Simalakama Perppu KPK, Jokowi di Pihak Mana?
- VIVAnews/Agus Rahmat
VIVA – Pengesahan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi menuai aksi demonstrasi terjadi selama berhari-hari dan menyebar di berbagai provinsi. Publik menyaksikan bagaimana gelombang aksi yang dilakukan mahasiswa secara konsisten terus terjadi. Tujuannya, meminta Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah meninjau kembali pengesahan revisi UU KPK.
Presiden Joko Widodo sempat menjanjikan akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang KPK. Hal itu ia sampaikan usai bertemu sejumlah tokoh di Istana Negara. Namun, janji Jokowi itu seperti tertiup angin. Kabarnya, usai bertemu para tokoh, Jokowi bertemu pimpinan parpol koalisi. Dan parpol koalisi keberatan jika Jokowi menerbitkan Perppu KPK. Isu pemakzulan sempat mencuat jika Jokowi tetap akan menerbitkan Perppu KPK.
Publik dan para pegiat antikorupsi mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Perppu untuk membatalkan pengesahan revisi UU KPK atau kerap disebut Perppu KPK. Hal ini dilakukan sebagai upaya penguatan kembali KPK pasca-pengesahan capim KPK terpilih yang dinilai bermasalah serta masuknya sejumlah pasal yang dinilai melemahkan dalam revisi UU KPK.
Dukungan publik terhadap aksi mahasiswa diungkapkan melalui survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Kedai Kopi. Banyak dari responden yang disurvei LSI tahu atau mengikuti peristiwa demo mahasiswa menentang UU KPK. Selain itu, dari yang tahu, terdapat hampir semuanya tahu demo itu di antaranya menentang produk hukum tersebut.
“Sebanyak 60,7 persen dari yang tahu itu mendukung demo mahasiswa menentang UU KPK. Yang menolak hanya 5,9 persen. Sisanya bersikap netral atau tidak merespons,” demikian disampaikan oleh LSI.
Selain itu, sebanyak 70,9 persen publik yang tahu revisi UU KPK yakin bahwa peraturan yang baru itu melemahkan KPK, dan yang yakin sebaliknya hanya 18 persen. “Dengan adanya kontroversi atas UU KPK tersebut, 76,3 persen publik nasional yang tahu revisi UU KPK mendukung agar Presiden membatalkan UU KPK tersebut dengan mengeluarkan Perppu,” demikian disampaikan oleh LSI melalui rilis mereka.
Sementara lembaga survei Kedai Kopi memaparkan, dari hasil survei yang mereka lakukan, menunjukkan bahwa 46,1 responden sangat setuju saat ditanya soal tingkat kesetujuan atas aksi mahasiswa di DPR RI. Ini merupakan jawaban terbanyak, yang diikuti oleh jawaban “setuju” 21,1 persen. 55,2 persen respons menyatakan revisi UU KPK malah melemahkan dan bukan menguatkan (11,7%), dan 33,1 persen tidak berpendapat.
Publik bahkan bisa menjawab, alasan mengapa KPK dilemahkan dengan revisi UU KPK. Menurut Kedai Kopi, sebanyak 53,9 persen merujuk soal hadirnya Dewan Pengawas KPK yang diangkat oleh presiden. Lalu, 44 persen responden menjawab persetujuan Dewan Pengawas untuk Operasi Tangkap Tangan (OTT), disusul oleh status kepegawaian penyidik sebagai Aparat Sipil Negara (30,4 persen); meringankan koruptor (1 persen); mengurangi kewenangan KPK (0,5 persen), dan menjawab tidak tahu 20,9 persen.
Simalakama Perppu bagi Jokowi
Anggota DPR periode 2014-2019 sudah ketok palu mengesahkan revisi UU tersebut menjadi UU KPK. Di akhir masa jabatan, mereka ngebut, berusaha agar revisi UU tersebut berhasil. Hanya butuh dua minggu untuk membuat revisi UU KPK yang sudah terlunta bertahun-tahun akhirnya sah. Artinya, UU tersebut sudah bisa dilaksanakan. Presiden Jokowi dianggap setuju setelah mengeluarkan Surat Presiden yang memberi catatan pada beberapa pasal.
Menyadari DPR sudah berhasil menggolkan revisi UU KPK, ribuan mahasiswa melakukan aksi protes menolak pengesahan itu. Aksi besar terjadi di berbagai kota. Di Kendari, aksi bahkan menewaskan dua mahasiswa. Aksi mahasiswa kemudian diikuti oleh adik-adik dari Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Teknik (STM). Harapan mereka, presiden bisa mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK.
Jokowi menghadapi buah simalakama. Publik mendesaknya untuk segera menerbitkan Perppu KPK agar lembaga antirasuah tersebut kembali memiliki kekuatan untuk pemberantasan korupsi. Tapi parpol koalisi yang berhasil memenangkannya dan mengantarkan untuk kembali menjabat, menentang keras. Isu pemakzulan jika Jokowi mengeluarkan Perppu bahkan mencuat.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyampaikan kemungkinan terjadinya impeachment (pemakzulan) jika Jokowi tetap mengeluarkan Perppu tersebut. Paloh mengatakan, jika ada yang tak setuju dengan proses UU KPK hasil revisi, sebaiknya diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Karenanya, bila Jokowi terus didesak mengeluarkan Perppu bisa-bisa malah Presiden dimakzulkan.
"Presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah Presiden bisa di-impeach (dimakzulkan), Salah-salah lho. Ini harus ditanya ahli hukum tata negara. Coba deh," ujar Surya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2019.
Politisi Golkar Aziz Syamsudin menilai alasan untuk mengeluarkan Perppu tidak terpenuhi karena negara tidak berada dalam kondisi genting atau darurat, sehingga presiden tidak perlu mengeluarkan perppu.
"Kewenangan perppu ada di presiden. Kami sebagai lembaga DPR dari unsur pimpinan dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) juga menyerahkan itu kepada pemerintah untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan secara hukum. Persyaratan perppu itu kan diatur dalam konstitusi negara, bahwa dalam keadaan memaksa dalam kegentingan, kemudian terjadi kekosongan hukum dan sebagainya. Dalam kondisi saat ini, tidak terjadi kekosongan hukum maupun tidak terjadi kegentingan terhadap negara," ujarnya.
Ketua DPR yang baru Puan Maharani juga tak memberikan jawaban yang jelas ketika wartawan meminta komentarnya soal Perppu KPK. Puan mengatakan berdasarkan normatif saja dalam konstitusi. Ia hanya meminta publik menunggu anggota DPR dan AKD terbentuk dulu sebelum membicarakan soal Perppu. Puan mengatakan, DPR yang baru bisa saja melakukan update terkait revisi UU KPK, bisa tetap bisa juga berganti. "Kita tunggu dulu," ujarnya kepada wartawan.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarief Hasan, melihat tak ada urgensi dari rencana Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu KPK. Itu karena DPR sebelumnya telah mengesahkan revisi UU KPK.
"Kami melihat tidak ada urgensinya karena sebenarnya kami melihat revisi ini memperkuat KPK. Yang perlu dipertegas hanya siapa yang mengangkat Dewan Pengawas," kata Syarif di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin, 30 September 2018.
Dukungan Sekaligus Tekanan Publik untuk Jokowi
Partai koalisi yang mendukung Jokowi mengarahkan publik melakukan judicial review ke MK ketimbang memaksa Jokowi mengeluarkan Perppu. Namun publik dan para pegiat antikorupsi tetap meminta Presiden segera menerbitkan Perppu. Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrahman Ruki termasuk yang setuju agar Presiden segera mengeluarkan Perppu.
Ia meminta Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Perppu terhadap UU KPK hasil revisi. Menurutnya, situasi KPK sangat dilemahkan bila UU tersebut sudah berlaku. "Pemberantasan korupsi tidak akan berjalan bila Presiden tak memiliki strong commitment. Jadi Pak Presiden harus keluarkan perppu," kata Ruki di Galeri Cemara, Jakarta Pusat, Jumat, 4 September 2019.
Pakar Hukum Tata Negara dan peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengaku terpanggil secara moral untuk memberikan dukungan pada Presiden agar tak merasa berat mengeluarkan Perppu.
Bivitri menjelaskan, menurut UUP pasal 20 ayat 5, jika selama 30 hari presiden tidak tanda tangan UU, maka otomatis akan menjadi UU. Tapi jika presiden tanda tangan, maka Kemenkumham akan langsung mengundangkan. Setelah diundangkan, presiden bisa mengeluarkan Perppu. Bivitri menyarankan, jika Presiden memang keberatan dengan revisi UU KPK, maka sebaiknya presiden tidak tanda tangan. Segera setelah 30 hari dan UU itu sah, presiden bisa mengeluarkan Perppu.
Bivitri memastikan, mengeluarkan perppu adalah langkah yang konstitusional. Itu hak presiden atas alasan subjektif. Kapan pun dia merasa ada kegentingan memaksa yang membuat dia perlu perppu, dia bisa. Bivitri memastikan, pemakzulan seperti dinyatakan Surya Paloh tidak dapat terjadi. Sebab, presiden dipilih langsung oleh rakyat dan punya masa jabatan yang jelas. Berbeda dengan era sebelum amendemen UUD 1945 pada 1999-2002.
"Karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan punya masa jabatan yang jelas. Jadi Presiden saat ini tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya karena alasan politik, berbeda kerangka konstitusionalnya dengan, misalnya, waktu Presiden Abdurrahman Wahid yang dijatuhkan oleh MPR," kata Bivitri.
Berbeda dengan Bivitri, Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia Sultan Muhammad Yus MH menilai, tak ada kondisi kegentingan yang memaksa presiden untuk mengeluarkan perppu. Menurutnya, desakan agar Jokowi mengeluarkan Perppu atas revisi UU KPK cenderung dipaksakan. "Jika seperti itu, maka keluarnya perppu bukan lagi karena adanya kegentingan yang memaksa seperti disyaratkan oleh konstitusi. Melainkan kegentingan yang dipaksakan. Ini sudah lain maknanya.," ujarnya.
Ia mempertanyakan alasan mereka yang getol memaksa Presiden mengeluarkan perppu. Seolah-olah jika tidak dikeluarkan perppu maka negara bisa tenggelam. Padahal masih ada upaya lain yang bisa dilakukan selain keluarkan perppu.
"Padahal dalam aturan ketatanegaraan kita, masih ada upaya hukum lanjutan bagi para pihak yang berkeberatan dengan revisi UU KPK ini. Bukankah masih ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Jika benar mau tertib hukum, maka silakan tempuh jalur konstitusional tersebut," ujarnya.
Dengan mengajukan judicial review publik justru dapat mengujinya secara bersama-sama, apakah revisi UU KPK ini telah sesuai atau bertentangan dengan UUD 1945. (ase)