Staf Khusus Presiden Mundur Jadi Tumbal Kartu Prakerja
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/nz
VIVA – Adamas Belva Syah Devara pasrah setelah warganet se-Indonesia Raya mengkritiknya habis-habisan. Dia  mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Staf Khusus Presiden Joko Widodo. Dia tak mau keberadaannya sebagai pejabat negara sekaligus petinggi sebuah perusahaan digital yang bermitra dengan pemerintah dalam program Kartu Prakerja dicurigai sarat konflik kepentingan.
Jokowi memang sempat menyarankan Belva agar mempertimbangkan ulang niatnya untuk menanggalkan jabatannya. Tetapi tekad Belva sudah bulat dan Jokowi tak dapat mencegahnya lagi. Belva mengaku tak ingin polemik itu berlarut-larut sehingga mengganggu konsentrasi Presiden dan pemerintah dalam penanganan wabah virus corona.
Sebagian kalangan memuji sikap kesatria Belva yang memutuskan mundur teratur tanpa banyak omong. Bahkan sebagian yang lain menganggap itu teladan bagi pejabat-pejabat publik lainnya. Namun, centang-perenang urusan proyek Kartu Prakerja tidak serta-merta pungkas dengan pengunduran diri milenial lulusan Harvard University, Amerika Serikat, itu.
Menyubsidi perusahaan
Sorotan publik atas keberadaan Belva dan perusahaan digital yang dia pimpin, Ruang Guru, sebagai salah satu mitra dalam Kartu Prakerja sesungguhnya masalah sekunder. Perkara yang lebih pentingnya adalah ketidakterbukaan pemerintah dalam penunjukan delapan platform, salah satunya Skill Academy milik Ruang Guru, sebagai mitra bagi penyaluran dana tunjangan Kartu Prakerja.
Ada uang negara Rp5,6 triliun dari total anggaran program Kartu Prakerja Rp20 triliun yang akan mengalir ke delapan platform penyedia jasa pelatihan kerja secara daring (online). Kedelapan platform—Skill Academy, Tokopedia, Maubelajarapa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijarmahir, dan Sisnaker—menjadi mitra setelah ditunjuk langsung oleh pemerintah, bukan melalui lelang terbuka.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengklaim penunjukan itu sesuai prosedur dan tak ada peraturan yang dilanggar. Tetapi, ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara mengamati ada kejanggalan nyata: kesepakatan kerja sama antara pemerintah dengan kedelapan mitra ditandatangani sebelum peraturan teknisnya terbit. Dengan kata lain, peraturan teknis yang mendasari kerja sama itu belum dibuat tapi pemerintah sudah menunjuk delapan platform sebagai mitra.
Penggunaan uang Rp5,6 triliun untuk pelatihan kerja bagi 5,6 juta peserta Kartu Prakerja itu menjadi masalah lain yang tak kalah penting. Tiap peserta Kartu Prakerja memang menerima Rp3,55 juta selama empat bulan (April, Mei, Juni, dan Juli), tetapi Rp1 juta di antaranya harus dibelanjakan untuk membeli paket program pelatihan kerja secara daring di delapan platform mitra.
Kebijakan itu dikecam sejak awal. Sebab, para peserta Kartu Prakerja—yang mungkin saja merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran, atau pekerja sektor informal yang terdampak wabah Covid-19—dianggap lebih membutuhkan uang tunai daripada pelatihan kerja. Keterampilan kerja pun tak akan banyak gunanya selagi kegiatan ekonomi tetap lumpuh.
Program-program pelatihan kerja yang ditawarkan di kedelapan platform mitra Kartu Prakerja juga dikritik. Soalnya materi-materi pelatihan kerja secara daring semacam itu ternyata melimpah dan bahkan bisa diakses secara gratis di Youtube.
Kalau negara menganggarkan uang sebanyak itu untuk pelatihan kerja secara daring melalui delapan platform mitra, publik menyimpulkan, berarti negara justru menyubsidi perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagian kalangan menyarankan agar uang sebanyak itu—Rp1 juta per peserta—diberikan secara tunai seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), alih-alih diharuskan dibelanjakan untuk pelatihan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menolak saran itu, menurutnya, program jaring pengaman sosial berbentuk BLT sudah dianggarkan sendiri dan cukup banyak. Dia mencontohkan Program Keluarga Harapan (PKH), Pemberian Makanan Tambahan, BLT berwujud sembako atau uang tunai, dan lain-lain, yang totalnya senilai Rp105 triliun.
Namun, program Kartu Prakerja, sebagaimana keterangan pemerintah juga, diprioritaskan untuk mereka yang belum mendapatkan bantuan dari negara. Artinya, mereka yang terdaftar sebagai penerima bantuan-bantuan pemerintah seperti sembako, program Kartu Sembako, BLT, PKH, dan insentif-insentif lain, tidak diprioritaskan sebagai peserta Kartu Prakerja.
Dijadikan tumbal
Program Kartu Prakerja sejatinya tidak dirancang sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Program itu, yang semula muncul sebagai janji politik dalam kampanye Joko Widodo pada pemilu tahun 2019, didesain untuk pengangguran atau para pencari kerja atau pekerja yang ingin meningkatkan keterampilan kerjanya.
Wabah virus corona yang tak diduga bersamaan sedang diwujudkannya kampanye politik itu serta-merta memaksa pemerintah untuk memodifikasi program Kartu Prakerja sebagai jaring pengaman sosial pada 2020.
Kartu Prakerja akhirnya diorientasikan untuk masyarakat yang terdampak pagebluk Covid-19, seperti karyawan korban PHK, pengusaha kecil yang kehilangan pasar atau omzet, pekerja harian sejenis pengemudi ojek, dan lain-lain. Anggarannya ditambah dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliiun.
Karena tidak dirancang dengan cermat sejak diputuskan sebagai jaring pengaman sosial, coreng-morengnya ketahuan belakangan. Belva yang paling disorot, seolah dianggap paling bertanggung jawab, atau bahkan dijadikan tumbal sampai harus mengundurkan diri.