Indonesia adalah Desa
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Abdul Halim Iskandar ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Sebagian orang menilai, penunjukan kakak kandung Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) ini kental dengan nuansa nepotisme. Pasalnya, selama ini kiprah jebolan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan [IKIP] atau sekarang dikenal dengan Universitas Negeri Yogyakarta ini kurang didengar.
Namun, pria kelahiran Jombang, 14 Juli 1962 ini tak ambil pusing dengan tudingan orang. Alih-alih meributkan gunjingan orang, ia lebih memilih tancap gas membenahi kementerian yang ia pimpin. Usai dilantik ia membuat sejumlah terobosan guna meningkatkan efektifitas dan memaksimalkan kinerja kementerian yang tak hanya mengurus desa, namun juga daerah tertinggal dan transmigrasi ini. Salah satunya menggabungkan sejumlah direktorat dan meningkatkan kapasitas pendamping desa.
Kepada VIVAnews, suami dari Lilik Umi Nashia ini mengaku, pengalamananya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Jombang menjadi modal dia untuk memimpin Kementerian Desa dan PDTT. Demikian petikan wawancaranya..
Bisa diceritakan bagaimana Anda bisa menjadi Menteri Desa?
Saya juga nggak tahu gimana asal muasalnya. Tak pernah ada informasi apapun sebelumnya, tahu-tahu di suatu hari saya mendapatkan WA dari Pak Pratikno bahwa saya diundang untuk bertemu Pak Presiden. Saya kaget. Karena waktu itu situasi nasional kan sedang ramai membicarakan tentang Kabinet.
Lalu apa yang Anda lakukan?
Saya konfirmasi ke beberapa teman, semua bilang paling urusan itu (kabinet). Ternyata bener. Kemudian saya datang ke Istana sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan untuk ketemu dengan Presiden Jokowi.
Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar ?
Apa yang dibicarakan dengan Jokowi?
Pertemuan kami tidak lama, karena kebetulan sudah pernah kenal juga dengan beliau. Waktu itu beliau hanya bilang, bagaimana dengan pembangunan di masyarakat kita? Baik dengan sisi pendidikan, ekonomi, dan seterusnya. Saya jawab singkat, kemudian beliau banyak memberikan arahan, ya sudah. Beliau bilang, saya minta Pak Halim untuk membantu saya di kabinet, di posisi mana besok saya umumkan. Saya diminta menunggu dan jangan mengira-ngira posisi apa, tapi jelas arahnya memang kepada ke Kementerian Desa.
Apakah ada pesan khusus dari Jokowi?
Ya pesan khususnya bagaimana melakukan percepatan pembangunan di semua bidang. Makanya umum banget, tapi memang ada beberapa clue yang mengarah ke pemerintah desa.
Apakah PKB tak pernah memberitahu kalau Anda akan menjadi menteri?
Dari partai saya gak pernah dapat kabar. Meskipun saya tidak tahu apakah partai berproses. Saya juga tidak pernah membayangkan dapat tugas sebagai menteri. Perjalanan karir saya memang dari bawah, saya dari kabupaten, dan saya pada posisi di provinsi, sehingga tidak pernah berfikir masuk di kabinet.
Saat Jokowi meminta untuk menjadi salah satu menterinya, apa respon Anda ketika itu?
Ketika Pak Presiden meminta saya untuk ikut membantu beliau dalam kabinet saya merasa sangat tersanjung. Karena kabinet itu jumlahnya sedikit dan banyak orang yang berharap masuk di situ.
Selanjutnya, belanja masalah...
Sejak dipilih dan dilantik oleh Pak Presiden, apa saja yang sudah Anda lakukan?
Pertama saya melakukan aktivitas yang saya sebut, belanja. Belanja masalah. Karena saya menyadari betul, apapun yang dilakukan di dalam upaya membangun itu pertama harus direncanakan. Nah, sumber perencanaan yang paling bagus itu adalah problem. Saya menyadari betul, bahwa problem utama di dalam perencanaan adalah ketidakpahaman kita atas problem itu sendiri. Nah, karena itu makanya saya belanja masalah, supaya saya paham atas problem itu sendiri.
Dari problem itu saya menyusun beberapa langkah baik untuk jangka pendek supaya ada kerja - kerja kongkret, maupun jangka panjang dalam konteks pemerintahan Pak Jokowi periode kedua, maupun jangka yang lebih panjang lagi untuk Indonesia Maju, Indonesia Unggul 2045 sebagaimana yang dicita-citakan oleh Pak Presiden.
Lalu?
Dari belanja masalah itu kita temukan beberapa hal yang perlu mendapatkan penekanan. Pertama, dari sisi ukuran saja kita ada tiga parameter, satu Indeks Desa Membangun, ini miliknya Kementerian Desa. Dua, miliknya Bappenas, ketiga miliknya Kemendagri. Melihat ini sejak awal saya sudah menilai, gak bisa ini, ini harus dijadikan satu. Karena kalau ada tiga tolak ukur akan rumit. Ukuran satu aja kadang-kadang kita melihatnya bisa jadi berbeda hasil, apalagi ada tiga tolak ukur. Oleh karena itu saya ingin ini bisa diselesaikan, bagaimana semua ini bisa jadi satu tolak ukur bersama. Dan Alhamdulillah hari ini draft sudah difinalisasi terkait dengan Permen tentang Indeks Desa Membangun. Jadi Indeks Desa Membangun ini kita meleburkan tolak ukur yang dimiliki oleh Kemendes, Kemendagri, dan miliknya Bappenas, dan Alhamdulillah Pak Presiden setuju.
Selain itu?
Kemudian saya juga fokus terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di dalam pengelolaan dana desa. Persis seperti yang saya alami dan saya jalani, permasalahan utama dalam penggunaan dana desa adalah perencanaan. Dan perencanaan dipengaruhi oleh Sumber Daya Manusia untuk merencanakan dan para pihak yang terlibat dalam perencanaan. Maka saya fokus melakukan proses diskusi dan sosialisasi agar penggunaan dana desa 2020 itu betul-betul didasarkan pada sebuah perencanaan yang matang dan benar.
Bisa dijelaskan?
Benar itu ukurannya normatif, misalnya semua stakeholder yang harus terlibat di dalam proses perencanaan harus betul-betul dilibatkan, representasi warga miskin, representasi tokoh masyarakat, representasi tokoh agama, para pihak yang memang menjadi bagian yang memang tak terpisahkan dari MusDes untuk merumuskan APBDesa.
Terus, ada kasus juga dari hasil belanja masalah misalnya, APBDes tidak segera terselesaikan karena tidak mau ditanda tangan. Kenapa seperti itu, kita pelajari semuanya. Maka, sekali lagi saya tekankan bahwa perencanaan itu penting. Kalau perencanaannya berjalan dan baik, maka pelaksanaannya itu ada guidance-nya, ada yang memberikan arahan. Dan arahan yang paling benar adalah pengarahan dari perencanaan, bukan pengarahan dari apapun. Kalau pelaksanaannya itu sudah sesuai dengan arahan dari perencanaan, maka pertanggungjawabannya akan mudah. Karena kalau tiga hal ini linier, maka tidak ada itu pertanggungjawaban yang sulit. Itu yang saya tekankan betul di awal-awal saya jadi menteri.
Ada lagi?
Ketiga, sesuai dengan arahan Pak Presiden, yaitu reformasi birokrasi. Kita di Kementerian Desa langsung mendiskusikan sehingga hari ini tinggal nunggu surat resmi dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara terkait reformasi birokrasi yang kita lakukan.
Reformasi birokrasi apa yang Anda lakukan?
Ada efisiensi satu ditjen yang kita gabung, tapi juga satu ditjen yang bebannya besar kita bagi. Tapi yang pasti ada penurunan jumlah dirjen eselon I. Otomatis akan ada penurunan jumlah eselon II dan penataan di eselon III dan eselon IV yang oleh Pak Presiden ditekankan untuk tidak ada lagi ada eselon III dan IV kecuali untuk hal-hal yang memang sangat berkaitan dengan eksekutorial, eksekusi anggaran dan seterusnya yang itu tidak mungkin dilaksanakan oleh fungsional. Itu sudah selesai di Kementerian Desa, tinggal menunggu persetujuan dari Kemenpan RB.
Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar ?
Apa fokus Anda selama lima tahun ke depan?
Saya akan fokus pada dua hal, pertama edukasi dan kedua pertumbuhan ekonomi. Kedua hal ini yang kita urus betul di desa-desa selama lima tahun ke depan. Makanya saya juga sudah melontarkan beberapa gagasan untuk memberikan apresiasi kepada beberapa kepala desa yang berprestasi.
Maksudnya?
Satu periode itu enam tahun, kalau kepala desa itu bekerja secara maksimal dan berprestasi menurut hemat saya itu sudah layak disetarakan dengan lulusan S1 di bidang pembangunan masyarakat misalnya. Karena apa? Bedanya dengan yang kuliah, mereka (kepala desa) ini langsung praktek, implementasi dan langsung kelihatan hasilnya, dia berprestasi. Nah tinggal nambah beberapa mata kuliah dasar mungkin sifatnya filosofis, muatan ideologis, menurut saya layak mendapatkan gelar S1. Ini yang saya minta ke Kemendikbud dan juga ke rektor-rektor agar dicarikan formulanya.
Ini satu contoh, bagaimana saya ingin menerapkan pola-pola edukasi ini yang akan terus kita lakukan. Dan itu bukan hanya berlaku bagi kepala desa, bisa saja ini berlaku pada Kabag Keuangan yang punya tanggung jawab tidak ringan mengurusi duit dana desa. Sehingga mereka-mereka yang berprestasi itu bukan sekadar kita kasih penghargaan sertifikat, tapi ada yang lebih kongkret lagi, yang lebih substansi. Nah ini juga bagian dari edukasi.
Selain itu?
Terkait edukasi di 2020 ini saya juga fokus untuk meningkatkan kapasitas pendamping desa. Ini dilakukan supaya terjadi percepatan juga dalam proses pembangunan. Saya tidak ingin pendamping desa justru kalah dalam peningkatan kapasitas dibanding para aparatur desa. Targetnya sampai pada assessment supaya pendamping desa nantinya menjadi pendamping desa yang betul-betul memiliki kualifikasi di dalam pendampingan.
Selain itu saya kepingin jangka panjang dalam artian periode kedua Pak Jokowi ini digitalisasi desa betul-betul menjadi perhatian utama kita. Itu bukan hanya urusan pelayanan tapi ini juga terkait dengan pertanggungjawaban dana desa. Kalau semua penggunaan dana desa sudah cashless, maka akan sangat mudah untuk mempertanggungjawabkan. Karena semua ada jejaknya, duit dari kas desa itu perginya kemana, kapan dikeluarkan, berapa, siapa yang menerima, untuk keperluan apa dan lain sebagainya.
Jika itu dilakukan dalam bentuk digital, maka kepala desa akan mudah memantau dan pasti akan akuntable. Kalaupun ada kesalahan-kesalahan pasti kesalahan administratif, bukan kesalahan bersifat penyimpangan. Karena sejak awal sudah diberikan satu rambu-rambu bahwa dana desa hanya bisa ditransfer kepada mereka yang memang memiliki urusan langsung dalam perencanaan penggunaan dana desa.
Terkait peningkatan ekonomi?
Peningkatan ekonomi juga menjadi fokus kita, paling tidak mempersiapkan sistemnya. Tapi kalau bisa sudah terimplementasi meskipun belum banyak. Karena hari ini sudah terimplementasi sebenarnya transformasi ekonomi itu. Prinsip implementasi transformasi ekonomi itu bagaimana hulu dan hilir itu ada di desa. Jangan kemudian desa hanya dikasih kesempatan produksi barang mentah yang harganya murah, kalau tidak segera dijual akan lebih rugi lagi. Nah itu yang harus kita perhatikan betul. Hulu-hilir ini diukur dengan skupnya. Kalau bisa ditangani di desa, ya sudah satu desa menangani itu. Kalau tidak bisa satu desa, nah itulah yang sebut kawasan ekonomi desa. Makanya saya sekarang sudah menyelesaikan pemetaan desa berbasis kawasan dengan potensi unggulan.
Ada berapa desa yang masuk dalam kawasan ekonomi desa itu?
Ada 1227 kawasan dari 74 ribu desa itu kalau kita cluster dari potensi unggulannya ada 1227 kawasan. Dan ini akan mempermudah perlakuan juga terhadap pembangunan di situ. Terus yang tidak kalah pentingnya itu, hulu-hilirnya ketemu, bisa dikelola di situ.
Selanjutnya, pemanfaatan dana desa..
Bagaimana pemanfaatan dana desa dalam pemberdayaan ekonomi dan edukasi itu?
Jadi pembangunan itu memang harus ada, karena tahapan-tahapannya memang tidak bisa tidak dilakukan. Tahap awal memang pembangunan itu selalu bicara infrastruktur, dan itu tidak salah, karena memang faktanya dibutuhkan, meskipun baru bicara tentang skup desa. Dari data yang ada, pembangunan itu berjalan, meskipun terkotak-kotak.
Terkotak- kotak?
Mereka belum berfikir bagaimana membangun akses lintas desa agar tercipta sinergitas antardesa. Ada dua problem di sini, pertama problem kebutuhan desa pribadi. Kedua, masih belum selesai atau tuntasnya batas desa. Kalau dipotret dari atas desa-desa itu bagus-bagus pembangunan infrastruktur desanya, tapi ya itu, belum terkoneksi antara desa satu dengan desa yang lainnya. Karena kita kepingin kawasan tadi itu terkoneksi, karena tidak bisa membangun sektor-sektor tertentu saja, harus lintas sektor.
Bagaimana mekanisme pengawasan penggunaan dana desa agar tidak terjadi penyelewengan?
Mekanisme normatif pasti kita lakukan, inspektorat, kemudian pengawasan dari para pihak yang memang dimintai untuk membantu melakukan pengawasan, kemudian pengawasan dari masyarakat juga sudah normatif berjalan. Nah di sisi lain, kita terus melakukan proses transformasi terkait dengan pertanggungjawaban penggunaan dana desa, transformasi pengalaman.
Caranya?
Misalnya setiap hari Senin saya melakukan teleconference dengan pihak-pihak di daerah bisa di kabupaten, bisa sampai ke desa. Bulan Februari ini tema teleconference kita 'Jaga Dana Desa' di dalam pembahasan jaga dana desa itu salah satunya cerita tentang permasalahan dana desa. Yang nantinya kita akan ada artikulasi masalahnya apa, proses penyelesaiannya bagaimana, dan hasilnya bagaimana. Dan ini kan tugas kita, supaya apa? Supaya kita tahu persis apa sih masalah yang paling sering muncul.
Kedua, solusi apa yang paling efektif digunakan. Ketiga, berapa persen sih yang bisa kita selesaikan. Nah, semua permasalahan yang seperti itu kita share ke pendamping, kepala desa, masyarakat desa. Supaya apa? Supaya semua bisa belajar dari pengalaman yang ada. Itu termasuk salah satu bentuk pengawasan supaya mereka tau, oh kalau ada masalah seperti ini, solusinya seperti itu. Kedua, dari hasil pemetaan masalah itu kita tiap bulan kita share juga agar semua bisa mengetahui masalah biar bisa menjadi inspirasi bagi desa-desa yang lain.
Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar ?
Kenapa demikian?
Karena kita berhadapan dengan SDM yang sangat kompleks. Dari orang yang sangat paham, sampai orang yang sangat tidak paham urusan itu ada desa. Dari status sosialnya yang sangat bagus, sampai status sosialnya tidak bagus itu ada di desa. Nah ini 74.900 desa ada yang kepala desanya hanya lulusan SMP, ada yang doktor. Ada yang sudah punya pengalaman, ada yang tidak. Misalnya Papua, ketika kita melakukan clustering dengan potensi yang 1227 desa itu, itu minus Papua dan Papua Barat. Kenapa? Karena tidak bisa di-clustering. Pertama karena faktor geografis, satu desa dengan desa lain sangat jauh, belum lagi urusan bahasa, antara desa yang satu dengan desa yang lain berbeda bahasa. Jadi sangat beragam dan kompleks permasalahan desa itu. Dan tidak bisa tidak kan, karena semua bagian dari NKRI. Makanya penanganannya juga harus spesifik.
Saat ini berapa jumlah desa tertinggal?
Tertinggal itu sekitar 20000 an dari total 74.900 desa. Sangat tertinggal itu ada sekitar 6500 desa. Jadi masih ada 26000 an lah.
Apa yang akan dilakukan guna menaikkan level desa tertinggal dan sangat tertinggal itu?
Pertama kluster potensi desa dengan indentifikasi desa-desa. Dan kita sudah punya sampai pada item-item yang harus dikerjakan, sampai pada anggaran dalam konsep ideal, totalnya itu di angka 430 triliun untuk sampai pada level mandiri. Tapi kan tidak mungkin bisa tertangani secara keseluruhan. Tapi kalau dana desa itu dimanfaatkan dengan baik itu bisa. Sekarang saja dana desa itu kurang lebih sudah sampai 300 triliun dari 2015-2019, karena tiap tahun naik. Tinggal masterplane dan hasil pemetaan ini kita lakukan kerja keroyokan antarkementerian dan lembaga, akan terjadi percepatan yang luar biasa.
Tapi itu bagian dari obsesi atau harapan yang akan kita sampaikan kepada presiden. Tetapi dari segi kerja-kerja yang dilakukan oleh Kementerian Desa dengan target 10000 penuntasan desa tertinggal, kemudian 5000 menjadi desa mandiri, itu target standar kita. Ini yang harus terpenuhi dalam kurun lima tahun ke depan. Kalau ingin keroyokan, dari hasil pemetaan kita itu didalami oleh Bappenas dan diberikan kepada seluruh Kementerian lembaga, dan harus ada Inpres, baru kerja-kerja lintas sektoral itu bisa jalan. Kalau gak ada Inpres gak jalan.
Selanjutnya, mengubah paradigma..
Sejauh ini apakah ada kendala yang Anda hadapi?
Di awal perjalanan ada banyak kendala. Paradigma kelembagaan saja sudah satu hal yang tidak mudah. Karena Kemendes ini kan ada unsur Kemendagri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Desa Tertinggal. Tapi Alhamdulillah hari ini perbedaan paradigma itu sudah kita ratakan, termasuk dengan reformasi birokrasi itu. Ini kan pintu untuk menyatukan paradigma yang selama ini masih terjadi, tapi sudah ketemu di titik-titik tertentu. Termasuk yang ingin saya lakukan adalah perubahan paradigma transmigrasi.
Maksudnya?
Saya ingin paradigma transmigrasi itu mengikuti paradigma pembangunan permukiman baru, bukan kawasan transmigrasi lagi, tapi permukiman baru. Idealnya itu seperti Citraland, Ciputra. Itu kan mereka bikin permukiman. Akses pendidikan ada, akses kesehatan ada, akses permukiman bagus, akses pasar oke. Tentu tidak seperti itu persis, tetapi bahwa konsep pembangunan permukiman baru itu harus kita jadikan konsep pembangunan daerah transmigrasi. Sehingga kita tidak jualan janji, tapi kita jualan kawasan permukiman baru. Itu loh ada kawasan permukiman baru yang sudah disiapkan oleh pemerintah, sudah ada akses jalannya, sudah ada akses pendidikannya, sudah ada akses kesehatannya, akses pasar, dan lahan juga siap ditempati, siapa yang tertarik ke kawasan itu? Nah kalau itu terjadi kan mereka berangkat ke sana itu karena kesadaran, bukan karena dorongan kita. Nah, itu yang ingin saya lakukan. Meskipun itu butuh waktu lama. Tapi paling tidak ada perubahan paradigma, supaya tidak seperti yang sudah-sudah.
Selain itu?
Tujuan transmigrasi yang mendasar menurut saya adalah pemerataan penduduk, bukan pemindahan. Oleh karena itu saya berfikir, transmigrasi ke depan itu kalau bisa tidak memberikan ruang pada satu kawasan, tapi yang di Jawa ini. Karena pembebanan jumlah penduduk di Jawa di banding luas wilayah ini kan sudah gak masuk akal. Saat ini kan 60 persen penduduk Indonesia ada di Jawa. Konsekuensi perubahan paradigma itu adalah menutup transmigrasi lokal. Sehingga tidak ada mobilisasi sesama Kalimantan di Kalimantan, atau sesama Sulawesi ke Sulawesi juga.
Seperti rencana memindahkan ibu kota?
Iya. Paradigma itu kan sebenarnya terinspirasi dari perpindahan ibu kota. Kalau ibu kota pindah, pasti akan banyak sekali orang berbondong-bondong pindah ke sana. Kenapa? Karena mempunyai harapan hidup yang lebih layak, dan peluang kerja yang lebih bagus dibanding seperti yang eksisting sekarang.
Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar ?
Apa target Anda selama memimpin Kemendes ini?
Target kelembagaan selesainya 10000 desa tertinggal naik ke level atas. Kemudian pemanfaatan dana desa bisa maksimal. Tetapi selain itu, saya juga lagi mendiskusikan agar kita punya tolak ukur yang agak operasional terkait dengan indeks kebahagiaan. Kalau tadi kan kita ngomong kesejahteraan. Kalau pertumbuhan ekonominya bagus masyarakat pasti akan sejahtera. Kalau pendidikannya meningkat maka kesejahteraannya ada kemungkinan meningkat. Nah, saya menginginkan mungkin agak ideologis lah yaa, yaitu indeks kebahagiaan. Bagaimana sih tingkat kebahagiaan masyarakat itu? Karena ada beberapa negara yang sudah memiliki parameter-parameter kebahagiaan. Misalnya kesalehan sosial, kesalehan sosial itu dimiliki oleh semua agama. Selama ini kan kesalehan pribadi, masing-masing agama punya parameter kesalehan. Tapi kalau kita bicara kesalehan sosial, semua agama itu sama, karena universal kesalehan sosial itu. Nah, bayangan saya indeks kebahagiaan itu juga universal, dan bisa diukur. Jadi ke depan itu kita bisa mengukur desa itu tidak hanya dari sisi pembangunan infrastruktur, tetapi juga dari sisi kebahagiaan. Karena yang terpenting di situ itu.
Terkait dengan pendamping desa, hari ini berapa jumlah pendamping desa kita?
Jumlah pendamping desa kita baru 37000 untuk mendampingi 74.900 desa. 37000 itu dari tingkat kabupaten, pendamping desa tingkat kecamatan, dan pendamping desa tingkat desa. Nah, yang pendamping yang tingkat desa ini rasionya masih 1:3 ada yang 1:4. Sehingga dari sudut itu memang masih sangat kurang, ditambah lagi beberapa kekosongan yang saya putuskan untuk tahun 2020 ini kita tidak melakukan perekrutan untuk mengisi kekosongan itu.
Kenapa?
Karena saya ingin meningkatkan kapasitas dulu. Kalau sekarang kita rekrut baru, sementara yang sudah jalan ini belum kita upgrade kapasitasnya akan sama saja. Kalau diupgrade bareng-bareng pastikan akan kesulitan nanti. Yang rekrut baru kan benar-benar yang belum punya pengalaman, sementara yang sudah punya pengalaman ini paling tidak sudah lima tahun melakukan pendampingan. Makanya saya putuskan untuk moratorium dulu. Kita tingkatkan kapasitas para pendamping desa yang sudah ada dulu.
Sampai kapan moratorium dilakukan?
Sampai ini terukur dulu. Karena begini hitungan saya, sama-sama 1:3, 1:4 dibanding dengan 1:4 ketika kita isi kekosongan menjadi 1:3, tetapi baru sama sekali, menurut saya itu lebih bagus 1:4 yang punya pengalaman. Karena kerjanya menjadi lebih efektif, kemudian sistem pengawasannya juga sudah enak, dan kita sudah bisa menerapkan assessment para pendamping desa, karena perintah undang-undang nya kan begitu.
Apakah itu tidak menghambat target Anda terkait peningkatan kelas 10000 desa tertinggal?
Iya, makanya kan saya tidak sekedar menunggu. Aaya turun dengan datang ke desa-desa, melakukan teleconference, kemudian setiap saya ke lapangan saya coba panggil beberapa pendamping desa untuk saya tanyakan langsung apa yang sudah dilakukan, apa kendalanya. Jadi bukan sekedar melakukan kebijakan berjenjang, tidak. Tidak akan selesai itu. Dan memang pekerjaannya berlipat-lipat, tetapi tidak masalah, itu tanggung jawab saya. Sehingga saya harus tahu persis bagaimana permasalahan-permasalahan di desa. Dan menyelesaikan itu semua memang tidak bisa dengan cara berjenjang, harus kita turun dan selesaikan langsung.
Artinya Anda mencoba memangkas birokrasi yang ada?
Iya. Tapi tetap birokrasi itu jalan, tapi kita harus pantau langsung. Tetap penanganannya itu gak mungkin kita menangani semua masalah kan, kan tetap penanganannya di lokal, karena masalahnya kan juga beda-beda, dan penyelesaian masalah yang paling bagus adalah sesuai dengan kearifan lokal. Tapi kita harus pantau masalahnya semua. Membangun dari desa itu harus kita pantau langsung.
Apa harapan Anda?
Yang pasti kalau kita ingin Indonesia maju, kalau kita ingin Indonesia memiliki SDM unggul, maka kata kuncinya memang membangun desa. Karena desa itu akumulasinya menjadi kecamatan, kabupaten, provinsi, dan itulah Indonesia. Indonesia adalah desa, dan desa adalah Indonesia. Jadi kalau desanya makmur, desanya sejahtera, dan desanya bahagia, dan 74900 desa itu terakumulasi itu semua bahagia.
Pak Presiden Jokowi sudah betul sejak awal mencanangkan membangun dari desa. Oleh karena itu saya mengajak kepada semua pihak, semua bangsa Indonesia, ayok kita bangun Indonesia melalui desa, dan caranya sederhana, ayok kita betul-betul fokus memperhatikan proses pembangunan desa. Kalau semua mata, telinga, fikiran kita fokus ke desa kita masing-masing, ke semua desa di seluruh Indonesia, saya yakin akan terjadi percepatan pembangunan di desa. Dan itulah yang akan menjadikan Indonesia maju, Indonesia yang memiliki SDM unggul.