Habis Akal Terbitlah Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Calon pasien menunjukkan kartu BPJS Kesehatan
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

VIVA – Pemerintah pantang mundur untuk mengegolkan obsesi menaikkan besaran iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan meski situasi ekonomi tidak baik dan masyarakat mengalami krisis keuangan akibat wabah virus corona. Dalam kondisi payah ini, Presiden Joko Widodo kembali memutuskan menaikkan premi program jaminan sosial di bidang kesehatan itu padahal keputusan serupa pernah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Analisis Pengamat soal Penyebab Utama PDIP Usung Andika-Hendi Kalah di Jateng

Tak seperti keputusan sebelumnya, dalam ketetapan teranyar pemerintah memodifikasi skema dan besarannya yang tidak disamaratakan persentase kenaikannya. Waktu berlakunya pun tidak serentak, melainkan secara bertahap, mulai Juli 2020 dan seterusnya sejak Januari 2021.

Anggaran untuk BPJS Kesehatan, dalih pemerintah, sebetulnya sudah sejak bertahun-tahun lalu defisit hingga triliunan rupiah dan mesti ditomboki sebagian besarnya. Jika iuran tidak segera dinaikkan, defisit akan terus menumpuk dan bahkan membengkak pada tahun-tahun mendatang seiring penambahan jumlah peserta BPJS Kesehatan.

Pengamat Politik: Kekalahan PDIP di Pilkada Jateng Pengaruh Prabowo dan Jokowi

Tak mau tekor terus

Besaran kenaikan yang berlaku mulai 1 Juli 2020 itu bervariasi, bergantung level kepesertaan. Iuran untuk peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp150.000 dari sebelumnya Rp80.000. Iuran peserta mandiri Kelas II meningkat menjadi Rp100.000 dari sebelumnya Rp51.000. Iuran peserta mandiri Kelas III juga naik menjadi Rp42.000 dari sebelumnya Rp25.500.

Ucapan Selamat Jokowi setelah Khofifah-Emil Menang Versi Quick Count

Khusus untuk peserta Kelas III, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp16.500 sehingga jumlah yang mesti dibayarkan tetap Rp25.500 per orang per bulan. Subsidi senilai itu berlaku sepanjang tahun 2020 dan pada tahun 2021 pemerintah hanya menyubsidi sebesar Rp7.000 sehingga yang harus dibayarkan oleh peserta Rp35.000 per orang per bulan.

Besaran kenaikan itu sebenarnya tidak berbeda jauh dengan skema sebelum dibatalkan dan dikembalikan ke semula oleh Mahkamah Agung pada Maret lalu. Namun, pemerintah memodifikasinya dengan subsidi, khusus untuk kelompok peserta Kelas III. Nilai subsidi juga akan dikurangi secara bertahap dari semula Rp16.500 menjadi hanya Rp7.000 per peserta per bulan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, seakan mengulangi argumen Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika kecewa atas putusan Mahkamah Agung. Dia menegaskan bahwa kenaikan iuran sebuah keniscayaan demi menjaga keberlangsungan program BPJS Kesehatan. Kalau tidak, BPJS Kesehatan akan terus menerus tekor sehingga berpotensi mengganggu pelayanannya.

Sri Mulyani waktu itu sempat menjelaskan secara ringkas bahwa putusan Mahkamah yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pasti memengaruhi keuangan badan hukum publik tersebut. “Kita berharap masyarakat tahu,” katanya memperingatkan, “ini konsekuensinya besar terhadap JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).” Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, dalam sebuah forum di Jakarta pada Oktober 2019, mengatakan bahwa perusahaannya terancam kolaps jika terus-menerus tekor.

Menurut klaim pemerintah, keuangan BPJS Kesehatan memang defisit dari tahun ke tahun. Pada 2019, contohnya, pemerintah menyuntikkan dana Rp13,5 triliun kepada BPJS untuk menomboki defisit Rp32 triliun, yang berarti sesungguhnya masih minus Rp15,5 triliun.

Pemerintah memperkirakan, dengan jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai 96,8 juta jiwa, anggaran membengkak menjadi Rp39,5 triliun pada 2020, Rp50,1 triliun pada 2021, Rp58,6 triliun pada 2022, Rp67,3 triliun pada 2023, dan Rp77 triliun 2024. Dengan skema kenaikan yang dirancang pada 2019 (sebelum dibatalkan oleh Mahkamah Agung), pemerintah dapat menganggarkan Rp48 triliun untuk BPJS—aman untuk tahun 2020 saja.

Akal-akalan

Organisasi pemerhati jaminan sosial, BPJS Watch, segera mengkritiknya sebagai muslihat untuk mengakali putusan Mahkamah Agung. Kenaikan iuran yang dimulai 1 Juli itu berarti hanya menjalankan amanat putusan Mahkamah pada April, Mei, dan Juni 2020. Selanjutnya tetap naik sesuai rencana semula pemerintah.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan, menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, memukul terutama para peserta mandiri karena mereka adalah kelompok masyakarat pekerja informal yang sangat terdampak pandemi Covid-19. Selain itu, berdasarkan peraturan yang baru, besaran denda juga naik menjadi 5 persen pada 2021 dari sebelumnya 2,5 persen.

Dalam pasal 38 Peraturan Presiden itu, Timboel mengingatkan, kenaikan iuran harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat. Tetapi kenyataannya pemerintah seolah mengabaikan kesulitan masyarakat. “Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat.”

Dewan Perwakilan Rakyat juga mengecam pemerintah yang mereka anggap melawan putusan Mahkamah Agung dengan menerbitkan peraturan baru. Tentu saja, menurut anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, membuat peraturan baru lebih mudah daripada melaksanakan putusan Mahkamah.

Sekilas, katanya, pemerintah menunjukkan perhatian kepada masyarakat dengan menyubsidi sebagian iuran BPJS Kesehatan untuk kelompok peserta Kelas III. Namun, sesungguhnya itu bentuk tidak empatinya pemerintah. Sebab sekarang bukan waktu yang tepat menaikkan iuran BPJS Kesehatan karena masyarakat sedang kesulitan. Dapat dipastikan banyak yang tidak sanggup untuk membayar iuran itu.

Dia mengkhawatirkan dampak yang lebih buruk lagi kalau masyarakat tak sanggup membayar, yaitu mereka rentan tidak atau dipersulit mendapatkan pelayanan kesehatan. “Dampaknya bisa serius,” kata politikus Partai Amanat Nasional itu, “dan dapat mengarah pada pengabaian hak-hak konstitusional warga negara.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya