Pembebasan Narapidana Senjata Makan Tuan Yasonna
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA – Kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, membebaskan puluhan ribu narapidana berefek berantai. Niat semula untuk mengurangi kapasitas penjara-penjara demi mencegah penularan wabah virus corona ternyata malah memunculkan aneka masalah baru.
Sebagian napi yang sudah menikmati kebebasan dilaporkan berulah lagi dengan bertindak kriminal. Status mereka sebagai mantan orang hukuman menyulitkan mereka mencari pekerjaan, apalagi aktivitas ekonomi mandek gara-gara pembatasan sosial.
Masyarakat kian resah karena para mantan napi mengancam keamanan dan ketertiban, sementara masyarakat juga dihantui kekhawatiran terjangkit Covid-19.
Sekelompok masyarakat akhirnya menggugat sang menteri ke pengadilan karena dianggap biang keladi keresahan itu. Yasonna dituding sembrono membuat kebijakan, meski atas alasan kemanusiaan untuk menghindari kejangkitan di penjara-penjara yang sesak dan bahkan mengklaim sesuai saran Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jumlahnya diklaim sedikit
Tiga kelompok masyarakat yang menggugat Yasonna—Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997, Masyarakat Anti-Ketidakadilan Independen (MAKI), dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia—menuding sang menteri tidak hati-hati dan cermat dalam membuat kebijakan membebaskan lebih 38 ribu napi. Contoh, tidak ada syarat si napi harus berkelakuan baik selama dipenjara dan pemeriksaan psikologis untuk memastikan tidak berulah lagi kelak.
Gugatan hukum itu memang difokuskan pada kebijakan pembebasan narapidana dari Rumah Tahanan Surakarta. Karena itu, yang disoal ialah Yasonna Laoly, kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah, dan kepala Rutan Surakarta.
“Kalau nanti [gugatannya] dikabulkan hakim,” kata Boyamin Saiman, selaku koordinator MAKI, “maka otomatis akan berlaku di seluruh Indonesia”.
Boyamin mengklaim, keresahan masyarakat bukan sesuatu yang dikarang-karang. Di Surakarta, katanya, saking resahnya, warga mengantisipasi ulah napi asimilasi dengan ronda malam.
Bahkan, tak sedikit di antara mereka harus mengeluarkan uang untuk membangun portal di jalan masuk gang perkampungan. Ringkasnya, masyarakat bukan hanya resah, tetapi jadi repot.
Polisi sudah memperingatkan gejala dampak buruk kebijakan asimilasi itu, terutama karena para mantan napi akan kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Terbukti, selama sepekan-dua pekan setelah pembebasan, polisi menerima banyak laporan peningkatan kriminalitas.
Sebanyak 30 narapidana (data 22 April 2020) asimilasi ditangkap lagi karena bertindak kriminal berupa penyalahgunaan narkotika, penipuan, pencurian, dan lain-lain.
Yasonna tak memungkiri bahwa kebijakannya pasti akan berdampak seperti itu. Namun, dia berdalih, jumlah mereka yang berulah lagi sebetulnya tidak banyak, bahkan kecil sekali, dibandingkan dengan narapidana yang dibebaskan.
Dia mengklaim, tidak lebih dari 50 napi dari 38 ribu yang dibebaskan itu menjadi residivis. “Angka pengulangan ini,” katanya dalam siaran pers pada 20 April 2020, “sebenarnya masih sangat rendah, bahkan jauh di bawah rate residivisme sebelum Covid-19”.
Sang menteri juga sempat membela diri atas tuduhan bahwa program asimilasi itu gagal dan bahkan mengancam keamanan nasional. Malahan, katanya, kalau ada napi yang ketahuan bertindak kriminal lagi dan ditangkap, itu bukti bahwa koordinasi dan pengawasan antaraparat berjalan baik.
Mereka yang ditangkap lagi bukan hanya akan dihukum berdasarkan dakwaan baru, melainkan juga akan dimasukkan ke sel pengasingan. Pokoknya mereka akan dibuat menyesal.
Yasonna tak gentar
***
Kementerian Hukum dan HAM menepis tudingan bahwa pembebasan napi tidak hati-hati dan cermat. Soalnya, kementerian sudah menetapkan sejumlah syarat normatif bagi napi yang hendak dibebaskan, di antaranya sudah menjalani dua pertiga masa hukuman untuk napi dewasa dan setengah masa pidana untuk napi anak hingga 31 Desember 2020.
Mereka yang dibebaskan juga tidak boleh yang sedang menjalani subsider dan bukan warga negara asing. Bukan pula narapidana dalam kasus-kasus yang terkategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa) seperti korupsi, terorisme, dan lain-lain.
Bahkan, Yasonna mengklaim, setiap napi yang akan dibebaskan harus ada penjaminnya terutama pihak keluarga. Si penjamin meneken surat pernyataan bahwa seorang napi diasimilasi di keluarganya.
Yasonna mengaku tak gentar dengan gugatan hukum itu. Dia bahkan mempersilakan saja masyarakat yang berniat memperkarakan kebijakannya. “Ndak ada masalah, kita hadapi," katanya, menanggapi secara singkat kabar gugatan itu.
Para penggugat tidak main-main mengadukan Yasonna dan aparaturnya ke meja hijau. Bahkan, seperti kata Boyamin Saiman, salah satu yang dituntut kepada pengadilan ialah pemerintah menarik lagi napi-napi yang sudah dibebaskan untuk mengembalikan rasa aman masyarakat.
Selanjutnya, tinggal menunggu putusan hakim untuk mengabulkan atau menolak gugatan Boyamin dkk. Kalau ditolak, kebijakan pembebasan napi secara massal itu akan berlanjut sampai Desember.
Sebaliknya, jika dikabulkan, berarti kebijakan Yasonna akan dibatalkan dan bahkan akan menjadi semacam senjata makan tuan. Sebab, bukan urusan kecil untuk mengembalikan napi-napi yang sudah dibebaskan ke penjara.