Plintat-plintut Aturan Angkutan Publik kala Corona
- ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana
VIVA – Kebijakan pemerintah mengizinkan transportasi publik beroperasi lagi selama masa darurat wabah virus corona dianggap membikin bingung masyarakat. Awalnya pemerintah melarang semua angkutan umum berhenti beroperasi untuk mencegah masyarakat mudik dan menyebarkan corona ke daerah-daerah, tetapi lantas membolehkannya meski dengan syarat-syarat tertentu.
Transportasi umum yang dibolehkan beroperasi lagi tak hanya angkutan logistik, melainkan juga untuk penumpang orang. Semua sektor angkutan—darat, laut, dan udara—boleh beroperasi lagi. Namun mudik atau pulang kampung tetap dilarang, dengan kata lain, masyarakat tidak diperkenankan menggunakan angkutan umum untuk mudik.
Pesawat udara, bus atau kereta, kapal laut hanya boleh mengangkut penumpang orang dengan kriteria-kriteria tertentu, seperti tenaga kesehatan, pebisnis yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat, pasien yang memerlukan perawatan di luar kota, dan mereka yang bekerja di bidang pertahanan, keamanan, dan ketertiban umum. Orang-orang yang dikecualikan itu, menurut aturannya, tetap tidak boleh mudik.
Bukan relaksasi
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berdalih bahwa kebijakan itu bukan pelonggaran alias relaksasi atas pembatasan aktivitas sosial, melainkan penjabaran dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi selama Musim Mudik 2020. Soalnya larangan mudik tetap berlaku. Orang-orang yang dikecualikan boleh bepergian dilarang memanfaatkannya untuk pulang kampung dan tetap wajib menerapkan protokol kesehatan demi mencegah penularan.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga menegaskan, larangan mudik tetap berlaku dan mereka yang dikecualikan untuk bepergian harus memenuhi kriteria dan syarat-syarat ketat. Misal, harus menyertakan surat tugas bagi aparatur pemerintah, surat rekomendasi bagi yang tidak mewakili lembaga pemerintah alias swasta, surat rujukan bagi pasien yang memerlukan perawatan medis di kota lain.
Semua kalangan itu, tanpa kecuali, juga wajib menyertakan surat keterangan sehat atau negatif Covid-19 berdasarkan metode pemeriksaan secara cepat (rapid test) atau polymerase chain reaction (PCR) dari dinas kesehatan/rumah sakit/puskesmas/klinik kesehatan.
Aneka kriteria dan persyaratan yang terperinci itu dianggap cukup merepotkan dan tidak ada jaminan akan dipatuhi sepenuhnya ketika diterapkan. Tetap terbuka peluang pelanggaran sekaligus memperbesar risiko penularan Covid-19 dari satu kota ke kota lain. Minimal, masyarakat akan menganggap pemerintah inkonsisten alias plintat-plintut menerapkan pembatasan aktivitas sosial, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Namun, sebagaimana diungkapkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, pemerintah juga tidak punya pilihan lain untuk sebisa mungkin memastikan kegiatan ekonomi, terutama yang bersifat esensial atau penting, tetap berjalan. Presiden Joko Widodo memang yang memutuskan itu, katanya, karena pasokan pangan di sejumlah daerah terganggu akibat larangan mudik dan pembatasan angkutan umum.
Pada akhir bulan lalu, empat-lima hari setelah pemerintah secara resmi melarang mudik mulai 24 April, baru disadari bahwa larangan penerbangan komersial untuk mencegah pergerakan orang rupanya ikut memengaruhi distribusi pangan. Operasional angkutan kargo ternyata bergantung pada penerbangan komersial penumpang.
Pesawat dengan muatan kargo saja dan tanpa penumpang orang akan menjadi lebih mahal ongkosnya. Ringkasnya, kalau makin banyak pesawat penumpang komersial tak beroperasi, kian banyak daerah, terutama di wilayah kepulauan, yang akan mengalami kelangkaan pangan.
Tak kompak
Keputusan pemerintah pusat itu ternyata tidak selaras dengan sikap sejumlah pemerintah daerah. Para kepala daerah di Bogor, Depok dan Bekasi, contohnya, malahan mengusulkan lagi kepada Kementerian Perhubungan untuk penghentian sementara operasional kereta commuter line alias kereta rel listrik setelah tiga penumpang kereta penglaju itu terdeteksi positif terinfeksi virus corona.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bahkan mewanti-wanti pemerintah pusat bahwa jika operasional KRL tidak disetop untuk sementara waktu, bisa saja mengacaukan kebijakan PSBB di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Masyarakat masih bisa mondar-mandir dengan kereta listrik itu meski dengan penerapan secara ketat protokol kesehatan sekalipun.
Pemerintah DKI Jakarta bahkan seolah ragu-ragu untuk mengikuti kebijakan pemerintah pusat. Soalnya Dinas Perhubungan tetap melarang operasional angkutan umum luar kota luar provinsi. Jakarta tak mau kecolongan dengan melonggarkan pembatasan transportasi umum yang berarti juga membiarkan pergerakan orang selama masa PSBB.
Dewan Perwakilan Rakyat memprotes keras kebijakan Menteri Perhubungan itu karena sama saja dengan membiarkan orang-orang bepergian. Masyarakat Indonesia yang dikenal kurang disiplin, menurut anggota Komisi VI DPRI Achmad Baidowi, akan meningkatkan risiko penularan kalau pembatasan aktivitas sosial dilonggarkan.
Mesti diwaspadai juga gelombang kedua penyebaran Covid-19 seiring kebijakan itu. Sebab, jika mobilitas orang kembali seperti semula, atau sedikit lebih longgar, katanya, imbauan menjaga jarak menjadi tak bermakna. (ase)