Pemakzulan Trump, Adu Kuat Republik Vs Demokrat
- Twitter.com/@realDonaldTrump
VIVA – Pemecatan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump tinggal selangkah lagi. Nasibnya sebagai Presiden, akan ditentukan dalam persidangan di Senat.Â
House of Representatif atau Dewan Perwakilan Rakyat AS, mencatat sejarah baru dengan menyepakati pemakzulan pada Donald Trump. Melalui pemungutan suara di Capitol Hill, Kamis waktu Jakarta, 19 Desember 2019, pemakzulan terhadap Presiden Donald Trump dikukuhkan.
Jika Senat menyetujui keputusan DPR, Trump akan menjadi Presiden AS ketiga yang dimakzulkan dalam 243 tahun sejarah negara adi daya itu.
Sebelum Trump, hal pemakzulan juga dialami oleh Bill Clinton pada 1998, dan Andrew Johnson pada 1868. Presiden Richard Nixon, juga nyaris didakwa dan disidang. Namun, sebelum hasil pemakzulan disahkan, Nixon memilih mundur dari kursi Kepresidenan.
Ketua DPR AS, Nancy Pelosi menilai, hasil keputusan DPR membuktikan Trump adalah ancaman bagi Amerika Serikat. Namun, dia belum memastikan, kapan ia akan menyerahkan dokumen pemakzulan Trump kepada Senat.Â
Keputusan DPR AS terhadap Trump, diambil melalui voting, setelah sebelumnya anggota DPR berdebat selama enam jam. Pemungutan suara dimulai atas permintaan anggota Partai Republik, yang berjuang untuk menggagalkan upaya pemakzulan.Â
Proses pemakzulan pada Rabu waktu New York, 18 Desember 2019, dimulai dengan permintaan anggota Partai Republik untuk mengadakan pemungutan suara, terkait masalah prosedural. Permintaan Partai Republik ini, ditengarai sebagai upaya menggagalkan pemakzulan pada Trump.Â
Tetapi, Partai Republik jelas kalah suara. Sebab, komposisi DPR AS saat ini masih dikuasai Partai Demokrat. Meski selisih tipis, namun Partai Demokrat menguasai 219 kursi dari 435 kursi. Sisanya, dikuasai Partai Republik. Dari hasil voting, nampak jelas hampir semua anggota Partai Demokrat mendukung pemakzulan Trump dan hampir semua anggota Partai Republik menolaknya.Â
Saat proses sidang di DPR berlangsung, Trump sedang memimpin sebuah rapat umum di Michigan. Meski demikian, ia menyempatkan diri mengeluarkan uneg-unegnya melalui Twitter. Dua cuitannya mendapat respons besar dari publik AS. Pertama, adalah cuitannya yang mengatakan, "Kebohongan mengerikan oleh sayap kiri radikal." Sedangkan cuitan kedua, adalah tentang "Penghinaan kepada Partai Republik."
Dua Pasal Penjungkal Trump
Sekitar pukul 20.30 waktu setempat, DPR akhirnya menyerukan pemungutan suara. Ada dua hal yang didakwakan pada Trump. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini terkait, dugaan upaya Trump menekan Ukraina, untuk mengumumkan penyelidikan terhadap saingan politik Demokratnya, Joe Biden.
Dakwaan kedua, tentang penghalangan Kongres. Presiden dituduh menolak bekerja sama dalam penyelidikan pemakzulan, menahan bukti, dan melarang para asistennya untuk memberikan bukti.
Pemungutan suara pada poin pertama, berujung pada 230 orang mendukung, 197 menentang. Pada poin kedua, 229 orang mendukung, 198 menentang.
Pemicu dakwaan adalah pembicaraan antara Donald Trump dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky melalui telepon pada 25 Juli 2019. Dalam pembicaraan selama 30 menit tersebut, Trump menekan Zelensky, untuk menyelidiki mantan Wakil Presiden AS, Joe Biden. Saat itu, Biden adalah bakal calon Presiden AS dari Partai Demokrat. Trump juga meminta, agar Zelensky menyelidiki Hunter Biden, anak Joe Biden. Di bulan yang sama, Gedung Putih juga menahan bantuan militer untuk Ukraina, senilai ratusan juta dolar AS.Â
Bulan Agustus, seorang whistle blower yang identitasnya sangat dirahasiakan membuka informasi tersebut. Pada September 2019, Gedung Putih akhirnya merilis bantuan militer untuk Ukraina. Dana tersebut dicairkan. Tanggal 24 September, proses investigasi mulai dilakukan. Hari berikutnya, transkrip percakapan antara Trump dan Zelensky diungkap. Dalam percakapan, berulang kali meminta pemimpin Ukraina untuk menyelidiki Biden.
Selama proses investigasi dilakukan, Presiden Trump juga dianggap menghalangi Kongres melakukan penyelidikan. Ia diberitakan menolak menyerahkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan, juga menghalangi para saksi untuk dihadirkan dalam proses penyelidikan.Â
10 Desember 2019, Komisi Yudisial AS, menyampaikan dua pasal pemakzulan pada Trump. Pertama, ia dianggap menyalahgunakan kekuasaan atas tindakannya kepada Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Kedua, ia dianggap menghalangi kongres untuk melakukan penyelidikan.
Dua pasal itu sudah cukup untuk membuat Partai Demokrat, yang menguasai DPR, menyetujui pemakzulan terhadap Trump.
Senat Berpeluang Bebaskan Trump
DPR AS, saat ini dikuasai oleh Partai Demokrat. Sedangkan Senat AS, dikuasai oleh Partai Republik. Komposisi ini memperlihatkan bahwa upaya DPR AS yang telah mengesahkan pemakzulan terhadap Trump, sangat berpotensi diganjal oleh Senat AS.Â
Dari 100 kursi anggota Senat AS, 54 di antaranya digenggam oleh Partai Republik. Dan, untuk mengesahkan pemakzulan, dibutuhkan dukungan mayoritas dua pertiga suara dari 100 anggota Senat.Â
Analisi Jon Sopel, editor di BBC, menyatakan sangat kecil kemungkinan Senat AS akan meloloskan pemakzulan Trump. "Donald Trump tak akan dibebaskan. Donald Trump tak akan dipaksa keluar dari kantornya," ujar Sopel seperti disampaikan dalam BBC, Kamis 19 Desember 2019.
Partai Republik memiliki komposisi mayoritas di Senat. Sehingga, sangat tidak mungkin Presiden Trump akan dicopot dari jabatannya, ketika para senator memberikan suara mereka.
Pemimpin Senat dari Partai Republik, Mitch McConnell, pekan lalu mengatakan bahwa para senator Republik akan bertindak dalam "koordinasi total" dengan tim Presiden selama persidangan. Hal ini membuat marah Partai Demokrat, yang mengatakan Senator wajib bertindak sebagai juri yang tidak memihak.
Dugaan bahwa Senat tak akan meloloskan pemakzulan Trump, konon membuat Nancy Pelosi, yang sudah lama terkenal sebagai oposisi sejati Trump, tak segera menyerahkan dokumen, agar bisa segera diproses di Senat.
Ketika ditanyakan oleh wartawan AS, Nancy tak memberi jawaban pasti kapan dokumen akan diserahkan. Sejumlah pihak menduga, dokumen akan diserahkan pada 2020 mendatang.
Dikutip dari NY Times, format persidangan bisa disepakati oleh para Senator. Â Namun, mereka kemungkinan besar akan mengikuti serangkaian aturan yang mengatur persidangan pemakzulan yang direvisi pada 1980-an.
Senator juga bertindak sebagai juri dan harus bersumpah untuk memberikan keadilan yang adil. Pada persidangan Clinton pada 1999 lalu, saksi tidak diizinkan untuk datang sendiri. Tetapi, para senator diperlihatkan rekaman video dari kesaksian mereka.Â
Tuntutan pemakzulan, membutuhkan dua pertiga suara pada setidaknya satu pasal, yang nantinya akan bisa mengakibatkan Presiden dicopot dari jabatannya tanpa ada kesempatan untuk naik banding. Wakil Presiden, setelah itu akan mengambil alih sebagai Presiden.
Jika keputusan Senat sama dengan keputusan DPR, selanjutnya dapat memilih untuk mendiskualifikasi Presiden dari jabatan masa depan dengan menggunakan suara mayoritas sederhana.
Tetapi, jika melihat komposisi Senat AS sekarang, kecil kemungkinan upaya pemakzulan Trump akan berhasil. (asp)