Kapan Mulai Puasa Ramadan?
- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVAnews - Senin, 9 Agustus 2010, merupakan hari pertama puasa bagi Jemaah Tarekat Islam Naqsabandiyah di Sumatera Barat. Tarekat Naqsabandiyah memiliki penanggalan sendiri yang dikenal dengan Hisab Munjid.
Penanggalan ini tidak hanya terpaku pada hilal (bulan sabit yang tampak), hisab (perhitungan astronomi), maupun melihat bulan semata (rukyat). Namun dilakukan dengan penghitungan bersama para mursyid (guru) tarekat yang disusun setiap lima tahun sekali.
Hampir setiap tahunnya jamaah Naqsabandiyah melaksanakan Ramadan lebih awal dari waktu yang ditetapkan pemerintah. Penentuan hari pertama puasa bagi Naqsabandiyah juga berbeda dari organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Biasanya, perbedaan itu sebanyak dua hari.
"Perjalanan bulan berubah setiap lima tahun sekali sehingga kami menyusun kalender sendiri setiap lima tahun sekali bersama-sama," kata salah satu Mursyid (guru) Naqsabandiyah, Syafri Malin Mudo, di Sumatera Barat, Senin.
Beda organisasi, beda acuan. Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi atau wujud di sebagian wilayah diberlakukan untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia. Muhammadiyah sudah jauh hari menentukan awal puasa.
Muhammadiyah mengeluarkan maklumat penetapan 1 Ramadan jatuh pada Rabu 11 Agustus 2010. Penetapan ini sesuai dengan perhitungan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
"Ijtima menjelang Ramadhan 1431 H terjadi pada Selasa 10 Agustus 2010, tinggi hilal pada saat matahari terbenam 2 derajat," kata salah satu Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Fatah Wibisono, Jakarta, 19 Juli lalu.
Bagi Nahdlatul Ulama (NU), hari pertama puasa yang sudah dihitung Muhammadiyah itu tidaklah salah. Metode hisab bagi Muhammadiyah, ataupun rukyat yang dianut NU itu keduanya benar.
"Pendapat perhitungan falak (lintasan benda langit) itu hari Rabu (11 Agustus 2010). Secara hitungan hisab (bagi Muhammadiyah) itu memang Rabu. NU juga setuju," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj kepada VIVAnews.
Namun, NU baru akan melakukan rukyat pada Selasa 10 Agustus 2010, besok. Penentuannya belum bisa dipastikan sekarang. NU menentukan hari pertama puasa berdasarkan tampak atau tidaknya bulan di beberapa titik di Indonesia.
NU memiliki petugas seperti di Aceh, Bekasi, Kudus, Madura dan Jepara. Bila rukyat baru ditentukan Selasa, apakah ada kemungkinan awal puasa tahun ini berbarengan dengan Muhammadiyah?
"Kami tidak bisa menyebut ada prediksi. Kita lihat saja hasil rukyat. Potensi perbedaan akan selalu ada," jelas pria yang meraih gelar S3 dari University of Umm al-Qura, Mekkah, Arab Saudi jurusan Psikologi Islam pada 1994 ini.
Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), yang juga Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI, punya sedikit saran.
Pria yang akrab disapa Djamaluddin ini sedikit membuka kekurangan kelebihan masing-masing metode penghitungan. Menurut Djamaluddin, di kalangan ormas penganut rukyat (terutama Nahdlatul Ulama) kadang terjadi perbedaan ketika ada yang melaporkan hasil rukyat. Padahal ketinggian hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat yang mereka gunakan, yaitu ketinggian hilal 2 derajat.
Ketika ketinggian hilal positif, tetapi kurang dari atau sekitar 2 derajat potensi terjadinya perbedaan hari raya sangat terbuka. Itu menunjukkan bahwa persoalan perbedaan awal Ramadan dan hari raya kadang muncul dan berpotensi menimbulkan masalah sosial.
Maka hal utama yang harus diupayakan adalah memformulasikan kriteria tunggal yang dapat digunakan oleh semua ormas Islam dan pemerintah, yang secara teknis dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama.
Djamaluddin melanjutkan, Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (wujud di sebagian wilayah diberlakukan untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia). Sedangkan Persatuan Islam (Persis) menggunkan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia (sebelumnya menggunakan kriteria imkanur rukyat 2 derajat).
Djamaluddin menilai, jangan sampai kriteria yang menjadi pedoman sekadar berdasarkan interpretasi dalil syar’i tanpa landasan ilmiah astronomi atau berdasarkan laporan rukyat lama yang kontroversial secara astronomi, sehingga hanya akan menjadi 'olok-olok' komunitas astronomi internasional terhadap kriteria yang digunakan di Indonesia.
Kriteria visibilitas hilal, menurut Djamaluddin, merupakan kajian astronomi yang terus berkembang, bukan sekadar untuk keperluan penentuan awal bulan qamariyah (lunar calendar) bagi umat Islam, tetapi juga merupakan tantangan sains para pengamat hilal.
Dua aspek penting yang berpengaruh: kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada bulan dan kondisi cahaya latar depan akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer di ufuk (horizon).
Djamaluddin sedikit memberikan solusi. Untuk menampung metode perhitungan dan mengakomodir perbedaan, ia menawarkan kriteria baru, yakni Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia.
Kriteria baru itu hanya merupakan penyempurnaan kriteria yang selama ini digunakan oleh Badan Hisab dan Rukyat serta ormas-ormas Islam untuk mendekatkan semua kriteria itu menurut kajian astronomi.
Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama.
Usul konkret "Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia" itu adalah sebagai berikut:
1. Jarak sudut bulan-matahari > 6,4 derajat.
2. Beda tinggi bulan-matahari > 4 derajat.
Kendati demikian, untuk saat ini segala perbedaan sebaiknya tetap merujuk pada keputusan sidang itsbat dari Kementerian Agama. "Sidang itsbat itu telah mengakomodasi berbagai masukan dan pertimbangan," kata peneliti yang meraih gelar S2 dan S3 di Department of Astronomy, Kyoto University, Jepang, ini kepada VIVAnews. (hs)