Kala Muncul Ide Ekspor Ganja

Aparat Kepolisian Polres Aceh Utara mencabut batang tanaman ganja saat operasi ladang ganja di Desa Cot Rawa Tu, Kecamatan Sawang, Aceh Utara, Aceh, Rabu, 10 Mei 2017.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rahmad

VIVA – Sebuah ide sempat muncul saat rapat antara Komisi VI DPR RI dan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, perihal menjadikan tanaman ganja jadi komoditas ekspor. Padahal saat itu, mereka sedang membahas perjanjian dagang antara ASEAN dan Jepang.

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKS, Rafli, adalah yang mengutarakan ide tersebut. Alasannya karena ganja yang berasal dari Indonesia banyak tumbuh di Provinsi Aceh.

"Jadi Pak, ganja ini bagaimana kita jadikan komoditas yang diekspor, yang bagus. Jadi kita buat lokasinya. Saya bisa kasih nanti daerahnya di mana. Setuju enggak?" kata Rafli di Gedung DPR RI, Senayan.

Rafli lalu menyebutkan jika tanaman ganja memiliki banyak manfaat. Salah satunya adalah untuk kebutuhan dunia farmasi.

Dia bahkan mengajak masyarakat untuk bisa berpikir terbuka. Dan tidak terjebak dalam anggapan yang tidak benar selama ini.

"Ganja, entah itu untuk kebutuhan farmasi, untuk apa saja. Jangan kaku, kita harus dinamis berpikirnya," ujar Rafli.

Namun, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini lalu menegur keras anggota Komisi VI asal Aceh itu yang membuat pernyataan saat rapat kerja dengan menteri Perdagangan soal kemungkinan regulasi tanaman ganja agar bisa diekspor untuk kebutuhan farmasi atau obat.

Jazuli mengatakan itu menjadi pendapat Rafli, sebagai pribadi anggota DPR. Tidak mewakili sikap PKS saat berbicara dalam forum rapat kerja itu tentang peningkatan ekspor komoditas nasional dan lokal untuk menggenjot ekonomi dan pemasukan negara. 

"Beliau melihat tanaman ganja sering disalahgunakan sebagai narkotika dan Aceh daerah pemilihannya sering dikaitkan dengan tanaman ini," kata Jazuli melalui keterangan tertulisnya, Jumat malam 1 Februari 2020.

Menurutnya, negara perlu tegas meregulasi untuk mengatasi penyalahgunaan ini. Jika pun ada manfaat, Rafli meminta negara mengkajinya dalam batasan ketat dan terbatas.

"Apakah untuk ekspor demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk untuk obat atau farmasi," tutur Jazuli.

Fraksi PKS menilai pernyataan pribadi Rafli itu kontroversial, dan telah menimbulkan polemik yang kontraproduktif. Apalagi usulan itu tidak mencerminkan sikap Fraksi PKS 

Survei: Pemilih PKS dan Golkar di Depok Solid Dukung Duet Imam-Ririn

"Karenanya pernyataan pribadi itu layak diluruskan dan dikoreksi, apalagi telah menimbulkan salah paham dan framing terhadap PKS," kata Jazuli.

Ia mengklaim, PKS justru dikenal vokal menolak narkoba dan mendukung Badan Narkotika Nasional (BNN). "FPKS memahami UU kita khususnya UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tegas melarang ganja dan mengkategorikannya sebagai narkotika golongan I," tutur Jazuli.

Instruksi Bahlil ke Kader Golkar: Kepung Jakarta!

Jazuli menegaskan, narkotika golongan ini dilarang untuk pelayanan kesehatan, meski dalam UU 35/2009 juga terdapat pengecualian dalam jumlah terbatas bisa digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

"Atas dasar itulah Fraksi PKS menegur keras Pak Rafly. Dan yang bersangkutan meminta maaf atas kesilapan pikiran dan pernyataan pribadinya itu sehingga menimbulkan polemik serta membuat salah paham di kalangan masyarakat. Dan beliau menarik usulan pribadinya," kata Jazuli.

Unggah Momen Pertemuan dengan Anies, Akun Medsos Ahmad Syaikhu Malah Di-bully

Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi pun sudah menanggapi wacana mengekspor ganja yang sempat disampaikan salah satu anggota DPR dari Fraksi PKS itu. Menurut dia, upaya menjadikan ganja sebagai komoditas ekspor bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam, aspek hukum, fisik, psikologis, sosial, serta aspek keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dalam Islam jelas bahwa hal yang memabukkan diharamkan, termasuk di dalamnya ganja. "Banyak dalil Islam yang memperkuat hal tersebut. Artinya usulan ekspor ganja bertentangan dengan Islam," kata Baidowi.

Reza Novalino, konselor adiksi Yayasan Karisma mengatakan, menanam ganja bisa terkena Undang Undang 35 Tahun 2009. Jangankan berbicara ekspor, mengetahui keberadaan tanaman ganja saja bisa dikenai hukuman.

"Itu kita masih terbentur UU 35 Tahun 2009. Jangankan mengekspor, mengetahui tidak melapor saja kita masih kena undang-undang. Orang tahu seseorang menyimpan, memiliki, menguasai kita kena undang-undang," kata Reza kepada VIVAnews.

Jika ada provinsi yang ingin mengekspor ganja, Reza melanjutkan, maka UU 35 Tahun 2009 harus banyak diubah. "Nanti jika Aceh mau mengekspor, kita harus banyak dong yang diubah Undang Undang Narkotika-nya," katanya.

Rafli pun mengakui bahwa kendala regulasi memang menjadi hal lain yang juga harus dipikirkan, mengingat saat ini status tanaman ganja secara hukum adalah sebagai salah satu jenis narkoba terlarang.

Senada dengan Rafli, Reza menyebut jika ekspor ganja harus dibahas lebih lanjut, mengingat tanaman ganja untuk penelitian dan medis saja masih banyak dipertentangkan. Demikian juga untuk keperluan medis, ganja bukan sebagai obat penyembuh kanker tetapi untuk mengurangi rasa sakit.

"Perlu pembahasan lebih lanjut lagi. Kita nggak usah ngomong ekspor dulu, untuk penelitian ganja untuk obat atau medis saja masih pro kontra di Indonesia,” tuturnya. 

“Kalau untuk beberapa negara sudah mulai tuh. Bukan untuk menyembuhkan kanker, tapi untuk mengurangi rasa sakitnya. Tapi sebenarnya perlu ditindaklanjuti, perlu pembahasan lebih lanjut idenya," kata Reza.

Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulistyo Pudjo Hartono, mengatakan ganja dan turunannya mengandung narkotika. Dan menegaskan jika negara melarang, baik menanam maupun memperjualbelikannya.

"UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, salah satu narkotika golongan I adalah ganja. Kalau untuk bisnis ditanam, kemudian diperjualbelikan untuk kepentingan umpamanya internasional, itu kita melarang, baik yang canavia maupun turunan-turunannya, ganja itu kita larang sesuai UU," ucap Sulistyo kepada VIVAnews.

Ganja di Dunia Medis

Di Indonesia, ganja masih dikelompokkan sebagai narkotika golongan I. Meski untuk keperluan medis, ganja masih sangat dibatasi. Tapi, di beberapa negara seperti Uruguay dan Kanada, ganja sudah dilegalkan meski tak semua warga negara boleh menggunakannya.

Pemusnahan ladang ganja seluas 5 hektar di Mandailing Natal.

Pemusnahan ladang ganja di Mandailing Natal.

Meski dilegalkan, beberapa masih membatasinya pada penggunaan medis. Inilah yang perlu diketahui bahwa ganja untuk keperluan medis berbeda dengan daun ganja sebagai narkotika.

Badan obat Amerika Serikat, FDA, menyebutkan jika tanaman ini memiliki lebih dari 100 zat kimia yang dikenal dengan cannabinoids. Masing-masing zat kimia itu memiliki efek yang berbeda pada tubuh.

Peneliti Natural Product and Pharmaceutical Chemistry Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sofna Banjarnahor, mengatakan, dalam ganja memang mengandung banyak senyawa aktif. Setidaknya ada 113 lebih senyawa.

Dilihat dari sifatnya, senyawa pada ganja terbagi menjadi dua yakni senyawa psikoaktif yang terikat pada reseptor di otak, dan senyawa non-psikoaktif yang terikat lemah dengan reseptor tersebut. Berikut daftar beberapa senyawa yang ada di tanaman ganja:

1. Tetrahydrocannabinol (THC); Senyawa ini bersifat psikoaktif. Senyawa ini sangat larut dalam lemak, sehingga bisa menembus peredaran darah otak (blood brain barrier) dan memacu fungsi otak, yang dapat mengakibatkan perubahan sementara atas fungsi kognitif.

Senyawa ini pula yg menimbulkan efek adiksi atau ketergantungan. Senyawa dapat memengaruhi mood hingga menimbulkan euforia/rasa gembira berlebihan, meningkatkan selera makan, dan lainnya. Namun hanya bersifat sementara. 

2. Cannabidiol (CBD); senyawa ini bersifat non-psikoaktif. 

3. Cannabichromene (CBC); senyawa ini bersifat non-psikoaktif.

4. Cannabigerol (CBG); senyawa ini bersifat non-psikoaktif.

5. Cannabinol (CBN); senyawa ini bersifat non-psikoaktif.

6. Tetrahydro cannabinoic acid (THCA); senyawa ini bersifat non-psikoaktif. 

Senyawa positif dalam ganja juga dibenarkan oleh peneliti lainnya. Peneliti Puslit Kimia LIPI Muhammad Hanafi, mengatakan, ada beberapa zat yang terkandung di dalam daun ganja. Tumbuhan dengan nama latin Cannabis sativa atau Cannabis indica ini memiliki zat yang bervariasi.

Hanafi mengatakan, senyawa positif yang terkandung dalam ganja disebut polifenol. Senyawa itu berfungsi sebagai antioksidan dan bisa menjadi bahan aktif untuk kesehatan. Selanjutnya, zat negatifnya bernama Tetrahydrokarbinol atau disebut dengan zat halusinogen.

"Polifenol secara umum berfungsi sebagai antioksidan dalam menangkap atau menetralisir radikal bebas. Bisa juga untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. Polifenol, dikenal juga dengan senyawa flavonoid atau isoflavonoid," tuturnya.

Namun, menurut Reza, penggunaan tanaman ganja sebagai obat medis masih menjadi pro kontra.

"Ganja di Indonesia jadi pro kontra untuk ganja medis, sedangkan di beberapa negara seperti Thailand udah mulai untuk hal-hal kayak gitu (medis). Di kita belum jelas regulasinya, karena terbentur sama norma, sama adat, sama adab, dan lain-lain," ucap Reza.

Deretan Negara yang Legalkan Ganja

Rafli menyebutkan jika bahaya tanaman ganja merupakan konspirasi global. Bahkan ia menyebutkan, jika ganja bukan penyebab seseorang bisa menjadi pembunuh.

Ilustrasi peta dunia

Peta dunia.

"Jadi ganja ini, ini adalah konspirasi global. Dibuat ganja nomor satu (tingkat) bahayanya. Narkotika yang lain dibuat nomor sekian-sekian,” ujarnya.

“Padahal yang paling sewot dan gila sekarang masuk penjara itu bukan orang ganja. Orang yang pakai sabu-sabu bunuh neneknya, pakai ekstasi segala macam," kata Rafli.

Beberapa negara bahkan kini telah melegalkan penggunaan ganja, baik untuk keperluan medis maupun konsumsi pribadi. Dan jumlahnya semakin bertambah. Bahkan salah satu alasannya adalah sebagai peningkatan pendapatan negaranya yang berasal dari pajak.

Menurut Yvonne Sibuea dari Pelopor Perubahan Institute, banyak negara yang justru mendapatkan keuntungan dari penjualan ganja secara legal. Bahkan bisa menambal defisit anggaran.

"Negara-negara yang sudah melegalkan pemanfaatan ganja sudah menangguk keuntungan besar sehingga mampu menambal defisit anggaran. Sudah saatnya Indonesia memikirkan kemungkinan pemanfaatan tersebut," ucap Yvonne kepada VIVAnews.

Yvonne juga mengatakan, jika penjualan ganja bisa menambal defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang kian besar.

"Dengan kondisi defisit BPJS misalnya, pajak dari pemanfaatan ganja sangat bisa digunakan untuk menambal kebutuhan dana. Kalau dimanfaatkan secara maksimal, bisa jadi pajak ganja melebih pendapatan negara dari pajak rokok," tambahnya.

Dikutip dari Thesun.co.uk, beberapa negara telah melegalkan penggunaan tanaman ganja baik untuk medis maupun penggunaan pribadi. Di Australia, Puerto Riko, Polandia, Republik Ceko, Kroasia, dan Makedonia bebas menggunakan tanaman ganja untuk tujuan pengobatan dalam beberapa bentuk. Dan di Turki, diperbolehkan mengolahnya untuk penggunaan medis dan juga pribadi dalam jumlah terbatas.

Sementara itu, di Uruguay, Spanyol, Slovenia, Belanda, Jamaika, dan Kanada, tanaman ganja legal untuk digunakan dalam bentuk apa pun, meskipun ada batasan jumlah yang diperbolehkan untuk digunakan. Amerika Serikat (AS) juga sama telah melegalkan penggunaan ganja, meskipun beberapa negara bagian melarang untuk penggunaan pribadi.

Di antaranya adalah negara bagian AS yaitu Alaska, California, Colorado, Maine, Massachusetts, Minnesota, Maryland, Mississippi, Nevada, New Hampshire, New York, Carolina Utara, Ohio, Oregon, Rhode Island, Vermont, dan Washington yang memiliki undang-undang tentang obat-obatan terlarang.

Alasan negara-negara tersebut melegalkan ganja bermacam-macam, di antaranya adalah menurunkan penjualan narkotika ilegal hingga menambah pendapatan negara. Kanada salah satunya yang mendapatkan keuntungan besar dari penjualan legal tanaman ganja.

Dikutip dari Busines.financialpost.com, pemerintah Kanada mendapatkan uang dari pajak ganja sebesar $186 juta setara Rp1,9 triliun hanya dalam kurun waktu lima bulan dilegalkan. Pemerintah Kanada menetapkan pajak sebesar 10 persen untuk setiap 1 gram ganja.

Sementara itu, menurut Sulistyo, bahaya jika memperjualbelikan ganja dalam bentuk apa pun.

"Jutaan ton disita di seluruh dunia dan tahun 2019 ada 112 ton disita BNN atau Polri. Jadi diperdagangkan bahaya. Kalau kita perdagangkan nanti baliknya lagi dalam produk lebih canggih lagi, lebih murni lagi, nah ini yang dipertaruhkan masa depan bangsa kita, anak-anak kita," ucap Sulistyo.

Sulistyo menegaskan, BNN menolak dengan tegas apa pun alasannya. "Menolak dengan tegas dan keras," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya