Kasus Jiwasraya, Tanggung Jawab Siapa?
- ANTARA FOTO
VIVA – PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menyita perhatian publik karena kasus gagal bayar polis asuransi. Perusahaan pelat merah itu ditaksir Kejaksaan Agung hingga Agustus 2019 mengalami kerugian sedikitnya Rp13,7 triliun.
Pemerintah pun diminta berani dan transparan dalam mengusut polemik Jiwasraya. Sebab, nasabah yang terancam menjadi korban jumlahnya tak sedikit. Bahkan, ada warga negara asing dari Korea Selatan ikut menjadi korban.
Anggota Komisi VI DPR, Andre Rosiade, menekankan perlunya transparansi dan tak tebang pilih dalam kasus Jiwasraya. Selain itu, kebijakan taktis dan gerak cepat diharapkan dilakukan pemerintah, terutama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Menurut Andre, Menteri BUMN Erick Thohir sebagai representasi pemegang saham pemerintah juga mesti berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Koordinasi ini sebagai langkah penyelamatan Jiwasraya.
"Ya itu lagi, transparan, gerak cepat, ketegasan hukum, dan kebijakan yang taktis. Industri asuransi ini butuh kepercayaan masyarakat. Unsur trust penting jadi kunci," kata Andre kepada VIVAnews, Rabu, 25 Desember 2019.
Andre menilai dalam kasus ini ada kesalahan tata kelola investasi yang dilakukan oknum pejabat Jiwasraya. Maka itu diperlukan tindakan hukum terhadap oknum pejabat untuk mempertanggungjawabkan dugaan pelanggaran.
"Ini kan dilihat ada tata kelola yang enggak beres. Nah, kalau ada indikasi oknum salah ya proses dan tindak hukum," ujar politikus Gerindra itu.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan kasus gagal bayar Jiwasraya ini masuk aksi oknum korporasi yang bisa dikualifikasi sebagai perbuatan pidana.
Jiwasraya/ANTARA FOTO
Fickar menyebut pelanggaran pidana ini seperti kenakalan oknum direksi yang memainkan dana investasi masyarakat. Kata dia, hal ini misalnya OJK hanya mematok sisi bunga bank maksimal 5 persen.
Namun, dalam pemasarannya ke masyarakat, Jiwasraya memberikan 13 persen. Cara ini membuat Jiwasraya harus mencari dan memilih menginvestasikan dana masyarakat yang terkumpul kepada perusahaan finance lain.
"Dalam konteks ini oknum direksi hanya menginvestasikan dana masyarakat tersebut pada perusahaan yang baik dan sehat sebesar 20 persen. Sedangkan yang 80 persennya kepada perusahaan abal-abal sehingga merugi dan gagal bayar," jelas Fickar kepada VIVAnews, Rabu, 25 Desember 2019.
Menurut Fickar, cara seperti ini masuk kualifikasi tindakan melawan hukum karena merugikan keuangan perusahaan BUMN. Apalagi cara ini tentu ada return komisi yang diterima dari perusahaan abal-abal untuk pilihan investasinya.
"Maka jelas ini gratifikasi, bahkan sangat mungkin tipikor (tindak pidana korupsi) suap. Oknum Jiwasraya harus dikejar dan dihukum berat, maksimal seumur hidup. Aset pribadinya disita sampai miskin," tegasnya.
Aset Korporasi Disita
Kejaksaan Agung yang menangani kasus Jiwasraya menyatakan sudah memeriksa 89 saksi. Pihak Kejagung yang disuarakan Jaksa Agung ST Burhanuddin pun terus berupaya mengembangkan dugaan korupsi di perusahaan BUMN tersebut.
Abdul Fickar mengapresiasi jika Kejagung mampu membongkar kasus yang menyita perhatian luas itu. Ia berharap Kejagung bisa menjaga aset korporasi agar jangan berkurang. "Kejaksaan harus menjaga aset korporasi yang disita jangan sampai berkurang bahkan habis digerogoti oknum," tutur Fickar.
Fickar mengingatkan aset korporasi ini setidaknya menjadi jaminan jika nasabah melakukan tuntutan perdata. Hal ini untuk menuntut pengembalian ganti rugi dari uang yang diinvestasikan. Pemerintah pun harus bisa menjaga trust atau kepercayaan masyarakat dalam investasi asuransi.
"Nasabah secara perdata bisa menuntut pengembalian ganti rugi dari uang yang diinvestasikan. Dalam konteks korporasi perseroan terbatas, maka tanggung jawab korporasi sebatas modal saham yang disetor," jelas Fickar.
Jaksa Agung ST Burhanudin/Antara Foto
Sementara itu, Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko, menjelaskan alasan gagal membayar polis asuransi para nasabahnya. Salah satunya karena kesalahan strategi berinvestasi menggunakan reksadana saham.
"Saham-saham yang nilainya Rp50 ribu banyak sekali. Bahkan suspend banyak sekali," kata Hexana dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR, di kompleks parlemen, Jakarta, Senin, 16 Desember 2019.
Menurut Hexana, seharusnya skema investasi mereka menggunakan obligasi pemerintah. Ia pun mengakui rasio kecukupan modal atau Risk Based Capital (RBC) Jiwasraya minus 805 persen. Adapun OJK mengatur modal minimum perusahaan asuransi sebesar 120 persen.
"Untuk meningkatkan RBC sampai 120 persen, maka jumlah dana yang dibutuhkan adalah Rp32,89 triliun," kata Hexana.
Pemerintah tak tinggal diam dalam upaya penyelamatan Jiwasraya yang gagal bayar hingga triliunan rupiah. Rencana kebijakan yang akan ditempuh seperti peleburan Jiwasraya menjadi holding BUMN Asuransi.
Menteri BUMN Erick Thohir menyebut holding BUMN ini karena pilihan Presiden Jokowi. Pembentukan holding BUMN Asuransi dipilih ketimbang restrukturisasi direksi Jiwasraya.
"Insya Allah hari ini akan ada persetujuan dari Presiden untuk pembentukan holding asuransi. Supaya apa? Ada kepastian pendanaan buat para nasabah yang per hari ini, wah ke mana uangnya? Di situ mungkin ada Rp1,5 triliun sampai Rp2 triliun per tahun. Makanya kemarin saya bilang pasti restrukturisasi, itu langkah awal dulu," jelas Erick, di Jakarta, Senin, 23 Desember 2019.
Erick menekankan juga akan meakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan serta Kejagung. Koordinasi dengan Kejagung karena ada dugaan unsur pidana.
Meski demikian, holding ini bukan satu-satunya langkah penyelamatan Jiwasraya. Namun, ia belum bisa membeberkan hal itu karena dikhawatirkan memunculkan salah persepsi. "Pemerintah pasti akan berikan solusi, supaya ada kepastian, karena walaupun bagaimana ini kan uang publik, uang rakyat," jelas dia. (ase)