Bisa Apa Anggota DPR Baru?

Sesi Foto Bersama Anggota DPR RI 2019-2024 Fraksi PDI Perjuangan
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA –  Ruang Paripurna I di gedung MPR/DPR menjadi saksi bisu. Bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila negeri ini melantik 575 Anggota DPR RI hasil Pemilu 2019. Mereka akan bekerja untuk periode 2019-2024. 

Verrell Janji Gajinya sebagai Anggota Dewan Tak Diambil, Bintang Emon: Bukan Sesuatu yang Wow

Pelantikan anggota baru DPR RI dilaksanakan pada Selasa, 1 Oktober 2019, mulai pukul 10.00 WIB. Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indra Iskandar menyebutkan, anggaran yang dikeluarkan untuk pelantikan anggota parlemen mencapai Rp1 miliar. Anggaran tersebut berasal dari anggaran rutin DPR.

"Ini anggaran rutin semua, enggak ada anggaran khusus. Cuma urusan kembang, interior. Sekitar Rp1 miliar saja. Untuk DPR saja. DPD dan MPR beda lagi," kata Indra di kompleks parlemen, Jakarta, Senin 30 September 2019. Ia menyebutkan, acara pelantikan ini masih menjadi acara yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesetjenan DPR hanya membantu memfasilitasi.

Baru Dilantik, Anggota DPR Usulkan Libur 3 Hari saat Pilkada Serentak 2024

Tapi pelantikan tak bisa dibilang mulus. Ribuan mahasiswa kembali menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPR RI sejak pagi hingga sore hari. Setelah kritikan bertubi-tubi soal revisi undang-undang, kali ini mahasiswa mengkritik seremonial pelantikan anggota DPR RI yang baru saja dilakukan.

Mahasiswa yang berasal dari Hima Persis tampak melakukan orasi di atas angkot. Melalui pengeras suara, seorang perwakilan mahasiswa memprotes DPR. "Dua lima jigo, dua lima jigo, DPR bego," pekik orator di mobil komando.

Ditempatkan di Komisi X DPR RI, Denny Cagur Soroti Sistem Zonasi Sekolah

Selain orasi, mereka juga membawa sejumlah spanduk yang bertuliskan pesan kritik kepada DPR. Salah satunya adalah protes kepada anggota DPR yang baru saja dilantik.

"Selamat dan sukses sidang DPR, Dewan Pengkhianat Rakyat," begitu tulisan di spanduk tersebut.

Selain itu, di sisi gedung yang lain, massa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga melakukan orasi. Anggota DPR dinilai bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. DPR dinilai mereka tidak peduli dengan rakyat. "Rakyatnya hampir mati, DPR happy happy, revolusi revolusi, revolusi sampai mati," teriak orator.

Sejak revisi UU KPK disahkan oleh DPR pada 17 September 2019, gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil yang peduli pada pemberantasan korupsi mulai meninggi. Sejak demonstrasi besar pada 19 September 2019 terjadi, nyaris setiap hari mahasiswa, hingga anak sekolah, dan masyarakat sipil melakukan aksi.

Catatan Buruk Anggota Dewan

Aksi mahasiswa yang terus terjadi secara bergelombang di berbagai wilayah negeri menyampaikan satu pesan, mahasiswa siap mengawal dengan ketat kerja anggota DPR yang baru. Anggota dewan 2014-2019 yang sudah purna tugas dinilai tak becus dan mendapat kritik bertubi-tubi. Mulai dari kinerja yang buruk, hingga pembahasan dan pengesahan sejumlah RUU yang dinilai bermasalah. 

DPR dengan cepat mengesahkan revisi UU KPK, tak sampai dua pekan proses revisi dan pengesahan diselesaikan. Padahal revisi tersebut dinilai berpotensi melemahkan KPK. DPR juga masih menyisakan pekerjaan rumah dengan UU Pertanahan yang membuat negara berpotensi mengambil tanah ulayat secara semena-mena, lalu ada UU Minerba, dan ada RKUHP. Sejumlah undang-undang yang mendesak tersebut tak segera disikapi dengan tegas oleh anggota dewan, dan mereka mewariskannya pada anggota dewan yang baru. 

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang bertujuan melindungi seluruh korban perkosaan tidak disahkan. Padahal RUU tersebut diusulkan sejak tahun 2016, ketika terjadi pemerkosaan keji terhadap yy, seorang bocah berusia 14 tahun di Bengkulu. Komisioner Komnas Perempuan mengaku kecewa dengan kinerja DPR yang tak mengesahkan RUU PKS. 

Melalui rilisnya, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa regulasi untuk pemenuhan hak korban kekerasan seksual bukanlah hal prioritas bagi DPR RI Periode 2014-2019, meski RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah masuk dalam Daftar Prolegnas Prioritas sejak tahun 2016. 

"Jika dibandingkan dengan RUU KPK yang juga merupakan inisiatif DPR dan dapat diselesaikan pembahasannya dalam waktu kurang dari dua minggu, sementara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditunda-tunda pembahasannya hingga hampir tiga tahun, memperlihatkan kecenderungan keberpihakan Anggota DPR RI Periode 2014-2019, sesungguhnya bukan pada kelompok rentan, tetapi pada kepentingan politik Anggota DPR RI sendiri," demikian tertulis dalam rilis Komnas Perempuan yang diterima VIVAnews pada Selasa, 1 Oktober 2019. 

Komnas Perempuan sangat kecewa karena kerja keras mereka untuk melindungi korban kekerasan seksual yang telah dirintis sejak tahun 2010 tak mendapat respons yang diharapkan. Proses menemukenali kekerasan seksual sebagai embrio dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah dimulai sejak tahun 2010 melalui kasus-kasus kekerasan seksual yang terdokumentasi dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan. 

"Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dilakukan sejak tahun 2014 melalui berbagai rangkaian diskusi, dialog dan penyelarasan dengan berbagai fakta dan teori. Tercatat 313 kali konsultasi yang telah dilakukan dengan berbagai pihak untuk menyusun Naskah Akademik dan Draft RUU," ujar Masruchah, salah satu Komisioner Komnas Perempuan.

Meski demikian, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo, mengatakan DPR telah mengesahkan 91 RUU. Di antaranya, 36 Rancangan Undang-undang atau RUU Prolegnas dan 55 RUU Kumulatif Terbuka. "Sampai tanggal 29 September 2019, DPR telah menyelesaikan 91 RUU, yang terdiri atas 36 RUU dari daftar Prolegnas 2015-2019, dan 55 RUU Kumulatif Terbuka," kata Bamsoet di kompleks parlemen, Jakarta, Senin 30 September 2019.

"Namun demikian, terdapat sejumlah RUU Prioritas yang masih dalam Pembicaraan Tingkat I di Komisi dan Pansus yang belum dapat diselesaikan," ujarnya menambahkan.

Ia berharap, sejumlah RUU yang tidak dapat diselesaikan tersebut dapat dibahas pada masa keanggotaan DPR periode mendatang, mengingat carry over legislasi sudah ada landasan hukumnya. Perubahan undang-undang soal carry over dilakukan berdasarkan pertimbangan efisiensi waktu dan biaya dalam rangka percepatan pembahasan sebuah rancangan undang-undang.

Tapi menurut data dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pencapaian legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2014-2019 lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Tercatat DPR periode 2014-2019 hanya mengesahkan 84 Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan komposisi 49 kumulatif terbuka dan 35 program legislasi nasional (Prolegnas). 

Sementara pada periode sebelumnya (2009-2014), DPR mengesahkan 125 RUU dengan komposisi 56 RUU kumulatif terbuka dan 69 RUU dalam Prolegnas. Selain itu Formappi juga menyebutkan terdapat empat RUU tambahan Prolegnas yang tidak terencana serta dikebut pada penghujung masa jabatan DPR, seperti revisi ketiga Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan revisi UU Perkawinan.

Catatan buruk DPR bukan saja karena gagal menyelesaikan undang-undang yang menjadi tugas utama mereka. Namun penangkapan anggota dewan karena terkait kasus korupsi juga menjadi perhatian publik. Tercatat 23 anggota DPR periode 2014-2019 yang ditangkap oleh KPK terkait kasus korupsi. Dua nama besar yang mengejutkan publik adalah Ketum PPP Romahurmuzy, yang ditangkap karena kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama,  dan Ketua DPR Setya Novanto, yang terjerat kasus KTP elektronik. 

