Sri Mulyani Kejar Setoran Receh Cukai yang Manis dan Kotor

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA – Entah kabar buruk atau kabar baik. Harga beberapa komoditas yang digemari masyarakat Indonesia akan naik. Minuman berpemanis seperti teh berkemasan, minuman berkarbonasi, kopi konsentrat akan dikenakan cukai. Kantong plastik alias tas keresek yang lazim dipakai untuk wadah belanjaan juga akan dikenakan bea serupa.

Mobil atau sepeda motor, atau kendaraan bermotor apa saja yang menghasilkan emisi karbondioksida (CO2), juga bakal dikenakan bea. Pembayaran cukai akan dibebankan pada pabrikan dan importir—berdasarkan seberapa besar emisi CO2 yang dihasilkan dari produknya—bukan pada pengguna. Namun, terang saja itu berarti akan membuat harganya akan lebih mahal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengusulkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat pada Rabu lalu. Parlemen pun, tanpa banyak penentangan, menyetujui rencana itu, meski waktu penerapan dan skema detailnya akan dibahas kemudian. Yang pasti, kalau kebijakan itu diberlakukan, Sri Mulyani memperkirakan penerimaan negara dari ketiga cukai itu lebih dari Rp22 triliun. Lumayan—maksudnya lumayan receh.

Demi apa?

Sri Mulyani mengusulkan perluasan penerapan cukai pada ketiga komoditas itu mempunyai tujuan ganda. Pertama, jelas saja untuk menambah penerimaan negara, terutama dari sektor cukai. Kedua, untuk kepentingan pelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. 

Dalam hal penerimaan negara, untuk kantong plastik alias tas keresek, skema tarif cukainya akan ditetapkan Rp30.000 per kilogram atau sebesar Rp200 per lembar. Harga keresek di toko-toko ritel sekarang Rp200 per lembar dan kalau dikenakan cukai akan naik menjadi Rp400 sampai Rp500 per lembar. Dengan asumsi konsumsi plastik 53,5 juta kilogram per tahun (setelah ditekan dari rata-rata 107 juta kilogram per tahun), potensi penerimaan Rp1,605 triliun.

Kenaikan harga tas keresek itu diharapkan dapat mengurangi penggunaan kantong plastik, yang akan menjadi sampah plastik yang sulit terurai dan mencemari lingkungan, terutama tanah dan air. Isu sampah plastik itu sudah menjadi masalah dunia dan banyak negara mulai membatasinya, sementara Indonesia disebut sebagai negara terbesar yang memproduksi sampah plastik.

Cukai dari minuman berpemanis, dengan gula atau pemanis buatan, ditargetkan mencapai Rp1,7 triliun. Produksi produk-produk yang akan dikenakan cukai—energy drink, kopi konsentrat, dan sejenisnya; teh berkemasan, minuman berkarbonasi—mencapai ratusan juta sampai miliar liter per tahun. Masing-masing jenis produk akan dikenakan cukai bervariasi: energy drink dan semacamnya Rp2.500 per liter, teh kemasan Rp1.500 per liter, dan minuman berkarbonasi Rp2.500 per liter.

Berdampak ke Pendapatan Daerah, Pemda Sentra Penghasilan Tembakau Usul Tarif Cukai Moderat

Jadi, harga ketiga jenis produk itu, apa pun nama atau mereknya, kelak akan naik di kisaran Rp1.500 sampai Rp2.500 per liter. Harga yang lebih mahal diharapkan mengurangi konsumsi gula untuk menekan risiko penyakit mematikan seperti diabetes yang dapat menyebabkan stroke sampai gagal ginjal.

Rencana penerapan cukai untuk kendaraan bermotor yang menghasilkan gas buang atau asap knalpot mobil atau sepeda motor, tidak hanya untuk mengurangi polusi udara, melainkan juga mendorong penggunaan kendaraan berbasis listrik, yang emisinya rendah. Kebijakan itu, selain memang menjadi program pemerintah, dunia kini mulai beralih pada kendaraan masa depan dengan mesin bertenaga listrik, bukan lagi berbahan bakar fosil seperti bahan bakar minyak.

39 Ribu Bungkus Rokok Tanpa Cukai Dimusnahkan Jaksa di Tangerang

Nilai potensi penerimaan negara dari komponen itu sebesar Rp15,7 triliun, yang didasarkan pada asumsi sekurang-kurangnya sama dengan nilai penerimaan pajak penjualan barang mewah menggunakan skema dan besaran tarif yang sama pada 2017. Tetapi, ada pengecualian: kendaraan umum, kendaraan pemerintah, kendaraan keperluan khusus seperti ambulans dan pemadam kebakaran, dan kendaraan untuk kebutuhan ekspor tidak dikenakan cukai.

Didukung sekaligus dikritik

Daerah Sentra Produksi Harap Cukai Produk Tembakau di 2025 Tidak Naik

Sri Mulyani memang sedang mengejar tambahan penerimaan negara, yang salah satunya diharapkan dari cukai ketiga jenis produk itu. Tetapi mantan pejabat tinggi Bank Dunia itu memahami, meski telah disetujui oleh DPR, tak serta-merta diberlakukan. Sebab, kondisi Indonesia sekarang memang melemah, dan jika dipaksakan dikhawatirkan akan menambah beban. Karena itu, waktu penerapan dan besaran tarifnya akan dikaji ulang.

Namun, sang Menteri juga diingatkan bahwa, jika kebijakan cukai-cukai itu diterapkan kelak, dananya mestinya juga dipakai untuk menyokong kebijakan ramah lingkungan dan kesehatan. "Misalnya, soal cukai kendaraan bermotor itu uang hasil cukai untuk memberikan insentif bagi mobil listrik, atau bahkan insentif untuk ekspor kendaraan ke luar negeri," kata Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).

Dibandingkan dengan sejumlah negara lain, misal saja negara-negara di Asia Tenggara, kata Bhima, jumlah barang kena cukai di Indonesia tergolong sedikit. Bahkan, pengenaan cukai bagi kendaraan bermotor dengan emisi CO2 sudah lama diterapkan di Thailand dan Vietnam.

Skema cukai seperti itu, umpamanya cukai pada kendaraan bermotor, akan secara bertahap mengubah pola konsumsi masyarakat menjadi lebih hemat BBM. Tapi, karena ada insentif, produsen mobil juga bisa lebih bersemangat untuk mengekspor ke luar negeri.

DPR, meski mendukung, tetap memberikan catatan kritis untuk Sri Mulyani. Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai rencana kebijakan itu setengah hati. Dalam hal upaya mengurangi sampah plastik, contohnya, mestinya diterapkan juga cukai untuk barang-barang plastik selain kantong keresek. Kalau hanya pada kantong keresek, dampaknya tak signifikan untuk mengurangi pencemaran lingkungan dari material itu, bahkan potensi penerimaan negara tidak lebih dari Rp1,5 triliun saja. "Makanya," dia mengusulkan, "karena risikonya sama, usulkan saja memasukkan sepuluh objek sama saja.”

Politikus Partai Golkar itu mengingatkan juga bahwa kendaraan bermotor bukanlah satu-satunya sumber emisi karbon yang menyumbang pencemaran udara; ada sektor industri atau manufaktur yang juga menghasilkan emisi. Sebab, sumber utama emisi karbon adalah bahan bakar. Maka, menurutnya, bahan bakar mestinya juga dikenai cukai, sebagaimana diberlakukan di sejumlah negara. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya