Ciputra, dari Pelari Jadi Raja Properti
- Istimewa
VIVA – Acara pembukaan Musyawarah Nasional Realestat Indonesia (REI) XVI 2019 yang digelar di Hotel Intercontinental, Jakarta, Rabu pagi, 27 November 2019 mendadak hening. Para pengusaha yang hadir dalam munas tersebut menundukkan wajah seraya menadahkan tangan.
Mereka menyampaikan doa dan duka cita mendalam atas berpulangnya ‘Bapak Properti Indonesia’, Ir. Ciputra.
Doa bersama dan mengheningkan cipta untuk chairman dan founder Ciputra Group, sekaligus pendiri REI tersebut dipimpin langsung oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil. Seluruh peserta terdiam, larut dalam kabar duka kepergian Ciputra yang mendadak.
Pengusaha properti ulung itu tutup usia pada Rabu 27 November 2019 pukul 01.05 waktu Singapura di Rumah Sakit Glen Eagles. Ciputra wafat dalam usia 88 tahun.Â
Di akhir hayatnya, majalah Forbes yang biasa membahas harta kekayaan konglomerat, mencatat kekayaan Ciputra mencapai US$1,3 miliar atau setara Rp18,2 triliun pada 2019. Ciputra menduduki peringkat ke-27 orang terkaya di Indonesia.
Pemilik nama asli Tjin Hoan ini merupakan anak melarat yang tinggal di Sulawesi Utara. Ia lahir di Parigi, kota kecil di Sulawesi Tengah, pada 24 Agustus 1931. Ia terlahir sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Mulanya, Ciputra kecil menjalankan hidup sama seperti anak-anak lainnya.Â
Namun, itu semua berubah ketika sang ayah meninggal dunia. Perekonomian keluarga terganggu dan mereka jatuh miskin. Tapi, Ciputra tak mau larut dalam kemiskinan. Kemampuannya dalam olahraga lari ia dalami hingga mengantarkannya ke Jakarta dan bertemu Presiden Soekarno.Â
Perjalanan berikutnya ke Pulau Jawa adalah untuk kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ciputra menjadi mahasiswa jurusan arsitektur, dan jiwa bisnisnya mulai terasah. Bermodalkan ilmu arsitektur yang didapat di kampus, Ciputra dan dua sahabatnya, Budi Brasali dan Ismail Sofyan sepakat mendirikan CV Daya Tjipta.Â
Selama bertahun-tahun mereka hanya menunggu orderan datang. Sebuah garasi di Jalan Soetjipto, Bandung, menjadi saksi awal beratnya perjalanan bisnis Ciputra dan dua rekannya. Pernikahan dan anak menjadi titik balik buat Ciputra muda.Â
Pasar Senen dan Ancol, Karya Monumental
Sekitar tahun 1960-an, ia memutuskan meninggalkan Bandung, dan pindah ke Jakarta. Ia meyakini, Jakarta akan memberinya kesempatan untuk bangkit. Dengan bendera PT Perentjaja Djaja IPD ia menjajakan konsep pada penguasa Jakarta saat itu.
Perkiraan Ciputra tak meleset. Bantuan dari Mayor Charles, asisten Gubernur DKI Soemarno Sosroatmodjo, mengantarnya pada pencapaian baru. Paparan Ciputra soal pembenahan kawasan Pasar Senen mampu membetot perhatian Gubernur Soemarno.
Ia rela memberi kesempatan pada pebisnis miskin itu untuk bertemu Presiden Soekarno dan mempresentasikan pemikirannya. Pucuk dicinta ulam tiba, Presiden Soekarno juga menaruh hati pada paparan Ciputra soal konsep peremajaan Pasar Senen.Â
Meski tak punya uang, Ciputra tak menyerah. Gubernur Soemarno juga bersedia membantunya dengan cara mengumpulkan pengusaha besar saat itu.
Sejumlah pengusaha dan petinggi Bank Negara Indonesia bersedia mengumpulkan permodalan. Tepat pada 3 September 1961, PT Pembangunan Ibu Kota Jakarta Raya (Pembangunan Jaya) berdiri. Ciputra dan Pembangunan Jaya berhasil meremajakan kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Keberhasilan itu jadi milestones pertama Pembangunan Jaya.Â
Sejak itu, Ciputra kerap mendapat proyek besar. Pengembangan kawasan Ancol adalah salah satunya.
Wilayah yang sebelumnya terkenal angker dan penuh kejahatan berhasil disulapnya menjadi kawasan wisata bagi warga Jakarta. Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, Teuku Sahir Syahali dalam keterangan tertulis menyampaikan jasa Ciputra mengembangkan Ancol.Â
Pembangunan kawasan rekreasi pantai Ancol sampai unit-unit rekreasi yang ada di dalamnya, seperti Pasar Seni, Gelanggang Renang (Atlantis Water Adventures), Gelanggang Samudra (Ocean Dream Samudra), Dunia Fantasi, dan resor tepi pantai Putri Duyung Ancol, adalah karya Ciputra. Â
"Pembangunan tersebut merupakan karya-karya besar almarhum Pak Ci yang sampai hari ini masih dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat," ujar Teuku Sahir Syahali, Rabu, 27 November 2019
Berhasil menaklukkan Ancol dan Senen membuat Pembangunan Jaya terus melejit. Perusahaan ini berkembang hingga memiliki anak perusahaan seperti Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group.
Kuku Pak Ci sebagai raksasa properti terus menancap dengan kuat. Ia mendapat julukan raja properti karena investasinya yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.Â
Ia mengembangkan Bumi Serpong Damai, Pondok Indah, Pantai Indah Kapuk, Citra Raya, hingga mal dan hotel. Kepada seluruh karyawannya, ia mencanangkan tiga nilai utama perusahaan, yaitu Integrity, Professionalism, dan Entrepreneurship.
Badai Krisis Moneter Membuatnya Menangis Setiap Saat
Pesat dan mulusnya perkembangan bisnis Ciputra ternyata tak seindah yang tampak sekarang. Pada 1997, perusahaan yang ia bangun ikut terhantam badai krisis moneter.
Nilai dolar yang melambung tinggi dari rupiah membuat Ciputra tercekik. Utangnya hampir US$100 juta. Secara logika, jumlah itu nyaris tak mungkin terbayar.
Ia sadar kapal yang ia bawa nyaris karam. Tapi, kapal itu belum tenggelam. Namun, bukan itu yang membuat Ciputra menangis. Perusahaannya sekarat, dan ia harus memecat ribuan karyawannya.
“Di kamar tidur, di meja makan, bahkan saat saya mandi dengan air shower menyiram tubuh, saya berlinang air mata. Saya menangis tanpa saya sadari," kata Ciputra, seperti dikutip dari buku biografinya, The Passion of My Life.
Hidupnya menjadi penuh tekanan. Makan tak enak, tidur juga tak nyenyak, dan begitu banyak tekanan yang diterima oleh Pak Ci.Â
Tapi perlahan ia kembali bangkit. Menata satu demi satu bisnisnya yang hampir karam. Menyelesaikan utang, dan mengangkat kembali ribuan karyawan untuk membangun kembali.
Pak Ci berhasil. Ketika perekonomian negeri ini mulai stabil, perlahan bisnisnya kembali bangkit dan menggeliat. Lalu, kejayaan dan kekayaannya juga perlahan pulih.
Ketika berusia 75 tahun, ia mendirikan sekolah dan Universitas Ciputra. Sekolah ini tak sekadar menimba ilmu pada umumnya, tapi menitikberatkan pada perusahaan.
Tujuannya, lulusan sekolah ini siap menjadi pengusaha. Ia juga mendapat julukan sebagai Bapak Kewirausahaan Indonesia. Sebab, ia kerap menebarkan bibit wirausaha. Ribuan mahasiswa dan dosen ia bekali pelatihan wirausaha melalui Universitas Ciputra Entrepreneurship Center.
Selain Universitas Ciputra, tiga universitas di Jakarta, yaitu Universitas Tarumanagara, Universitas Prasetya Mulya, dan Pembangunan Jaya juga menjadi binaannya. Di bidang seni, ia mendirikan Ciputra Art Gallery, Museum and Theatre.Â
Kepergian Ciputra menyentak perhatian publik. Sejumlah netizen yang mengenal Ciputra menyampaikan kesaksian. Seorang warganet bernama Sri Fajar mengenang Ciputra sebagai orang baik yang sederhana. Sebab, nyaris setiap Rapat Umum Pemegang Saham, Ciputra membawa bekal sendiri.Â
Warganet lainnya bernama Sudarwanto Suhato mengingat Ciputra sebagai sosok yang tetap memperjuangkan kejujuran meski dalam kondisi sulit. Sementara itu, warganet bernama Nila Tobing menyampaikan terima kasih karena Ciputra telah mempekerjakan puluhan ribu orang, dan kebanyakan pegawainya mengatakan Ciputra adalah orang baik yang memperhatikan karyawannya.Â
Petuah Ciputra yang melegenda adalah petuah tentang melihat kesempatan dan memanfaatkannya. "Seorang entrepreneur mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas," begitu yang ia sampaikan. (art)