Muslihat Omnibus Law Cipta Kerja (Rodi) demi Investasi
VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati girang setelah pemerintah merampungkan dan menyerahkan draf Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dia bahkan mengaku optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat, terutama pada 2020, dan tahun-tahun mendatang, jika Omnibus Law Cipta Kerja disahkan.
Kata kunci optimisme Sri Mulyani pada undang-undang sapu jagat yang dapat membatalkan atau mengubah beberapa undang-undang sekaligus hingga menjadi lebih sederhana itu ialah: investasi. Demi ringkasnya, Omnibus Law Cipta Kerja akan memangkas peraturan-peraturan atau bahkan undang-undang lain, apa pun namanya, yang dianggap menghambat investasi.
Optimisme pemerintah sebagaimana diungkapkan mantan pejabat utama Bank Dunia itu sudah dipatok dalam target realisasi investasi. Kalau Omnibus Law itu disahkan, selambat-lambatnya Mei 2020 --dengan mengabaikan kemungkinan digugat di Mahkamah Konstitusi-- Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal Bahlil Lahadalia menyebut, "... pertumbuhan realisasi investasi bisa 0,2 persen atau 0,3 persen dari hasil Omnibus Law [Cipta Kerja]".
Kerja Rodi
Masalahnya, rancangan Omnibus Law Cipta Kerja sedari awal disusun sudah diprotes terutama oleh para pekerja, pegiat hak asasi manusia, aktivis perempuan, hingga pencinta lingkungan. Undang-undang sapu jagat itu dituding akan menghapus banyak ketentuan bagi jaminan perlindungan dan kesejahteraan para pekerja atau buruh, tetapi lebih banyak menguntungkan para pengusaha.
Intinya, apa pun yang dianggap merintangi peluang investasi akan dihapus dan digantikan dengan ketentuan yang memudahkan investasi.
Contoh, dalam pasal yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Omnibus Law, Pasal 98, sanksi pidana diringankan bagi siapa pun, termasuk pengusaha, yang dianggap merusak lingkungan. Sanksinya denda paling sedikit Rp3 miliar atau paling banyak Rp10 miliar.
Padahal, dalam Pasal 98 ayat 1 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusak lingkungan diancam penjara 3 tahun atau paling lama 10 tahun dan denda Rp3-10 miliar.
Contoh lain, dalam Pasal 40 ayat (1) undang-undang itu, izin lingkungan adalah persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan. Tetapi, dalam Pasal 23 Angka 19 Omnibus Law disebutkan bahwa "Ketentuan Pasal 40 dihapus."
Hal yang paling banyak dikritik dalam Omnibus Law ialah ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bahkan sampai mendaftar sembilan hal yang dianggap akan sangat merugikan para pekerja/buruh, antara lain (1) hilangnya upah minimum; (2) hilangnya pesangon; (3) outsourcing seumur hidup; (4) karyawan kontrak seumur hidup; (5) waktu kerja yang eksploitatif; (6) tenaga kerja asing buruh kasar unskill worker berpotensi bebas masuk ke Indonesia; (7) hilangnya jaminan sosial dengan adanya sistem outsourcing seumur hidup dan karyawan kontrak seumur hidup; (8) PHK dipermudah; dan (9) hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha.
Dalam Omnibus Law, upah minimum hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Karena itu, menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam keterangan tertulisnya, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus.
Padahal, UMP tidak dibutuhkan dan tidak ada daerah di seluruh wilayah Indonesia pengusahanya membayar berdasarkan UMP, tetapi mereka membayar upah minimum buruh berdasarkan UMK atau UMSK, kecuali di DKI Jakarta dan Yogyakarta.
Dalam hal outsourcing, kata Iqbal, ketentuan itu bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan tidak ada batas waktu. Artinya, buruh bisa saja dipekerjakan secara outsourcing seumur hidup. Padahal dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dibatasi untuk lima jenis pekerjaan yang bukan core bisnis.
Iqbal meyakini, peraturan itu akan memicu gelombang outsourcing besar-besaran sehingga perusahaan dapat menghindar dari tuntutan para pekerja. Pekerja outsourcing tidak mendapatkan pesangon.
Bahkan, bisa dibayar per jam (satuan waktu) yang mengakibatkan upah yang diterima di bawah upah minimum. Dampak yang lain, pekerja outsourcing tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun akibat hanya dipekerjakan beberapa jam.
Karena buruh akan diupah per jam kerja, berdasarkan outsourcing, Iqbal berpendapat, waktu kerja buruh berpotensi tak pasti atau berlebih. Dalam Undang Undang Ketenagakerjaan, diatur waktu kerja maksimal tujuh jam per hari untuk enam hari kerja dan delapan jam sehari untuk lima hari kerja. Namun, dalam Omnibus Law, pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam, yang penting maksimal 40 jam sepekan.
"Ini tak ubahnya seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif," kata Iqbal. Sebab, menurutnya, pengusaha bisa mempekerjakan buruh bekerja selama 12 jam sehari selama empat hari kerja tanpa dibayar upah lembur, seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif.
Dikebut Kelar
DPR belum membahas draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang pemerintah serahkan pada pekan lalu. Alasannya, karena draf rancangan undang-undang setebal lebih seribu halaman itu masih diregistrasi untuk selanjutnya ditentukan dibahas di Badan Legislasi atau Panitia Khusus hingga disahkan dalam rapat paripurna.
Atas dasar itu, sebagaimana diungkapkan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, parlemen belum dapat mengomentari apa pun tentang draf itu, termasuk butir-butir yang menjadi keberatan sejumlah pihak seperti KSPI.
Namun, Azis mengklaim, DPR tak keberatan dengan target pemerintah bahwa RUU itu harus rampung dalam seratus hari mendatang atau paling lambat Mei 2020. Dia berterus terang, membahas RUU itu memang bukan pekerjaan mudah, selain karena drafnya lebih seribu halaman, juga menyangkut banyak aspek.
Dia malah sesumbar, kalau memungkinkan justru disahkan kurang dari seratus hari. "Kalau memang bisa dikerjakan sebelum seratus hari, diselesaikan," ujarnya.
Politikus Partai Golkar itu hanya berpendapat sekilas tentang kemungkinan undang-undang yang dianggap merintangi investasi dapat dibatalkan atau diubah cukup dengan peraturan pemerintah, sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 170 Ayat 1 RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dia dengan lugas mengatakan tidak bisa, sebab peraturan pemerintah stratanya di bawah undang-undang, artinya, peraturan di bawah undang-undang tidak dapat membatalkan atau mengubah undang-undang.
Pada pokoknya, Azis mengingatkan, semua hal yang dirancang dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja tak serta-merta dapat disahkan, melainkan masih dapat diubah atau dikoreksi, atau bahkan dibatalkan. Lagi pula, DPR menyusun undang-undang harus bersama pemerintah; undang-undang tidak dapat disahkan secara sepihak.
Dia juga mengisyaratkan akan terjadi dinamika yang seru dalam perjalanan pembahasan RUU itu nanti. “[Kalau langsung] sah saja gitu, enggak ada hal yang surprise (kejutan)," tuturnya.