untuk meminta Mubarak mundur, namun Obama hanya minta agar Mubarak agar tidak mengambil langkah-langkah kekerasan terhadap masyarakat yang tidak bersenjata.
Namun, ungkapan Obama itu seperti tidak memiliki impak apapun. "Para pengunjuk rasa yang melihat AS sebagai pendukung rezim otoriter, tak akan menganggap seruan Washington yang menyarankan penghindaran kekerasan. Sementara rezim otoriter yang telah berkuasa selama beberapa dekade itupun tidak akan serta-merta berubah hanya karena pernyataan dari Washington," kata Marina Ottaway pengamat dari CarnegieEndowment for International Peace.
Washington, kata Ottaway, mestinya harus berani memilih apakah akan memilih untuk mendukung demokrasi, atau terus mendukung rezim represif atas nama kepentingan strategis yang buruk. "Pesan-pesan yang beredar di Internet saat ini akan terkesan bahwa AS sekali lagi akan mendukung otoritarianisme."
Setelah enam hari berjalan, unjuk rasa rakyat Mesir ini sendiri telah memakan lebih dari 100 korban jiwa. Dengan berbagai cara, pemerintah Mesir berupaya untuk membungkam kaum oposisi termasuk dengan memblokir jejaring sosial Facebook, Twitter, bahkan akses internet dan SMS.
Kini mereka beralih dengan memanfaatkan radio amatir, faksimili, dan berbagai teknologi alternatif lain. Bahkan aktivis internet internasional dan kelompok hacker Anonymous membangun access point yang bisa menghubungkan jaringan telepon kabel (landline) Mesir agar terhubung dengan internet.
Namun, kian hari kondisi kian memanas. Kekacauan menyebar ke berbagai kota, pembakaran gedung dan penjarahan di mana-mana. Mesjid-mesjid berubah fungsi menampung korban-korban yang terluka dalam aksi. Bahkan kerusuhan di beberapa penjara memicu ribuan tahanan kabur entah ke mana.
Tak heran bila kemudian pemerintah AS memerintahkan warganya di Mesir untuk segera meninggalkan negara itu secepatnya. Diplomat-diplomat yang tak begitu esensial serta keluarga semua karyawan kedutaan juga hengkang dari Mesir. Ini merupakan kelanjutan dari langkah AS Jumat lalu yang telah mengeluarkan travel warning.
Langkah yang sama juga ditempuh oleh pemerintah Inggris dan pemerintah India, kendati pemerintah Indonesia belum menempuh langkah serupa.
Ada kekhawatiran yang beredar, bahwa pemerintah Mesir baru benar-benar berlaku keras terhadap para demonstran setelah warga negara barat benar-benar telah meninggalkan Mesir.
Kekhawatiran itu didasari oleh semakin diperbesarnya jumlah militer yang mengawal unjuk rasa di lapangan Tahrir Square, Ahad 30 Januari 2011. Situs resmi Ikhwanul Muslimin, IkhwanWeb, melaporkan bahwa militer Mesir telah menerima perintah untuk menembak para demonstran untuk 'melindungi' pemerintah.
Pesawat jet F-16 juga beberapa kali melintas di atas kerumunan demonstran di Tahrir Square. Di saat yang sama, situs Guardian melaporkan sesuatu yang selama ini dinanti banyak orang, yakni kehadiran tokoh oposisi yang dihormati, penerima penghargaan Nobel Mohamad ElBaradai, di antara lebih dari 20 ribu demonstran.
ElBaradai sendiri telah diberi mandat oleh lima kelompok besar oposisi termasuk Ikhwanul Muslimin untuk bernegosiasi seputar pembentukan 'pemerintahan penyelamatan nasional'.
Dalam pidatonya di depan para pengunjuk rasa, ElBaradai mengatakan agar rakyat Mesir bersabar karena menurutnya, perubahan akan datang dalam beberapa hari ke depan.
"Anda semua telah mengambil kembali hak Anda dan apa yang telah kita awali ini tidak bisa mundur lagi... Kita hanya punya satu permintaan - berakhirnya rezim lama dan awal dari sebuah fase, yakni Mesir yang baru," kata ElBaradai.