Bertaruh Harapan 

Jumlah anggota DPR periode 2019-2024 mencapai 575 orang, jumlah ini lebih banyak dibanding jumlah anggota DPR periode 2014-2019, yaitu 560 orang yang berasal dari 77 daerah pemilihan. Jumlah kursi periode ini bertambah karena ada penambahan jumlah penduduk berdasarkan daftar agregat kependudukan per kecamatan (DAK2). Selain itu, ada 17 daerah otonomi baru hasil pemekaran daerah. 

Komposisi jumlah anggota dewan, menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) didominasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan 128 kursi, berikutnya adalah Partai Golongan Karya (Golkar) sebanyak 85 kursi. Kemudian Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebanyak 59 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebanyak 58 kursi, dan Demokrat sebanyak 54 kursi. Sementara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memperoleh 50 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) 44 kursi, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebanyak 19 kursi. 

Di antara ratusan anggota dewan, 14 diantaranya adalah artis terkenal. Mereka adalah Mulan Jameela (Gerindra), Krisdayanti (PDIP), Tommy Kurniawan (PKB), Farhan (NasDem), Rano Karno (PDIP), Nurul Arifin (Golkar), Nico B.P. Siahaan (PDIP), Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio (PAN), Desy Ratnasari (PAN), Dede Yusuf (Demokrat), Primus Yustisio (PAN), Rieke Diah Pitaloka (PDIP), Arzetty Bilbina (PKB), dan Rachel Maryam Sayidina (Gerindra). 

Di akhir masa jabatan, anggota DPR RI periode 2014-2019 memutuskan untuk meng-carry over lima RUU, yaitu RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Perkoperasian, dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.

Selain lima RUU tersebut, juga masih terdapat sejumlah RUU yang urung disahkan pada periode ini. Di antaranya RUU Pertanahan, RUU Daerah Kepulauan, RUU Kewirausahaan Nasional, RUU Desain Industri, RUU Bea Materai, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Larangan Minumal Beralkohol, dan RUU Pertembakauan.

"Dewan berharap sejumlah RUU yang tak dapat diselesaikan tersebut dapat dibahas pada masa keanggotaan DPR periode mendatang mengingat carry over legislasi sudah ada landasan hukumnya," kata Bambang Soesatyo pada Sidang Paripurna di kompleks parlemen, Jakarta, Senin 30 September 2019.

Saat pengambilan sumpah jabatan, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengingatkan anggota dewan untuk setia pada tugas dan tanggung jawab sebagai anggota dewan.

"Patut saya ingatkan, bahwa sumpah atau janji yang akan saudara-saudara ucapkan mengandung tanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Tanggung jawab memelihara dan menyelamatkan Pancasila, dan Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945," kata Hatta dalam pembukaan pembacaan sumpah di Gedung Rapat Paripurna I, kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Selasa 1 Oktober 2019.

Mulan Jameela, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra yang baru berpendapat mengenai Rancangan Undang Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan DPR. Mulan menyatakan sejalan dengan suara publik yang menolak undang-undang yang baru disahkan rekan-rekannya di DPR periode lalu.

"Mendukung dong (untuk menolak RUU KPK). Mendukung KPK," kata Mulan usai dilantik sebagai anggota DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2019.

Mulan menegaskan berkomitmen untuk tidak melakukan korupsi. Meski baru merasakan kursi di Senayan, dirinya mengklaim akan terus berada di barisan masyarakat."Pokoknya saya selalu solid kepada suara rakyat," ujarnya penuh ketegasan.

Anggota DPR lainnya, Krisdayanti mengaku ingin mempelajari lebih dulu pekerjaan rumah yang tersisa dari anggota parlemen sebelumnya. Krisdayanti mengatakan ingin mendalami lebih dulu UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Karena itu, ia membaca dan memahaminya berulang-ulang.

"Buat saya itu dulu untuk tahu tupoksinya," ujar Krisdayanti, seusai dilantik. 

Ia memastikan akan menyerap aspirasi Dapil. Apalagi, anggota DPR mendapatkan tugas dan beban carry over dari periode sebelumnya.

"Kita fokus pada pengkajian UU dan mereformasi kelembagaan yang kita tahu bahwa kemarin kan mendapatkan citra yang kurang baik di periode sebelumnya," tutur Krisdayanti.

Menurutnya, reformasi sebuah lembaga tak bisa sendiri. Karena itu, anggota DPR harus menunjukkan performa kedewanan yang sebaik-baiknya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya