Candu Game Online Bikin Celaka
- Pixabay
VIVA – Kecanduan game online lewat gadget hingga menyebabkan gangguan kejiwaan mulai menampakkan buktinya. Dua remaja di Bekasi, dan ratusan remaja lain di wilayah berbeda telah menjadi korban.
Dua remaja berusia 17 tahun, NV dan TY, kini dititipkan di sebuah panti rehabilitasi di wilayah Cibitung, Jawa Barat. Keduanya tak berselera makan dan sehari-hari lebih banyak duduk melamun. Tapi begitu melihat ponsel, mereka menjadi sangat reaktif. Keduanya bisa menangis, bahkan hingga mengamuk agar diberikan handphone.
Marsan, pengelola yayasan rehabilitasi tersebut mengatakan kedua anak itu akan berusaha merebut bahkan hingga menyakiti jika tak diberikan handphone.
"Sering ngamuk di sini juga, apalagi kalau sudah melihat orang bawa handphone, dia kejar. Berusaha merebut dan kalau tidak dikasih bisa menyakiti," ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 17 Oktober 2019.
Marsan bertutur, kedua anak tersebut sebenarnya masih berusia sekolah, namun terpaksa berhenti karena sudah ketergantungan game yang dimainkan melalui ponsel. Mereka bahkan berani melawan kedua orangtuanya jika handphone yang sedang dimainkan diambil secara paksa.
"Bahkan, sampai ada yang menyakiti secara fisik, tidak pandang itu orangtuanya atau bukan," katanya.
Setiap hari, kata Marsan, dua remaja itu hanya merenung, tidak mau makan. Mereka hanya menginginkan handphone untuk bermain game.
"Kalau sudah dikasih handphone mereka tenang," katanya menambahkan.
Sebagai terapi, kata Marsan, kedua remaja itu dijauhkan sama sekali dari handphone. Bahkan setiap pengunjung yang datang untuk menemui NV dan TY tidak diperkenankan membawa handphone. Sebab, dikhawatirkan kedua anak itu akan kembali mengingat handphone dan akhirnya berulah lagi.
Kasus yang terjadi pada NV dan TY ternyata juga terjadi di wilayah lain. Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dr Marzoeki Mahdi, Bogor, Jawa Barat, menerima ratusan pasien anak yang mengalami kecanduan gadget alias gawai. Rumah sakit itu bisa menangani 11-12 anak setiap bulan. Rentang usia mereka antara 7 hingga 15 tahun.
Sebagian pasien anak-anak pelajar SD atau SMP itu mendapat perawatan melalui konsultasi oleh psikiater, sedangkan sebagian lainnya mesti dirawat inap karena tingkat keparahan gangguan psikologis mereka.
Seorang kerabat pasien menyebut, anak menjadi sangat tergantung pada gawai, bahkan menjadi pemberang dengan merusak benda-benda di sekitar ketika kuota data internet atau pulsa habis. Si anak juga kerap membolos sekolah karena tak bisa menahan keinginan untuk bermain game.
Gejala serupa ternyata terjadi juga di Kabupaten Bandung Barat. Ratusan anak dikabarkan pernah menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, karena kecanduan bermain games melalui gadget.
Dalam dua tahun terakhir jumlah pasien anak tercatat mencapai ratusan. Mereka yang menjalani pengobatan mengalami gangguan penyerta yang berawal dari kecanduan games. Dalam sepekan, bisa ada tiga anak yang masuk untuk menjalani pengobatan di rumah sakit jiwa ini. Hingga saat ini, jumlah anak-anak yang pernah menjalani perawatan mencapai 150 orang.
Hal yang menyedihkan, dari jumlah itu usia mereka berkisar dari mulai lima tahun hingga 15 tahun.
Game di ponsel memang terus merasuk. Anak-anak yang dibiarkan bermain game di handhphone tanpa kontrol yang ketat dari ortu berpotensi kecanduan.
Candu Game Online Berbuntut Petaka
Kecanduan game pada anak dan remaja hingga berdampak negatif bukan isu baru. Sejak beberapa tahun terakhir bermunculan kasus-kasus kekerasan yang dipicu oleh kecanduan game melalui ponsel.
Kasus pembantaian Muslim yang sedang salat Subuh di New Zealand pada Maret 2019 adalah salah satu contohnya. Pelaku diduga melakukan adegan pembantaian yang sama persis dengan apa yang dimainkan di game online. Lebih sadis karena ia merekam aksinya dan menyiarkan langsung melalui media sosial.
Di India, seorang pemuda berusia 21 tahun tega memenggal kepala ayahnya, menggorok lehernya, bahkan memotong kaki sebelah kiri sang ayah setelah murka karena ayahnya tak bersedia membelikan pulsa data untuk bermain game online. Anak pengangguran itu kecanduan main game online, dan mengandalkan ayahnya untuk membeli pulsa data setiap kali kuotanya untuk bermain game habis.
Masih di India, seorang anak berusia 19 tahun terserang stroke karena terlalu lama bermain game online. Lengan kanan dan kaki kanan remaja tersebut tiba-tiba tak bisa digerakkan. Dikutip dari laman Gamebyte, Kamis 5 September 2019, Pakar neurosifika, K Vinod Kumar yang merawat remaja tersebut mengungkapkan, bocah 19 tahun itu juga kehilangan berat badan sekitar 3-4 kilogram dalam sebulan akibat mager alias malas bergerak dan gaya hidup yang tak sehat.
Bulan Juni 2019, ulama di Aceh berkumpul dengan agenda khusus, membahas hukum dan dampak game PUBG, sebuah game online yang dikabarkan membuat jutaan orang di seluruh dunia kecanduan. PUBG, menurut musyawarah ulama Serambi Mekah itu, mengandung unsur kekerasan, kebrutalan, dan sisi mudharatnya sangat besar.
Game ini juga PUBG diduga memicu perilaku tidak baik bagi anak-anak atau kaum muda yang keranjingan memainkannya. Mereka diklaim bisa menjadi beringas dan bisa memicu hancurnya rumah tangga. Ulama Aceh saat itu bahkan bersepakat mengharamkan game PUBG.
Mengharamkan PUBG juga terjadi di banyak negara. India, China, Nepal, Irak juga mengharamkan PUBG. Belakangan India dan Nepal mencabutnya, tapi beberapa wilayah Negeri Hindustan itu pemblokiran PUBG masih berlaku. Seluruh larangan diberlakukan dengan kekhawatiran yang sama, game tersebut bisa memicu agresivitas penggunanya. Sedangkan di Irak, PUBG dinilai bisa jadi ancaman keamanan nasional negeri 1001 Malam tersebut.
Assistant Grand Mufti of Oman Sheikh Kahlan Al Kharus juga mengharamkan game ini. Menurutnya, game ini dikhawatirkan akan menimbulkan adiktif, membuang-buang waktu dan merusak mental serta moral seseorang.
Dikutip dari viva.co.id, di Malaysia, Mufti Negri Sembilan Datuk Mohd Yusof Ahmad mendesak pemerintah Malaysia untuk melarang PUBG karena menurutnya gim itu memiliki dampak negatif pada anak-anak dan remaja, dan dapat mendorong generasi muda ke arah terorisme.
Namun, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Malaysia Syed Saddiq mengatakan ia tidak setuju jika PUBG dilarang. Ia mengatakan di Malaysia saja terdapat satu juta pemain PUBG, namun mereka tidak melakukan tindakan terorisme. Dalam video yang diunggahnya dalam akun Twitter pribadinya, ia mengatakan yang terpenting anak-anak muda tidak ketagihan untuk bermain game.
Kecanduan dan Gangguan Kejiwaan
Ferlita Sari S.Psi, M.Psi, seorang psikolog yang juga Parents coach, mengatakan kecanduan atau adiksi dekat dengan masalah kejiwaan. Jika sudah adiksi, artinya sudah parah. Adiksi atau kecanduan bisa terjadi pada berbagai hal, seperti pornografi, adiksi gadget, juga adiksi miras.
"Kalau levelnya sudah adiksi, berarti ada ketergantungan. Sudah mempengaruhi fungsi kehidupan sehari hari. Kalau tidak pegang gadget bukan cuma terasa tidak enak, tapi sudah menjadi kecemasan. Rasanya insecure kalau enggak pegang gadget. Kalau dilarang bisa menjadi sangat agresif, tantrum, menyakiti diri dan orang lain," ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 17 Oktober 2019.
Menurut Ferlita Sari, adiksi bisa parah. Ia mencontohkan kasus yang terjadi pada anak temannya yang baru berusia 7 tahun dan sudah kecanduan game online yang dimainkan melalui ponsel. Anak tersebut menjadi sangat agresif kalau dilarang main game. Bangun tidur, begitu melek, langsung menanyakan handphone. Anak itu bahkan bisa memukul dan menyakiti ibunya.
"Nanti kalau sudah memukul ibunya, ibunya nangis, dia menyesal, dan bilang sayang sama ibunya. Tapi setelah itu seperti enggak bisa mengatasi keinginannya memegang gadget, dalam hal ini main game. Kadang merusak barang kalau enggak diberi gadget. Akhirnya kan ibunya enggak kuat juga, dikasih lah gadget lagi. Begitu seterusnya," tutur Ferli.
Ferlita menjelaskan, gangguan kejiwaan banyak ragamnya. Mulai dari yang ringan, yaitu stress, murung sampai depresi, sampai yang berat di mana orang sulit memisahkan antara realita dengan imajinasi. Anak-anak, ujar Ferlita, juga bisa stress. Dan stress bisa disebabkan oleh apa pun. Kalau sudah sampai adiksi berarti sudah berpengaruh ke neurotransmitter di otak, yaitu terjadi ketidakseimbangan senyawa kimia (neurotransmitter ) di otak.
Ia mengakui, kehadiran teknologi memang memudahkan. Tapi ada fungsi emosional dan sosial yang tak bisa tergantikan oleh teknologi.
Kebutuhan sosial, kebutuhan emosional harus dipenuhi dan teknologi tidak dapat menggantikannya.
Ferlita menduga, game yang kini semakin seru bisa menjadi penyebab mengapa sekarang banyak orang yang semakin kecanduan. Kondisi itu juga dipengaruhi usia menggunakan gadget yang semakin muda. Banyak orang tua yang akhirnya memberikan anak-anak mereka ponsel yang canggih karena tekanan sosial. Apalagi sekarang tuntutan menggunakan gadget buat orang tua juga makin tinggi. Nyaris semua sekolah dalam berbagai level kini memiliki group percakapan.
Praktisi tersertifikat untuk Points of You ini, mengatakan penggunaan gadget yang berlebihan saat ini terjadi karena interaksi faktor eksternal dan internal. Jarak ortu anak semakin jauh, makin sedikit waktu bertemu. Tuntutan sekolah utk menggunakan gadget semakin besar. Arus informasi di grup WA membuat orang merasa harus terus lihat gadget. FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan berita, karena nanti dibilang enggak update.
"Enggak bisa update cemas, enggak lihat update orang cemas, update status enggak di-like kesal, dikomen orang enggak terima, dan seterusnya. Padahal kecemasan berlebihan lama-lama bisa menimbulkan depresi lho," tuturnya.
Ia menganjurkan para orang tua agar tak memberikan gadget pada anak hingga mereka memasuki usia SMP. Sebab, sampai usia sekolah dasar, anak masih belum bisa membedakan mana baik dan mana buruk. Bagaimana pun, menurut Ferlita, penanaman nilai masih menjadi tanggung jawab orang tua.
Apalagi dampak kecanduan gadget juga tak hanya psikis, tapi juga fisik. Anak-anak yang kecanduan gadget akan malas bergerak. Selain tidak sehat, kondisi malas gerak juga bisa mempengaruhi postur tubuh. Kecanduan gadget juga bisa berpengaruh ke masalah sosial. Sebab, orang jadi semakin jarang mengasah kemampuan interpersonalnya. Akibatnya, bingung mau bergaul, dan canggung menyapa orang.
Untuk menekan penggunaan gadget yang berlebihan, Ferlita menyarankan agar interaksi antara orang tua dan anak di dalam rumah terus ditingkatkan. Bila perlu membuat perjanjian sederhana untuk sama-sama meninggalkan gadget dalam beberapa jam ketika sedang bersama. Kuncinya, seluruh anggota keluarga termasuk kedua orang tua juga komit dengan perjanjian tersebut.
"Ciptakan suasana hangat di rumah. Ngobrol atau jalan bareng. Kalau sudah dekat dan anaknya bisa terbuka, itu jadi bekal buat kelak dia sudah pegang gadget. Kalau orang tua FOMO, maka anak akan FOMO juga. Sebab, anak adalah cerminan orang tua. Bisa saja orang tua sulit melepaskan handphone karena urusan pekerjaan, tapi ketika mengecek handphone hanya untuk urusan tak penting sementara anak ada di hadapan, itu waktunya menyimpan ponsel dan berbicara atau mendengarkan anak," ujarnya.
Sementara untuk sekolah yang mengizinkan anak menggunakan gadget untuk belajar, menurutnya harus ditinjau kembali. Apakah sekolah memang sudah sangat butuh, atau hanya sekadar tak mau disebut ketinggalan zaman. Anak memang perlu adaptif dengan perubahan, tapi jangan sampai perubahan itu dilakukan karena asal gaya, atau karena orang tua yang tak mau repot. (ren)