Takhayul Presiden Lengser gara-gara Kediri

Presiden Joko WIdodo, Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Khalayak seolah baru menyadari bahwa Presiden Joko Widodo belum pernah singgah di Kediri sampai Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengaku memang dia yang melarang Kepala Negara pergi ke sana. Alasannya, kota di Jawa Timur itu dianggap daerah kutukan bagi penguasa: presiden akan dilengserkan sehabis bertandang ke sana.

Demokrat Bakal Kaji Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD

Pramono mencontohkan presiden keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang diturunkan dari takhta pada 2001. Beberapa waktu sebelum pemakzulan itu, Gus Dur datang ke sebuah pesantren di Kediri. Tiga presiden pendahulu Gus Dur—Sukarno, Soeharto, dan B.J. Habibie—juga turun takhta sepulang dari Kediri. Megawati Soekarno Putri tak pernah ke Kediri selagi menjabat presiden dan, karena itu, lengser saat masa jabatannya memang sudah berakhir, bukan karena dimakzulkan.

Sayangnya, hipotesis Pramono rontok dengan kenyataan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang langgeng hingga sepuluh tahun di singgasana kepresidenan. Padahal SBY malah dua kali ke Kediri, pada 2007 dan 2014.

Reaksi Bobby Nasution Setelah Dipecat PDIP

Bercandaan atau Serius?

Meski mengetahui memang ada mitos itu, Pramono berdalih, ucapannya bercandaan belaka. Waktu itu dia merespons pidato seorang kiai yang bercerita tentang takhayul itu ketika dia menghadiri sebuah kegiatan di Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi pula, Jokowi memang tak diundang dalam forum itu, melainkan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Alasan PDIP Pecat Bobby Nasution karena Dukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024

Dalam forum itu juga, Pramono berkelakar, karena Ma'ruf Amin seorang kiai, sang wakil Jokowi-lah yang memiliki penawar atau penangkal kutukannya. Tetapi, dia juga mengisyaratkan setengah memercayai takhayul itu kala dia mengatakan, "Saya masih ingat, karena percaya atau tidak percaya, Gus Dur setelah berkunjung ke Lirboyo, tidak begitu lama gonjang-ganjing di Jakarta."

Dia lantas menegaskan, yang penting bukanlah tentang takhayulnya, melainkan Jokowi memang bukan pemimpin yang gampang gentar. Pramono mencontohkan betapa Jokowi tak ciut nyali datang ke Afghanistan, negeri dilanda konflik bersenjata, pada Januari 2018. Kalau Afghanistan saja dijabani, Pramono bertamsil, "Apalagi hanya ke Kediri."

Sayangnya klarifikasi mantan Sekretaris Jenderal PDIP itu terlambat. Sejumlah elite politik dan banyak warganet mencemooh ucapan Pramono. Sebagian mengingatkan bahwa Gus Dur dimakzulkan bukan karena datang ke Kediri, melainkan murni masalah politik; malahan Megawati sang ketua umum PDIP sekaligus wakil presiden kala itu dianggap menelikung Gus Dur sehingga terjadilah Sidang Istimewa MPR yang mengakhiri masa jabatan presiden. Sebagian yang lain mengecam Pramono karena dia, sebagai pejabat negara, justru menyampaikan pernyataan yang tak masuk akal.

Politikus Partai Demokrat Andi Arief meyakini, Pramono pastilah memahami bahwa sama sekali tak ada hubungan antara Kediri dengan kekuasaan seorang presiden. Dia malah menengarai, pernyataan menggelikan Pramono sebagai isyarat terang "kekuasaan Pak Jokowi sedang dalam berbagai tekanan yang tidak mudah."

Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang pernah dipimpin Gus Dur, ikut memprotes atas pernyataan Pramono. Sebagaimana diungkapkan Wakil Ketua NU Jawa Timur Abdus Salam Shohib, ucapan Pramono, serius atau cuma bercandaan, seolah upaya mengaburkan sejarah bahwa PDIP turut bertanggung jawab atas kejatuhan Gus Dur, alih-alih karena sehabis datang ke Kediri.

Adhie Massardi, mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, berpendapat serupa. Dia tak peduli kalau masih ada masyarakat yang meyakini mitos semacam itu. Tetapi, tak pantas kalau seorang pejabat negara seperti Pramono Anung mengatakan begitu, di forum pemerintahan pula. Dia bahkan menganggap candaan Pramono "merupakan manipulasi politik, karena yang melengserkan Gus Dur adalah Megawati."

Apa pun maksud atau tujuan Pramono, diakui atau tidak, dunia politik di Indonesia memang masih sarat dengan takhayul atau klenik. Pengamat politik pada Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin, misalnya, mengamini betapa masih kuatnya kepercayaan mistis masyarakat Indonesia. "Apalagi orang politik," katanya, "banyak yang sering datang ke dukun."

Ujang, tentu saja, menyangkal mitos Kediri dengan pudarnya kekuasaan presiden. Tetapi dia memperingatkan, tak sepantasnya pejabat publik sekelas menteri seperti Pramono tidak hati-hati berbicara, apalagi pernyataannya kemudian menjadi sumber keributan yang tak penting.

Asal-usul Kutukan

Cerita tentang kutukan itu disebut berasal dari legenda Kartikea Singha, raja Kalingga, kerajaan pra-Mataram Hindu abad keenam yang diyakini beribu kota di satu wilayah yang sekarang Desa Keling, Kecamatan, Kepung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Konon, Kartikea Singha, yang beristrikan Ratu Shima, pernah bersumpah bahwa siapa pun penguasa yang tak suci benar akan jatuh dari kekuasaannya.

Tetapi, cerita itu pun diragukan kebenarannya, karena sejauh ini tiada bukti yang mendukungnya. "Saya belum pernah membaca kisah-kisah masa lalu yang terkait dengan kutukan semacam itu," kata Purnawan Basundoro, pemerhati ilmu sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya. Kebanyakan, katanya, cerita-cerita serupa itu dikait-kaitkan dengan situasi-situasi tertentu di masa lalu, dalam bahasa Jawa disebut "gotak-gatik-gatuk".

Biasanya, menurut Purnawan, masyarakat mulanya mengamati satu-dua kejadian tertentu yang sama, kemudian segera disimpulkan ada kaitannya atau mengandung hubungan sebab-akibat. Masalahnya, keyakinan-keyakinan seperti itu sulit dibuktikan.

Tetapi, satu hal yang sudah pasti, mitos itu niscaya gugur ketika SBY berkunjung ke Kediri untuk meninjau para pengungsi akibat erupsi Gunung Kelud pada 2007 dan 2014. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya